Love is… Who? (Chapter 2)

997e460d92f5a329d34f0b3c85c2c035

“Hei, pelan-pelan saja menyetirnya. Hei! Ya! Ya! Ya! Awas di depanmu! Aaaaaa…” 

Braak!

Oh Sehun mendadak terbangun. Baju tidurnya basah bersimbah keringat. Peluh sebesar biji jagung tampak membanjiri wajahnya. Begitupun dengan anggota tubuh lainnya.

Shit! Kenapa aku masih saja tidak bisa melupakan kejadian itu?!”

Laki-laki itu menarik-narik rambutnya sembarangan. Kini kondisinya sungguh mengenaskan. Rambut acak-acakan, baju tidur yang lepek akibat keringat, posisi seprei dan selimut yang tidak karuan. Sungguh siapapun yang saat itu masuk ke dalam kamarnya pasti akan menjerit ketakutan melihat penampakan tersebut.

“Jongin-ah…”

Sudut-sudut bibirnya sedikit terangkat setelah nama itu mencelos keluar. Getir. Ya, kenangan buruk itu terus saja menghantuinya. Tidak pernah membiarkannya tidur nyenyak menikmati alam mimpi yang menurut sebagian orang sangatlah indah.

“Jam berapa sekarang?”

Oh Sehun mendongakkan kepala dan melihat jam dinding yang terpasang tepat di atas pintu kamarnya. Jam dinding berwarna biru dengan latar belakang gambar pantai berpasir putih favoritnya. Hadiah ulang tahun dari sahabatnya. Hadiah terakhir sebelum sahabatnya direnggut paksa oleh malaikat maut tepat di depan matanya.

“Sebaiknya aku mandi saja.”

Laki-laki itu membuka lipatan selimut yang masih menutupi sebagian kakinya dan beranjak turun. Ia menyurukkan tangan ke bawah bantal yang menjadi alas kepalanya dan menarik keluar remote pendingin ruangan. Setelah mematikan alat tersebut, ia melangkah menuju lemari pakaiannya dan menarik sebuah handuk biru tebal. Selanjutnya ia berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dan melaksanakan niatnya.

-o0o0o-

“Oh? Kau sudah bangun rupanya. Cepat turun! Eomma sudah selesai memasak makanan kesukaanmu pagi ini.”

Sehun menoleh dan tersenyum mendapati sosok ibunya yang tampak sibuk menyiapkan sarapan. Kedua kakinya bergegas menuruni tangga dan setengah berlari menuju ke arah ibunya.

Eomma~”

Kedua tangan Sehun kini melingkar sempurna di pinggang ibunya, mengejutkan wanita paruh baya yang tengah memindahkan masakannya ke atas piring sajian.

Omona! Ya! Kau mengagetkan Eomma! Aish, cepat lepaskan tanganmu. Apa kau tidak lihat kalau Eomma sedang memasak?”

Sehun hanya terkekeh mendengar gerutuan itu. Ia segera melepaskan pelukannya dan mengintip dari balik bahu ibunya untuk melihat apa yang sedang disiapkan oleh sang ibu.

“Ah, mashitta!”

Ibunya langsung melotot begitu melihat kelakuan anak bungsunya. Main comot begitu saja hasil masakan yang susah payah ditatanya agar terlihat cantik dan menggugah selera.

Ya! Kau ini! Sudah berapa kali Eomma bilang jangan main ambil begitu saja. Kau harus cuci tangan dulu, setelah itu baru kau boleh mengambilnya. Kalau kau sakit gara-gara kuman yang ada di tanganmu bagaimana?”

Ne, nee. Arraseo. Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi.”

Sehun membungkuk tanda meminta maaf pada ibunya. Sang ibu mendengus kesal dan kembali sibuk menata hidangan di atas piring. Tanpa sepengetahuan ibunya, Sehun tampak membekap mulutnya, berusaha menahan tawa yang hampir saja keluar saat ia tengah membungkuk takzim. Tentu saja permintaan maaf itu tidak benar-benar menunjukkan penyesalannya. Sang ibu pun sudah tahu akan hal itu. Esok pagi dapat dipastikan Sehun akan melakukan hal yang sama dan kembali meminta maaf seperti saat ini.

