Heartbreak (part 4)

“Oppa, kenapa oppa lama sekali?” tanya seorang yeoja bergaun putih panjang sedikit kesal begitu  melihat seorang namja berpakaian serba putih menghampirinya. Namja yang dimaksud oleh yeoja itu hanya tersenyum kecut meminta maaf sambil menggaruk tengkuknya canggung.

“Ah, mianhae Yoong. Tadi aku ada sedikit urusan.” Jawab namja itu begitu sampai di hadapan yeoja berambut panjang bergelombang yang tengah menatapnya sambil mengerucutkan bibirnya ke depan, tanda kalau yeoja itu tidak sepenuhnya menerima jawaban yang ia berikan.

“Memang urusan apa? Sebegitu pentingkah sampai kau lupa janjimu untuk menemuiku?” tuntut yeoja itu lagi. Yeoja bergaun putih panjang dengan rambut panjang bergelombang itu bernama Lim Yoon Ah atau biasa dipanggil Yoona. Sedangkan namja tampan yang tengah bersamanya adalah Choi Siwon. Keduanya kini tengah berada di suatu tempat yang tidak terjamah dunia manusia dimana segala sesuatu di sekeliling mereka serba putih dan beraura kedamaian.

“Aku baru saja menanyakan tentang hidupmu, Yoong.” Jawab Siwon tenang sambil menuntun Yoona untuk duduk di salah satu ayunan dari besi putih yang ada di tempat itu. Yoona menurut dan mendudukkan dirinya di atas ayunan dengan bagian bawah gaunnya menyapu dasar ayunan itu.

“Menanyakan tentang hidupku? Maksud oppa?” tanya Yoona tidak mengerti. Kedua matanya menelisik ke dalam dua bola mata Siwon yang menatapnya hangat.

“Belum saatnya kau pergi, Yoong. Kau ada di sini hanya untuk sementara, setelah itu kau harus kembali.” Jawab Siwon lugas. Yoona memundurkan kepalanya dan tatapannya kini berubah curiga. Tangan kanannya yang semula tergenggam erat dalam tangan kiri Siwon langsung ditariknya menjauh. Sikap tubuhnya kini memunculkan gestur waspada atas keterangan namja itu berikutnya.

“Kau harus kembali, Yoong. Belum saatnya kau berada di sini bersamaku. Belum saatnya kau mati.” Terang Siwon sekali lagi yang sukses membuat Yoona terpaku dalam keterkejutannya. Kedua tangannya mendekap mulutnya yang terbuka. Matanya memancarkan rasa tidak percaya yang ditegaskan dengan gelengan kepala berulang-ulang darinya.

“Suatu hari nanti kau akan ada di sini bersamaku, bersama orang-orang lainnya yang kau lihat akhir-akhir ini. Tetapi tidak sekarang. Sekarang kau harus kembali. Aku sendiri yang akan mengantarmu. Kajja.” Ajak Siwon sambil menjulurkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Yoona yang masih saja terpaku.

“Yoong, kajja! Banyak orang sedang menunggumu saat ini.” Ajak Siwon sekali lagi. Yoona mendongak menatap Siwon dengan pandangan memohon yang dijawab dengan gelengan pelan oleh namja itu.

“Aniyo Yoong, kau harus pulang.” Tegas Siwon yang membuat Yoona tidak bisa membantah lagi. Dengan berat hati akhirnya Yoona menanggapi uluran tangan Siwon dan mengikutinya berjalan ke sebuah gerbang lengkung putih yang akan mengantarnya kembali ke dunia. Dunia yang tidak ingin ditinggalinya tanpa Siwon di sampingnya. Dunia yang justru akan mempertemukannya pada seseorang yang mencintainya sepenuh hati.

-o0o0o-

“Si.. won.. oppa..” panggil seorang yeoja dalam bisikan lirih. Sedikit kerutan terlihat di keningnya. Sebuah masker oksigen terpasang di wajah pucatnya. Cairan infus mengalir masuk ke dalam aliran darahnya melalui selang dan jarum yang ditusukkan di pergelangan tangan kanannya. Sementara lintangan kabel elektroda tampak simpang siur di atas dadanya yang tertutup baju pasien berwarna hijau. Lintangan kabel itu tersambung ke sebuah alat berbentuk kotak yang berada di samping kiri ranjang yeoja itu, memperlihatkan beberapa angka dan garis yang memberikan gambaran kehidupannya.

