Don’t You Dare. She’s Mine! (Part 1)

DD4Af8lXgAA6lfb

Seorang laki – laki berkemeja hijau pupus dengan celana bahan berwarna hitam tampak berjalan cepat menuju ke satu ruangan dengan papan nama dr. Im Siwan, Sp.BA. Laki – laki itu langsung membuka pintu ruangan dan menerobos masuk, mengambil jas dokternya yang tergantung dan segera memakainya. Baru saja ia merapikan ujung – ujung jasnya, seorang perawat perempuan setengah baya masuk sambil membawa setumpuk dokumen.

“Selamat malam dokter Im. Maaf kami harus meminta Anda melakukan operasi mendadak selarut ini. Ini dokumen riwayat kesehatan dari pasien yang harus Anda operasi.”

Perawat setengah baya itu merupakan kepala perawat di timnya yang bernama Choi Sunkyu. Di Seoul Surgical Hospital, setiap spesialisas dan subspesialis memiliki tim yang terdiri atas seorang dokter senior dengan pengalaman praktik minimal 7 tahun, dua orang dokter junior dengan pengalaman praktik minimal 3 tahun, seorang kepala perawat (biasanya adalah perawat senior dengan pengalaman minimal 5 tahun), dan tiga orang perawat junior dengan pengalaman minimal 1 tahun. Im Siwan sendiri saat ini memiliki posisi sebagai dokter spesialis junior, di bawah kepemimpinan dr. Cha Taehyun, Sp.BA.

Im Siwan membuka dokumen pasien yang diberikan kepala perawat Choi. Ia mengerutkan kening sejenak begitu melihat satu keterangan yang menurutnya ganjil.

“Kepala perawat Choi, di dokumen ini telah dijadwalkan tindakan pembedahan oleh dokter Hong. Tapi kenapa sekarang ini menjadi kasusku?”

Dokter Hong yang dimaksud Im Siwan adalah Hong Jonghyun, sesama dokter spesialis junior yang berada satu tim dengannya.

“Ah, itu, memang benar seharusnya dokter Hong yang melakukannya. Tetapi sejak kemarin malam sampai tadi sore beliau sudah melakukan tiga tindakan pembedahan berturut – turut dan…”

Im Siwan mendengus dan tersenyum kecil. Ia sudah dapat memperkirakan penjelasan kepala perawat Choi selanjutnya.

“Dan dia melewatkan waktu makannya, asam lambungnya naik, lalu sekarang berada di ruang perawatan. Begitu kan?”

Kepala perawat Choi mengangguk. Bukan hal yang baru jika pada akhirnya dokter Hong berakhir di ruang perawatan setelah melakukan tindakan pembedahan lebih dari dua kali berturut – turut. Rekan Im Siwan itu memang memiliki ketahanan fisik yang cenderung lemah. Ia mempunyai riwayat penyakit asam lambung parah yang seringkali membuatnya jatuh pingsan bila melewatkan jam makannya. Namun kemampuannya sebagai seorang dokter bedah spesialis anak tidak perlu diragukan. Hong Jonghyun merupakan lulusan terbaik studi bedah anak di universitasnya, mengungguli Im Siwan yang merupakan teman satu angkatannya. Oleh karena itu Seoul Surgical Hospital tidak pernah berniat mencari pengganti dokter Hong meskipun dengan keterbatasan kondisinya itu.

“Baiklah. Apakah ruang operasi sudah disiapkan?”

“Sudah dok.”

“Pasiennya?”

“Itu… pasiennya masih di kamar rawat inapnya.”

Im Siwan mengerutkan keningnya.

“Eh?”

“Pasiennya masih dibujuk oleh perawat Im Yoona agar bersedia dipindahkan ke atas brankar.”

Kerutan di kening Im Siwan semakin dalam saat mendengar jawaban itu.

“Perawat Im Yoona? Apa dia perawat baru di tim kita yang menggantikan perawat Park?”