“Kenapa sih kau suka sekali membuat Eomma kesal? Kau tahu, bisa-bisa Eomma tidak sudi lagi memasak untukmu gara-gara kau selalu menggodanya.”

Sehun memutar kepala dan melihat seorang perempuan yang usianya terpaut lima tahun lebih tua darinya sedang berjalan ke arahnya. Pakaian three pieces berwarna salem melekat sempurna di badannya yang tinggi semampai. Rambutnya yang hitam kecoklatan dipotong sebahu dan ditata sedemikian rupa untuk menyempurnakan penampilannya. Perempuan itu bernama Oh Mirae, anak pertama keluarga Oh. Dengan kata lain perempuan itu adalah kakak Sehun.

“Aku jamin itu tidak akan pernah terjadi. Eomma sangat sangat menyayangiku. Benar kan, Eomma?”

Sang ibu mengangkat bahu, seolah tidak begitu peduli dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu.

Eomma~”

Sehun langsung merajuk begitu melihat reaksi ibunya yang tidak sesuai harapan. Kontan semburan tawa keluar dari mulut Mirae demi melihat reaksi sang ibu yang menurutnya memihak padanya untuk menggoda Sehun.

“Hahaha, see? Kau sih, sudah dibilang berkali-kali tapi tetap saja nakal. Mehrong~.”

Sehun memberengut kesal. Laki-laki yang dikenal pendiam di kalangan teman-temannya itu hanya bisa menghentak-hentakkan kaki, berharap sang ibu memperhatikan dan berbalik memihak padanya.

“Sudah, sudah. Hentikan. Sehun-ah, cepat panggil ayahmu untuk sarapan bersama.”

Sang ibu bergegas menengahi adu mulut kedua anak tersayangnya sebelum salah satu di antaranya akan menekuk muka selama berada di meja makan. Sehun membelalakkan mata begitu mendengar dialah yang diperintah ibunya, bukan sang kakak. Mirae menunjukkan cengiran lebarnya dan mengibas-ibaskan tangan kanannya, mengusir sang adik dari dapur untuk segera memanggil ayah mereka.

“Kenapa harus aku yang memanggil Appa? Aish, menyebalkan sekali pagi ini.”

Laki-laki bertubuh tinggi atletis itu mendengus keras, mengundang cengiran yang semakin lebar di wajah kakaknya dan senyum terkulum ibunya.

Appaa! Sarapan sudah siap! Ayo cepat kita makan! Appa tidak perlu dandan berlebihan. Toh Eomma tetap akan melihat Appa sebagai lelaki paling tampan sedunia.”

Nyonya Oh dan Mirae langsung melotot begitu mendengar teriakan tidak tahu sopan santun yang diucapkan Sehun untuk memanggil kepala keluarga Oh. Namun yang dipelototi malah menampilkan wajah tanpa dosa dan berlalu begitu saja menuju meja makan, menarik salah satu kursi dan mendudukkan diri di atasnya.

Waeyo?”

Sungguh Nyonya Oh ingin sekali menjitak kepala anak lelakinya itu. Rupanya keinginan sang ibu tertelepatikan dengan baik ke benak dan gerak refleks Mirae.

Pletak!

Ya! Kau tidak sopan sekali, Sehunnie. Bisa-bisanya kau memanggil Appa seperti itu. Ckck.”

Sehun mengernyit kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya.

Noona! Appoyo… aish, jinjja.”

Belum sempat Mirae melanjutkan omelannya, langkah sepatu Tuan Oh terdengar menggaung di lantai marmer kediaman mereka.