“Yoona-aa, kau sudah sadar? Kau sudah sadar anakku?” panggil seorang yeoja paruh baya yang segera menghambur ke arah anaknya. Kedua matanya terlihat sembab karena tidak berhenti menangisi kondisi putri semata wayangnya kini.

“Eomma..” panggil seorang namja yang turut menemani yeoja paruh baya itu. Namja itu langsung menghampiri ibunya dan memegang kedua bahunya. Kedua telinganya kurang peka sehingga ia tidak mendengar apa yang didengar ibunya. Dan hal itu membuatnya mengira ibunya kembali meracau seperti malam sebelumnya saat menunggui yeoja yang tak lain adalah adiknya, Lim Yoon Ah.

“Panggil dokter, Siwan-aa! Panggil dokter dan katakan kalau Yoona sudah sadar! Cepatlah!” perintah ibunya tanpa menghadap Siwan, kakak laki-laki sekaligus anak tertua keluarga Lim.

“Tapi eomma..” Siwan yang masih berpikiran ibunya meracau berusaha untuk menenangkan ibunya justru mendapat perintah yang lebih tegas lagi.

“Cepat panggil dokter sekarang!”

“Baiklah, baiklah, aku akan memanggil dokter. Eomma tunggu sebentar ya.” Ucap Siwan akhirnya. Namja yang hanya berbeda dua tahun lebih tua dari Yoona itu membuka pintu ruangan tempat adiknya dirawat dan berlari mencari dokter jaga.

“Dokter! Dokter! Saya butuh bantuan Anda!” teriaknya pada seorang namja berambut keperakan yang melintas di lorong di depannya. Jas putih yang dikenakannya dan stetoskop yang terkalung di lehernya membuat Siwan yakin kalau orang tersebut adalah salah satu dokter di rumah sakit ini. Benar saja, seseorang yang dipanggil Siwan menolehkan kepalanya dan berjalan cepat menghampiri Siwan.

“Apa yang bisa saya bantu, anak muda?” tanya dokter itu ramah. Sebuah papan nama kecil yang tersemat di dadanya menunjukkan identitas dokter itu. Jung Yunho.

“Dokter Jung, saya ingin Anda memeriksa adik saya. Ibu saya beranggapan kalau adik saya sudah sadar dari komanya.” Jawab Siwan cepat.

“Baiklah. Dimana ruangan adik Anda?” tanya dokter itu lagi sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari perawat yang dapat membantunya.

“Di ruang 309 Dok. Mari ikut saya.” Jawab Siwan sambil mengarahkan dokter itu ke ruangan adiknya.

“Oke, tunggu sebentar. Saya harus memanggil.. ah! Itu dia. Suster! Suster! Bantu saya untuk memeriksa adik Tuan ini di kamar 309.” Perintah dokter Sang kepada salah seorang suster yang kebetulan lewat di hadapan mereka. Suster itu mengangguk patuh dan bergegas mengikuti langkah dokter Jung dan Siwan ke kamar 309.

Begitu dokter Jung dan perawat itu masuk ke dalam ruangan, Nyonya Lim langsung menarik tangan dokter dan suster itu ke ranjang tempat Yoona. Sementara dokter dan perawat itu memeriksa kondisi anaknya, Nyonya Lim bergegas mengambil ponselnya yang berada di dalam tas dan menghubungi suaminya yang sedang mencari makan malam di luar.

“Yeobo, Yoona sudah sadar. Cepat kemarilah.” Ucap Nyonya Lim dalam luapan kegembiraan. Siwan yang melihat itu terenyuh dan mendekati ibunya dari belakang.

“Eomma, kan belum pasti Yoona..” Perkataan Siwan terpotong oleh tepukan dokter Jung di bahunya.

“Syukurlah Tuan, adik Anda telah melewati masa kritis.” Ujar dokter itu sambil tersenyum lembut. Siwan membelalakkan matanya mendengar keterangan dokter itu. Mulutnya ternganga dan setetes air mata kebahagiaan berhasil menelusup keluar melalui matanya.

Benarkah Dok? Jadi benar dia sudah sadar?” tanya Siwan dan ibunya hampir berbarengan. Nyonya Lim menyeruak ke depan dan mendekati dokter Jung.