Kepala perawat Choi mengangguk. Perawat Park yang bernama lengkap Park Hwanhee adalah salah satu perawat junior di tim dokter Cha Taehyun. Seminggu yang lalu perawat Park mengajukan surat pengunduran diri karena harus mengikuti suaminya yang ditugaskan ke negara Jepang. Suaminya merupakan salah satu staff penting di kedutaan Korea Selatan.

“Baiklah. Kalau begitu aku akan ke kamar pasien. Siapa tahu aku bisa membantu membujuknya.”

“Silahkan lewat sini Dok. Kamarnya ada di lantai 9 nomor 21A.”

Im Siwan menutup dokumen pasien yang ada di tangannya dan beranjak mengikuti langkah kepala perawat Choi.

-o0o0o-

“Jisungie~ kau mau cepat sembuh kan? Bukankah tadi kau bilang kalau kau ingin cepat – cepat bisa bermain bola lagi dengan teman – temanmu? Kalau kau ingin cepat sembuh, kau perlu diobati dulu oleh dokter.”

Seorang gadis berseragam perawat berlabel Im Yoona terlihat sedang berbicara dengan seorang anak berusia 7 tahun yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Lebih tepatnya sedang membujuk anak itu yang tetap keras kepala menolak untuk dioperasi.

Shirreoyoo! Aku tidak mau! Tidak mau tidak mau tidak mau!”

Ibu si anak yang semula duduk di samping ranjang langsung berdiri dan menenangkan anaknya.

“Sshh, Jisung-ah, kau tidak boleh berteriak – teriak di rumah sakit. Nanti mengganggu.”

Park Jisung, nama lengkap dari pasien tersebut, memandang wajah ibunya dan mendadak menangis.

“Tapi eomma hiks Jisung hiks tidak mau hiks dioperasi. Hiks hiks hiks”

Yoona perlahan mendekat dan mendudukkan dirinya di ranjang pasien.

“Jisung kenapa tidak mau dioperasi? Apa Jisung tidak ingin cepat sembuh?”

Jisung menggeleng keras – keras.

Aniyo. Jisung mau sembuh. Jisung mau main bola lagi dengan teman – teman.”

Yoona tersenyum lembut menanggapi pernyataan Jisung.

“Nah, kalau Jisung mau sembuh dan main bola lagi, penyakit Jisung perlu diobati. Sekarang coba tunjukkan pada Noona mana yang terasa sakit di badan Jisung.”

Jisung menghentikan tangisnya. Matanya yang bulat menatap bingung ke sosok perawat yang dari tadi berbicara dengannya.

Igeo. Appoyo. Neomu appoyo.”

Jisung menunjuk pada perut sebelah kanannya.

“Wah, ternyata perut Jisung ya yang sakit. Tapi Jisung tenang saja, dokter akan mengobati dan menyembuhkan Jisung. Jadi perut Jisung tidak akan sakit lagi.”

Jinjjayo?”

Yoona mengangguk cepat.

Keuromyo.”

“Tapi Noona, dioperasi itu kan sakit. Jisung takut.”

Yoona terdiam sebentar, memilih kata yang akan diucapkannya agar Jisung tidak lagi merasa takut dan bersedia dioperasi.

“Hmm yah Noona tidak akan bohong, memang akan sakit. Tapi cuma sebentar kok. Setelah itu Jisung akan sembuh.”

Jisung berjengit. Wajahnya masih menunjukkan ketakutan dan keengganan.

Annyeonghaseyo. Ah, rupanya ini dia jagoan kita. Park Jisung? Wah seperti nama pemain sepak bola kebanggaan Korea Selatan ya.”

Im Siwan mendadak muncul yang didampingi oleh perawat Choi. Yoona langsung menoleh dan mengangguk hormat. Ia lalu berdiri dan menjauhkan dirinya dari ranjang, memberi kesempatan pada dokter Im untuk mendekati Jisung.

“Dokter tahu Park Jisung pemain sepak bola itu?”

Eum, keuromyo! Siapa yang tidak kenal dengan Park Jisung? Jangan – jangan Park Jisung yang ini juga akan menjadi pemain sepak bola yang hebat.”

Jisung tersenyum lebar. Segala ketakutan dan keengganan untuk dioperasi tiba – tiba sirna dari raut wajahnya.