Yeobo… ya! Kenapa kau memakai sepatu di dalam rumah?! Lantainya kan jadi kotor. Aish, benar-benar dua lelaki di rumah ini selalu saja membuatku kesal.”

Nyonya Oh langsung mengomel begitu melihat suaminya masuk ke dalam ruang makan sudah dalam dandanan lengkap beserta sepatu hitam kesayangannya.

“Tenanglah, sepatu ini masih bersih. Pagi ini baru saja kering.”

Tuan Oh menghampiri istrinya yang masih tampak merajuk. Tanpa tedeng aling-aling, lelaki paruh baya pemimpin salah satu perusahaan tambang ternama di Korea Selatan itu menarik Nyonya Oh ke dalam pelukannya dan melumat lembut bibir wanita yang telah menemaninya selama 30 tahun terakhir.

“Iyuuh, Appa! Eomma! Bisakah kalian tidak melakukannya di depan kami?”

Tuan dan Nyonya Oh menoleh, seolah baru menyadari bahwa ada orang lain yang menjadi saksi keromantisan mereka.

“Ah, mianhae adeul. Kalian sarapan duluan saja. Appa mau menikmati sarapan ‘khusus’ dengan Eomma, hehehe.”

Baik Mirae dan Sehun langsung mendengus dan membuang muka, memberikan waktu pada ayahnya yang memang sangat senang unjuk kemesraan terutama di hadapan mereka.

Setelah orangtuanya pergi meninggalkan ruang makan, kedua kakak-beradik itu makan dalam diam. Masing-masing dengan pemikirannya sendiri. Hingga akhirnya Mirae tidak tahan dan memilih untuk menyuarakan pemikirannya. Lebih tepatnya menyuarakan pertanyaan yang belum pernah terjawab.

“Sehun-ah, kapan kau memutuskan untuk menemuinya?”

-o0o0o-

Sementara itu, masih di pagi yang sama namun di kediaman yang berbeda. Suasana di dalam rumah keluarga Im tampak lengang. Keluarga pemilik rumah tengah menyantap sarapannya dengan tenang. Hanya denting sendok dan garpu yang menyemarakkan ruang makan. Masing-masing orang lebih memilih untuk menikmati setiap suap makanannya, terlebih bagi satu-satunya laki-laki yang juga menjadi kepala keluarga Im. Sudah menjadi kebiasaan kalau sedang menikmati makanannya, maka sendok dan garpu Tuan Im akan sering sekali berbenturan hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

“Huaah, lezatnya! Perutku kenyang sekali. Gomawo untuk makanannya, yeobo. Saranghae.”

Puji Tuan Im pada istrinya sambil memejamkan mata dan memajukan bibirnya. Kedua mata Yoona langsung membulat melihat perilaku ayahnya dan hampir saja air mineral yang baru diminumnya menyembur keluar. Untung ia berhasil menelannya cepat-cepat.

Appa! Aish, hampir saja.”

Tuan Im menunjukkan cengiran khasnya, tanda permintaan maaf untuk putri tunggalnya. Sementara Nyonya Im masih melanjutkan makannya, tidak terganggu sama sekali dengan keromantisan-yang-menjurus-kegombalan suaminya.

“Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu, Appa, Eomma. Annyeong!”

Yoona segera beranjak dan menghampiri orangtuanya, lalu mencium sebelah pipi keduanya sambil membawa peralatan makan yang digunakannya. Sebelum melangkah keluar dari ruang makan, gadis itu meletakkan peralatan makan kotornya di bak cucian piring. Untuk kali ini ia tidak sempat membersihkannya karena pagi ini ia bangun kesiangan.

Ne. Hati-hati di jalan, adeul.”

-o0o0o-

Jung Sooyeon, atau lebih dikenal dengan nama Jessica, bergegas memarkirkan mobil mewahnya di pelataran parkir yang berdekatan dengan gedung perkuliahannya. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan benar, gadis yang memiliki julukan Ice Princess itu melangkah turun dan merapikan pakaiannya. Ia baru saja hendak menekan tombol keamanan di kunci mobilnya ketika teringat dengan hasil lukisan yang ingin diserahkannya pada panitia perhelatan seni akbar tahunan kampusnya.