Benarkah itu Dokter? Apa itu artinya anak saya akan sembuh?” cecar Nyonya Lim lagi. Dokter Jung kembali tersenyum dan mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan keluarga pasien bernama Lim Yoon Ah itu.

Benar Nyonya. Nona Lim sudah sadar, meskipun kondisinya masih sangat lemah. Mengenai kemungkinan kesembuhan Nona Lim, kita harus memastikannya lewat serangkaian pemeriksaan laboratorium. Namun itu dapat dilakukan nanti setelah kondisi Nona Lim benar-benar pulih. Selain itu, saya juga harus mengabari dokter Shim yang telah  merawat Nona Lim selama ini.” Jelas dokter Jung panjang lebar.

“Oh, syukurlah! Syukurlah kalau Yoona benar-benar sudah sadar. Terima kasih Dok, terima kasih banyak.” Ujar Nyonya Lim sambil membungkuk rendah berkali-kali pada dokter Jung.

“Sudahlah Nyonya, jangan berlebihan seperti ini. Ini memang sudah tugas kami sebagai dokter.” Ujar Dokter Jung sambil menahan tubuh Nyonya Lim agar tidak lagi membungkuk padanya.

“Kalau begitu sekali lagi terima kasih Dok. Nanti biar saya atau suami saya yang akan menghubungi Dokter Shim. Sekali lagi terima kasih.” Ucap Nyonya Lim tulus. Dokter Jung mengangguk dan berpamitan keluar beserta dengan perawat yang tadi membantunya. Begitu Dokter Jung dan perawat itu keluar, Nyonya Lim menatap Siwan dengan mata berkaca-kaca dan memeluk erat putra pertamanya itu.

Yoona sudah sadar. Adikmu sudah sadar, Siwan-aa.” bisik ibunya tergugu. Siwan ikut terharu dan larut dalam suasana bahagia itu sampai ia mendadak ingat satu hal yang harus dilakukannya begitu Yoona sadar.

Minho!

-o0o0o-

Kabar tentang Yoona yang sudah sadar segera sampai di telinga Yuri keesokan harinya. Begitu mendapat kabar itu, yeoja yang sebenarnya ada kelas pagi ini memutuskan untuk membolos dan pergi ke rumah sakit tempat Yoona dirawat. Selesai mandi dan berdandan seperlunya, Yuri bergegas keluar kamar dan berpamitan pada ibunya yang kebetulan sedang menata meja makan untuk sarapan.

Eomma, aku berangkat dulu! Annyeong!” pamit Yuri cepat. Tangannya mengambil dua iris roti gandum yang langsung ia jejalkan ke dalam mulutnya. Sambil berkonsentrasi mengunyah agar tidak tersedak, ia meraih kunci mobilnya yang ia simpan di laci kedua dalam lemari kaca yang menjadi penyekat ruang tamu rumahnya.

“Aigoo, dasar anak itu! Selalu saja begitu kalau sudah terlambat. Ckck.” Decak ibunya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kegiatannya menata meja yang sempat terhenti karena ulah Yuri kembali ia lanjutkan karena tidak lama lagi suami dan kedua putranya akan turun dan sarapan bersama.

Sementara itu, Yuri yang sangat terburu-buru tampak kerepotan memasukkan kunci mobilnya ke dalam lubang kecil yang berada di samping kemudi.

“Aish, mana sih lubang itu? Tidak tahu apa kalau aku sedang buru-buru!” dumel yeoja itu kepada mobilnya. Ia terus meraba-raba bagian samping kemudinya sampai akhirnya menemukan lubang yang dimaksudnya.

“Ah! Ini dia!” pekiknya senang. Ia langsung memasukkan kunci dan menyalakan mobilnya. Baru saja ia hendak melepas rem tangan, masalah lain menghadangnya. Pintu gerbang rumahnya belum dibuka.

“Ya! Kemana sih satpam itu? Masa jam segini belum dibuka? Aish.” Dumel Yuri lagi. Ya, yeoja itu memang menjadi mudah marah di saat terburu-buru seperti ini. Hal ini sudah tidak asing lagi bagi keluarganya dan Yoona. Oleh karena itu mereka sudah maklum dengan kebiasaan Yuri yang satu ini, termasuk seluruh pekerja di rumah keluarga Kwon.