Eum! Aku memang ingin menjadi pemain sepak bola yang hebat. Yang banyak membuat gol.”

“Wah, hebat sekali! Tapi kenapa calon pemain sepak bola hebat ini ada di sini? Apa dia sakit?”

Sekarang Im Siwan sudah memposisikan dirinya di samping ranjang sang pasien.

“Perutku sakit. Sakit sekali. Aku jadi tidak bisa main bola lagi.”

Dokter Im menunjukkan ekspresi terkejut dan menutup mulutnya.

“Ah, ini gawat! Kita harus cepat – cepat mengobatimu agar kamu bisa bermain bola lagi lalu menjadi pemain sepak bola yang hebat.”

Jisung melebarkan kedua matanya, menatap penasaran pada dokter di hadapannya.

“Apa dokter bisa mengobatiku?”

“Tentu saja! Dokter tampan ini akan mengobatimu sampai benar – benar sembuh.”

Jisung kembali menunjukkan keraguan. Ia menoleh menatap ibunya dan Yoona. Kedua orang yang ditatap Jisung mengangguk. Ibunya bahkan mengusap – usap kepala Jisung dan menciumnya.

“Tapi Dokter, bisa tidak kalau operasinya jangan sakit – sakit? Sakit sedikit tidak apa – apa deh…”

Baik Siwan, Yoona, kepala perawat Choi dan ibunya Jisung tertawa mendengar permintaan Jisung. Sementara Jisung menatap kebingungan pada semua orang dewasa yang entah menertawakan apa.

-o0o0o-

Akhirnya tindakan pembedahan atau yang biasa dikenal sebagai operasi dari pasien bernama Park Jisung selesai dalam waktu dua jam. Operasi yang dilakukan memang bukan termasuk operasi besar karena kasus Jisung adalah radang usus buntu sehingga dapat berlangsung cukup cepat.

Begitu keluar dari ruang operasi, Im Siwan melepas mantel dan topi operasi yang berwarna hijau dan memasukkannya ke keranjang khusus. Sementara sarung tangan yang tadi digunakannya dibuang ke tempat sampah. Laki – laki berusia 32 tahun itu lalu masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Sementara Im Yoona dan kepala perawat Choi membantu memindahkan Jisung kembali ke kamar rawat inapnya dan memeriksa tanda – tanda vital anak tersebut.

Selesai membasuh wajahnya, Siwan keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju meja perawat jaga. Di sana ia melihat perawat baru yang tadi ikut membantunya saat mengoperasi Jisung sedang merapikan ikatan rambutnya.

Chogiyo.”

Yoona membalikkan badan dan melihat dokter Im sedang berdiri di balik meja jaga. Ia bergegas menghampiri laki – laki tersebut.

Ye, Im uisanim. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Siwan justru memperhatikan Yoona secara seksama. Kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang tergolong kecil, kedua matanya yang menyerupai bentuk mata rusa, hidungnya yang mungil, bibirnya yang tipis dan disaput warna lipstik merah muda…

“Im uisanim?”

“Ah, ye? Mianhaeyo. Apa tadi pertanyaanmu?

Siwan merutuki dirinya yang terlalu tenggelam dalam pesona perempuan di hadapannya ini.

“Apa Anda baik – baik saja, uisanim?”

Yoona menatap penuh khawatir. Sesungguhnya ia juga merasa sedikit kebingungan dengan sikap dokter Im Siwan tersebut.

Ye. Aku baik – baik saja, terima kasih. Ah, aku mau minta tolong padamu. Tolong carikan nomor kamar tempat dokter Hong Jonghyun dirawat di data pasien.”

“Jongie?”

Mworago?”

Yoona tersentak. Ia cepat – cepat menggeleng dan tersenyum.

Aniyeyo. Mohon ditunggu sebentar Dok.”

Siwan menyipitkan matanya sejenak lalu mengangkat bahu, seolah tidak terlalu mempedulikan apa yang diucapkan Yoona sebelumnya.