“Hampir saja aku lupa.”

Gadis itu memutar tubuhnya dan beranjak ke pintu belakang. Membukanya dalam sekali sentakan dan mengambil kanvas yang telah terbungkus kardus pipih putih dari dalamnya.

“Lama tidak bertemu, Jessica-ssi.”

Jessica mendongak dan mendapati sosok tinggi menjulang menghalangi pandangannya. Wajahnya terangkat dan sontak terkejut begitu menatap seraut wajah yang begitu dikenalnya. Seraut wajah yang juga ingin dihapus dari ingatannya.

“K… Kau?! Bagaimana… Bagaimana bisa? Bagaimana kau bisa ada di sini?!”

Sosok itu mengerutkan kening begitu mendengar pertanyaan Jessica.

“Memangnya aku tidak boleh ada di sini?”

Bibir gadis itu terkatup rapat. Genggaman tangan kirinya pada sudut kardus pembungkus kanvasnya semakin erat. Pandangannya masih tetap terarah pada lawan bicaranya, meski lapisan selaput bening mulai muncul di kedua bola matanya.

“Lupakan saja. Maaf, aku sedang terburu-buru. Kita bisa bicara lagi lain waktu. Permisi.”

Tanpa menunggu respon sosok di hadapannya, Jessica langsung membanting pintu belakang mobilnya dan beringsut menjauh. Langkah kakinya dipercepat. Tidak sekalipun ia menoleh ke belakang, ke sosok yang mendadak muncul di hadapannya. Sosok yang sebenarnya ia rindukan.

Kenapa dia bisa ada di sini? Apa dia mencari informasi tentang keberadaanku dan memutuskan untuk mengikutiku? Apa dia bermaksud untuk… aarggh! Kenapa kau harus kembali muncul di depanku, Sehun-ah?

-o0o0o-

Luhan tampak menyusuri salah satu lorong di kampusnya. Kepalanya berulang kali menoleh ke berbagai arah. Sepertinya ia sedang mencari seseorang.

“Ah, Chanyeol-ah! Tunggu sebentar.”

Seseorang yang dipanggil Chanyeol menoleh dan menghentikan langkahnya begitu ada yang memanggil namanya.

Wae?”

Alis kiri Chanyeol terangkat saat Luhan sudah berada di hadapannya.

“Kau kenapa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Chanyeol, Luhan justru mengajukan pertanyaan lain pada lawan bicaranya.

Ya! Aku yang lebih dulu bertanya. Kenapa kau malah balik menanyaiku?”

Chanyeol merengut sebal.

“Hahaha, mianhae. Aku tidak bermaksud seperti itu. Hentikan wajah bodohmu itu, Park Chanyeol.”

Luhan tertawa singkat dan menepuk punggung salah satu teman dekatnya yang berbeda departemen itu. Luhan adalah mahasiswa di Department of Act, sementara Chanyeol merupakan mahasiswa di Department of Music.

Ya! Ya! Sudah membuatku kesal, sekarang malah menghina wajah tampanku. Kau mau cari mati, huh?”

Tawa Luhan kembali meledak. Namun kali ini badannya sedikit beringsut menjauh, khawatir Chanyeol benar-benar akan melampiaskan kekesalannya itu.

“Hahaha, mian. Mianhae. Jeongmal mianhae. Habis kau lucu sekali kalau sedang kesal seperti itu. Membuatku ingin menjitak kepalamu.”

Chanyeol membulatkan mata begitu mendengar ucapan Luhan.

Nde?! Ya! Kau meminta maaf tapi di akhir lagi-lagi meledekku. Lagipula mana mungkin kau bisa menjitak kepalaku. Kau kan pendek. Wee.”

Kali ini Chanyeol ganti meledek Luhan, membuat lelaki keturunan China itu menghentikan tawanya dan mendengus keras.