Tin! Tiin! Yuri menekan klakson mobilnya keras-keras dan membuat seorang namja dengan seragam satpam bergegas mendekati gerbang dan membukakannya. Begitu pintu gerbang terbuka setengah dan ada celah untuk mobilnya keluar, yeoja yang merupakan anak pertama dalam keluarga Kwon itu langsung menginjak gas dan melaju keluar dari rumahnya.

Selama melaju di jalan raya, pikiran Yuri hanya tertuju pada satu sosok yang seminggu ini menjejali dirinya dengan kekhawatiran tingkat tinggi. Ya, sosok itu adalah Lim Yoon Ah, sahabatnya sejak kecil yang telah seminggu tidak sadarkan diri. Dan kini doa-doa yang setiap malam dipanjatkannya terkabul. Pagi ini ia mendapat kabar dari Minho kalau sahabatnya itu sudah sadar.

Saat tengah berkonsentrasi untuk mengemudi, ponselnya yang berada di dalam tas memekik nyaring, menandakan ada panggilan masuk untuknya. Yuri melirik sebentar ke tas miliknya yang ia letakkan di kursi sebelah lalu kembali fokus ke jalanan di depannya. Namun ponselnya terus saja berdering dan membuat yeoja itu terpaksa menepikan mobilnya ke kiri.

“Yeoboseyo? Ne, joneun Yuri-rago hamnida. Apa ada yang bisa saya bantu?”

“…”

“Mworago?! Ne, ne, saya akan segera ke sana. Terima kasih untuk informasinya.”

Yuri segera meletakkan ponselnya dan membanting kemudi ke arah yang berlawanan dari rumah sakit tempat Yoona dirawat. Percakapan singkatnya di telepon tadi membuatnya langsung berubah pikiran.

Andwe! Andwe! Ini tidak mungkin! Ini pasti salah! Dia tidak mungkin menderita kanker! Andweyo! Racau Yuri dalam hati. Berkali-kali tangan kanannya membenahi rambutnya yang terurai panjang melewati bahunya. Pikirannya yang semula dijejali dengan bayangan Yoona yang dikabarkan sudah sadar kini berganti dengan bayangan orang lain yang telah lama dikenalnya. Orang lain yang berasal dari masa lalunya, masa lalu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.

Kim Jong Woon, kau tidak boleh pergi! Kau harus menungguku, jebal!

-o0o0o-

“Yoona-aa, bagaimana kondisimu hari ini? Sudah mendingan?” tanya seorang namja berpostur tinggi kepada seorang yeoja yang masih tergolek lemah di atas ranjangnya.

“Aku sudah merasa baikan, Minho oppa.” Jawab Yoona sambil tersenyum lemah. Yeoja yang beberapa hari lalu mengalami serangan di ruang musik dan menyebabkannya tidak sadarkan diri selama satu minggu itu masih merasa lemas meski kondisinya sudah mulai membaik.

“Mana Yuri? Kenapa aku tidak melihatnya? Oppa sudah mengabari dia kan?” tanya Yoona sambil melirik ke kanan dan kiri, mencari sosok Yuri yang sudah lama tidak ditemuinya.

“Aku sudah mengabarinya, tetapi aku juga tidak tahu kenapa dia belum datang juga. Mungkin dia terjebak macet di jalan atau dia masih ada kelas.” Jawab Minho sedikit ragu. Namja itu sendiri tidak mengerti kenapa Yuri belum juga datang. Padahal dia tahu kalau yeoja yang diam-diam disukainya itu sangat menunggu kabar baik atas kondisi Yoona. Tetapi kini saat Yoona sudah sadar, Yuri justru tidak cepat-cepat datang.

“Mmh, mungkin saja oppa benar. Kalau begitu aku akan menunggunya.” Putus Yoona akhirnya. Minho yang menyadari kekecewaan Yoona langsung menghibur yeoja yang tak lain adalah seseorang yang sangat disayangi almarhum kakaknya, Choi Siwon.

“Sudahlah, jangan cemberut seperti itu. Kau terlihat jelek, tahu? Hahaha.” Ledek Minho yang dibalas dengan pelototan Yoona.

“Oppa! Mentang-mentang aku sedang sakit kau jadi seenaknya saja meledekku. Lihat saja nanti kalau aku sudah sembuh. Hidupmu tidak akan pernah tenang.” Ancam Yoona dari balik selimut dan peralatan medis lainnya yang masih melintang di atas tubuhnya.