Sementara Yoona mencari informasi yang diinginkan Siwan, laki – laki itu kembali memperhatikan gadis yang baru saja ditugaskan sebagai perawat junior di timnya tersebut. Ingatannya kembali melayang pada adegan dimana Yoona tengah berusaha membujuk salah satu pasien yang bernama Park Jisung agar mau dioperasi. Penjelasan kepala perawat Choi mengenai latar belakang pendidikan Yoona juga kembali bergaung di telinganya.

 

Flashback on

“Bergabungnya perawat Im Yoona ke tim kita sungguh menguntungkan, Dok.”

Im Siwan menoleh menatap kepala perawat Choi yang saat ini berjalan bersamanya menuju kamar rawat inap pasien bernama Park Jisung.

“Maksudnya?”

“Perawat Im Yoona adalah lulusan terbaik dan tercepat di akademi keperawatan Seoul. Selain itu, ia juga mengambil pendidikan psikologi keperawatan anak dan telah menyelesaikannya dengan nilai memuaskan. Bahkan ia mempunyai lisensi dalam bidang trauma healing untuk anak – anak korban kekerasan dan bencana alam. Kesimpulannya ia adalah seorang perawat anak paket lengkap. Bahkan ia sempat diperebutkan oleh dokter Lee Bumsoo dan dokter Kwon Sangwoo agar dapat dimasukkan ke dalam tim beliau berdua. Namun justru tim kita lah yang beruntung mendapatkannya.”

Im Siwan mengangguk – angguk mendengar rentetan informasi dari kepala perawat Choi tersebut. Di dalam hatinya muncul kekaguman terhadap perawat Im Yoona yang sebentar lagi akan ditemuinya.

Flashback off

 

“Im uisanim?”

Pikiran Siwan kembali tertarik ke waktu saat ini. Laki – laki itu lalu menatap Yoona dan tersenyum manis.

“Ah, mianhaeyo. Ada apa perawat Im?”

“Dokter Hong Jonghyun dirawat di lantai 5, kamar nomor 9.”

“Baiklah. Terima kasih atas bantuannya.”

Yoona mengangguk singkat dan tersenyum.

“Senang dapat membantu Anda, dokter Im.”

Siwan membalas senyum Yoona. Tidak lama ia membungkuk singkat yang dibalas dengan bungkukan dalam oleh Yoona. Laki – laki itu lalu berjalan menuju lift yang berjarak sekitar tiga meter dari meja perawat jaga. Namun baru tiga langkah, ia kembali berbalik menghampiri Yoona.

“Eh? Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Dok?”

Yoona terkejut sekaligus merasa bingung dengan kembalinya Im Siwan ke meja perawat jaga.

Aniyeyo. Aku hanya ingin mengucapkan selamat datang di tim kami. Ah, maksudku tim dokter Cha Taehyun. Maaf tadi aku belum sempat mengatakannya karena… yah, ada tindakan yang harus segera dilakukan pada calon pesebak bola hebat kita.”

Siwan mengangsurkan tangan kanannya ke hadapan Yoona. Perempuan itu menyambut tangan Siwan dan menjabatnya.

“Ah, terima kasih banyak untuk sambutannya Dok. Saya sangat senang dapat bergabung di tim dokter Cha. Untuk selanjutnya saya mohon bimbingannya.”

Siwan meremas lembut tangan Yoona, membuat perempuan itu sempat berjengit kaget. Dengan enggan Siwan pun mengakhiri jabat tangan mereka.

“Kalau begitu sampai bertemu lagi, perawat Im.”

Yoona mengangguk dan tersenyum.

Aargh! Aku bisa gila jika terus – terusan melihat senyumnya. Sebaiknya aku cepat – cepat pergi dari sini sebelum hilang kendali.

-o0o0o-

Jam masih menunjukkan pukul 09.00, namun Im Yoona sudah menginjakkan kakinya di pelataran Seoul Surgical Hospital tempatnya bekerja. Saat ini ia masih mengenakan pakaian kasual mengingat shift kerjanya baru dimulai jam 13.00. Ia memang sengaja datang lebih awal karena berniat menjenguk salah satu sahabatnya yang sedang dirawat.

Yoona melangkah santai menuju jejeran lift di dekat main lobby. Ia menekan tombol naik dan menunggu salah satu pintu lift terbuka.