Arraseo, Park Chanyeol yang tinggi seperti jerapah. Ah, sudahlah. Apa siang nanti kau sibuk?”

Chanyeol mengangkat bahu.

“Sepertinya tidak. Ada apa?”

Luhan menggigiti bibir bawahnya sejenak, tampak menimbang-nimbang.

“Aku ingin memintamu untuk menemaniku menemui Yoona. Bagaimana?”

Chanyeol melenguh. Ekspresi menyesal jelas terlihat di wajahnya.

Shirreo! Aku tidak mau menjadi obat nyamuk kalian berdua.”

Luhan melayangkan pukulan ringan di bahu kiri Chanyeol.

Buk!

Auw! Ya! Appo!”

Chanyeol meringis dan mengusap-usap bahunya yang baru saja berubah wujud menjadi samsak tinju temannya itu. Berlebihan memang. Terbukti Luhan langsung mencibir melihat respon yang dibuat-buat oleh laki-laki tinggi itu.

“Kau berlebihan. Tenang saja, aku sudah meminta Yoona untuk mengajak Sooyoung juga.”

Kedua mata Chanyeol mendadak berbinar penuh kegembiraan begitu mendengar nama terakhir yang disebut Luhan.

“Sooyoung?! Arraseo. Aku akan menemanimu. Jam berapa? Dimana? Apa aku harus ke kelasmu dulu? Atau aku-”

Luhan langsung mengangkat tangan, menghentikan pertanyaan Chanyeol yang membludak setiap kali laki-laki itu mendengar nama Sooyoung disebutkan. Oleh siapapun.

Stop! Kau ini laki-laki atau perempuan sih? Cerewet sekali. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan mengulanginya. Aku berjanji bertemu dengan Yoona di Coffe Café jam setengah satu. Aku yang akan ke kelasmu karena jarak kelasmu dengan kafe itu lebih dekat dibanding dengan kelasku. Arra?”

Chanyeol mengangguk keras dan berulang-ulang. Sangat terlihat antusias mengenai rencana pertemuannya dengan Sooyoung. Padahal jelas-jelas tadi Luhan hanya memintanya untuk menemaninya bertemu dengan Yoona, bukan sengaja mempertemukan dua makhluk tinggi itu.

“Ckck, sebegitu besarnyakah rasa sukamu pada gadis tiang itu? Dia bahkan sudah menolakmu puluhan kali.”

Luhan menggeleng bingung, dan sedikit prihatin.

“Hei, jangan sembarangan mengatainya gadis tiang. Bagiku Sooyoung adalah wanita terseksi sejagat raya. Aku tidak mempermasalahkan penolakannya. Justru itu menandakan kalau dia bukanlah wanita sembarangan. Daripada Yoona-mu yang masih saja mau berpacaran dengan Kris. Padahal jelas-jelas Kris sudah…”

Luhan lagi-lagi mengangkat tangannya. Kali ini disertai dengan tatapan tajamnya.

“Jangan pernah kau berbicara seperti itu tentang Yoona. Setidaknya tidak di depanku.”

Chanyeol bungkam. Ia tahu kalau kali ini ia sudah kelewatan. Ia jelas sudah melukai perasaan Luhan.

Mianhae, aku tidak bermaksud menjelek-jelekkannya. Sungguh. Jeongmal mianhae.”

Luhan menundukkan kepala dan menghela napas. Beberapa detik kemudian ia kembali mengangkat kepalanya dan menepuk punggung Chanyeol.

“Tak apa. Kalau begitu sampai nanti, Chanyeol-ah.”

Luhan perlahan beranjak menjauh. Sebelumnya ia sempat melambaikan tangan pada Chanyeol yang dibalas dengan lambaian serupa. Sesaat setelah sosok Luhan hilang dari pandangannya, Chanyeol membalikkan badan dan beradu tatap dengan sepasang mata sendu milik gadis yang dikenalnya.