“Aigoo, masih sakit saja sebegini menyeramkannya. Apalagi kalau sudah sembuh? Pantas saja Jinki tidak berani mendekatimu terang-terangan. Ckck.” Balas namja itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Jinki oppa tidak berani mendekatiku? Maksud oppa apa?” tanya Yoona tidak mengerti. Minho yang baru menyadari kalau dia baru saja kelepasan berbicara segera menggeleng gugup.

“A.. Ani, aniyo.. Tidak ada maksud apa-apa, Yoona-aa. Tadi aku hanya asal bicara.” Jawab Minho sedikit terbata-bata. Yoona memicingkan mata curiga. Baru saja ia hendak bertanya lebih jauh tentang hal itu, pintu ruangan tempatnya dirawat terbuka dan menampakkan satu sosok yang tengah menjadi subjek pembicaraan mereka.

”Annyeong Yoona-aa. Mmh, bagaimana kondisimu hari ini? Sudah lebih baik?” sapa Jinki sambil tersenyum kikuk. Namja itu melangkah masuk ke dalam dan menghampiri Yoona yang balas tersenyum kepadanya.

“Annyeong oppa. Yah, seperti yang oppa lihat. Setidaknya aku sudah merasa lebih baik daripada semalam.” Jawab Yoona. Jinki mendekat ke arahnya dan meletakkan sekeranjang buah yang dibawanya ke atas meja di samping ranjang yeoja itu.

“Ini kubawakan buah. Dimakan ya, biar kau cepat sembuh.” Ucap Jinki yang terdengar lembut di telinga Yoona membuat yeoja itu menatap kebingungan ke arahnya.

“Terima kasih oppa. Err, oppa baik-baik saja kan?” tanya Yoona.

“Eh? Aku baik-baik saja kok. Kenapa kau bertanya seperti itu?” balas Jinki yang malah balik bertanya.

“Habis, nada bicara oppa sebelumnya beda. Terdengar sedikit lebih.. lembut dari biasanya.” Jawab Yoona jujur yang sukses membuat Jinki salah tingkah.

“Ah, Geuraeyo? Tapi aku merasa biasa saja. Mungkin itu hanya perasaanmu Yoona-aa. Hehe.” Balas Jinki diakhiri cengiran lebarnya.

“Hmm, baiklah, baiklah. Aku akan keluar dan memberimu kesempatan untuk berdua dengannya, Jinki-aa.” ucap Minho tiba-tiba yang membuat Yoona dan Jinki berpaling menatapnya. Yoona dengan tatapan tidak mengertinya, sementara Jinki dengan tatapan paniknya seolah mengatakan kau-mau-membuatku-malu-ya.

“Aku akan keluar dan menelepon Yuri. Sampai nanti.” Lanjut Minho yang mengabaikan dua pasang mata yang menatapnya itu. Namja itu segera berdiri dan melenggang santai ke arah pintu. Sebelum ia menghilang dari balik pintu, ia sempat menoleh ke belakang dan tersenyum penuh arti pada Jinki.

Kali ini kau harus berterima kasih padaku, Jinki-aa. Namja yang menjadi idola banyak gadis di kampusnya itu lalu menghilang di balik pintu, meninggalkan Jinki yang semakin panik ditinggal berdua dengan yeoja yang sudah lama mencuri hatinya itu.

“Oppa, ada apa dengan Minho oppa? Kenapa kalian berdua hari ini aneh sekali? Kalian berdua menyembunyikan sesuatu dariku ya?” cecar Yoona yang menambah tingkat kepanikan Jinki.

“Ah, itu.. itu.. aduh, bagaimana aku mengatakannya ya? Mmh, sebenarnya.. sebenarnya.. aku..” Jinki terlihat sangat salah tingkah dan hal itu semakin membuat Yoona kebingungan sekaligus penasaran.

“Sebenarnya oppa kenapa?”

“Aku.. aku..” baru saja Jinki ingin mengungkapkan perasaannya pada Yoona, mendadak ponsel yeoja itu yang berada di atas meja samping ranjangnya berdering. Yoona meraih ponselnya dengan susah payah dan membaca identitas sang penelepon.

My bestie Yuri is calling.

-o0o0o-

Tinggalkan komentar