“Seohyun-ah…”

-o0o0o-

Seohyun semakin mempercepat langkah kakinya. Kepalanya tertunduk. Sebagian rambutnya yang berwarna hitam legam terjatuh menutupi sisi wajahnya, sekaligus menutupi aliran air mata yang mulai membentuk lajur halus di pipinya.

“Seohyun-ah! Ya! Seohyun-ah! Gidarike!”

Kali ini gadis itu memutuskan untuk berlari. Berlari tanpa arah. Pandangannya yang setengah tertutup membuat tubuhnya berulang kali menabrak orang lain di sekitarnya. Menjadikannya objek perhatian dadakan.

Sosok laki-laki yang sedari tadi mengejar dan memanggil namanya ikut berlari. Berusaha mengurangi jarak yang memisahkannya dari gadis itu.

“Seohyun-ah!”

Akhirnya laki-laki itu berhasil meraih pergelangan tangan gadis yang dikejarnya. Memaksa gadis itu untuk menghentikan pelariannya.

“Cha… Chanyeol…”

Bibir Seohyun bergetar memanggil nama Chanyeol, sahabatnya.

“Sshh, uljima. Kita ke taman saja, oke?”

Seohyun mengangguk lemah. Ia biarkan Chanyeol memeluknya, melingkarkan salah satu tangannya ke lekuk pinggangnya dan membawanya menjauh dari sana.

-o0o0o-

“Jadi pada intinya kau memintaku untuk menjadi obat nyamuk dalam pertemuan terlarang kalian, huh? Maaf saja ya, aku tidak mau.”

Seorang gadis bertubuh tinggi bernama Choi Sooyoung mencebik kesal dan membuang muka dari lawan bicaranya.

Aish, bukan seperti itu Sooyoung-ah! Dan apa tadi kau bilang? Pertemuan terlarang? Apa maksudmu, huh?”

Lawan bicara Sooyoung yang tidak lain adalah Yoona mendelik tajam, tidak terima dengan kalimat tuduhan sahabatnya itu.

“Kau dan Luhan berpacaran kan? Selingkuh? Iya kan?”

Yoona mengepalkan tangan kanannya dan menunjukkan isyarat hendak memukul wajah Sooyoung, menyebabkan gadis yang sedikit lebih tinggi itu tersentak mundur sambil melindungi wajahnya dengan tangan.

“Aku sangat ingin memukulmu, sungguh. Untunglah kau adalah sahabat yang kusayangi dan kucintai sepenuh hati.”

Sooyoung menurunkan tangannya. Ia memutar kedua bola matanya sebagai respon untuk kalimat terakhir Yoona.

“Ya ya ya, aku pun menyayangi dan mencintaimu sahabatku yang cantiik~”

Yoona hanya mendengus mendengarnya.

“Tapi semua ini tidak gratis lho. Maksudku menemanimu dan mengorbankan diriku menjadi obat nyamuk itu bukan hal mudah. Apalagi-”

Yoona mengangkat tangan kirinya, menghentikan rentetan tuntutan Sooyoung terhadapnya.

Arra. Sebagai bayarannya, kau akan memiliki waktu khusus untuk berkencan dengan Park Chanyeol selama aku berbicara dengan Luhan nanti.”

Kelopak mata Sooyoung langsung melebar.

Mwo?! Chanyeol juga akan ikut?! Kenapa galah bambu itu juga bisa ikut?! Aku lebih memilih jadi obat nyamuk kalian dibanding harus bertemu dengannya! Ya! Im Yoona! Kau mendengarku kan? Ya!”

Yoona berbalik badan dan melambaikan tangan pada Sooyoung tanpa menghiraukan pertanyaan maupun panggilannya. Sooyoung pun terpaksa mengejar Yoona dan membombardir sahabatnya itu dengan beragam kalimat protes tentang keikutsertaan Chanyeol dalam pertemuan mereka nanti.

-o0o0o-

 

Galeri