Ting!

Pintu lift yang berada tepat di depan Yoona terbuka, membuat perempuan itu segera melangkah masuk ke dalamnya.

“Perawat Im Yoona?”

Yoona menoleh saat mendengar ada yang memanggil namanya dan baru menyadari bahwa ia tidak sedang sendiri.

“Oh? Dokter Im?”

Siwan mengangguk singkat.

“Sedang apa kau? Apa hari ini kau mendapat shift pagi? Tapi kenapa kau belum memakai seragam?”

Yoona sejenak terdiam mendengar bombardir pertanyaan dari Siwan.

“Ah, aniyeyo. Hari ini saya mendapat shift siang, Im uisanim.”

“Lalu, apa yang kau lakukan di rumah sakit sepagi ini?”

Yoona tersenyum dan mengangkat tangan kirinya yang sedang memegang rantang makanan.

“Saya ingin menjenguk teman dan mengantarkan makanan untuknya.”

Siwan melihat rantang makanan yang dibawa Yoona dan mengangguk sambil lalu.

“Oh, begitu. Temanmu dirawat di lantai berapa?”

“Lantai 5, Im uisanim.”

Siwan lagi – lagi mengangguk.

“Baiklah. Kalau begitu semoga temanmu lekas sembuh.”

“Terima kasih Im uisanim.”

Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara keduanya. Begitu lift sampai di lantai 5, Yoona segera melangkah keluar. Sebelum pintu lift tertutup, ia sempat membungkuk untuk berpamitan pada Siwan.

-o0o0o-

Aish, sudah berapa kali kubilang untuk jangan melewatkan jam makanmu! Lihat, sekarang kau harus terkapar di sini. Ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini. Apa kau tidak menyayangi badanmu, huh?”

Seorang perempuan muda yang mengenakan dress coklat selutut langsung meluncurkan omelannya begitu masuk ke salah satu kamar rawat inap di Seoul Surgical Hospital tersebut. Di dalam kamar itu terbaring sesosok laki – laki berparas tampan yang tersenyum lebar tanpa rasa bersalah pada perempuan tersebut.

“Hehehe, kau jangan marah – marah seperti itu Yoong. Aku ini pasien, masa kau omeli. Nanti kalau penyakitku semakin parah karena omelanmu bagaimana?”

Perempuan itu mendecih sebal.

“Cih. Saat ini kau memang seorang pasien, tapi kau juga seorang dokter di rumah sakit ini Jongie! Dokter kok hobi sekali dirawat di rumah sakit tempatnya bekerja. Ckckck.”

Pasien laki – laki itu langsung membantah pernyataan tersebut.

“Enak saja! Aku juga tidak mau dirawat seperti ini.”

“Kalau kau tidak mau dirawat, dijaga dong pola makanmu. Sudah tahu punya penyakit asam lambung kronis, tapi masih saja bandel melewatkan jam makan. Kau sengaja ya ingin lebih diperhatikan olehku?”

“Iya.”

Gerakan perempuan itu langsung terhenti. Setelah berhasil menguasai dirinya, perempuan itu berbalik menatap pasien laki – laki yang bernama Hong Jonghyun. Ya, dia adalah dokter Hong yang kemarin sempat ditanyakan oleh dokter Im kepadanya di meja perawat jaga.

“Lagi – lagi kau tidak menghabiskan sarapan yang disediakan rumah sakit ya?”

Jonghyun melirik pada nampan stainless steel yang diletakkannya di atas meja. Pada nampan tersebut ada semangkuk bubur putih yang sengaja belum dihabiskannya.

“Aku kan menunggu hasil masakan seorang Im Yoona. Nanti kau kecewa kalau masakanmu tidak kumakan.”

Perempuan itu yang tidak lain adalah Yoona hanya memutar bola matanya. Ia lalu menarik kursi mendekati ranjang dan mendudukkan dirinya. Kedua tangannya dengan cekatan membuka rantang makanan yang sedari tadi dibawanya.

“Ini, makanlah.”

Yoona menyodorkan sesendok samgyejuk –bubur ayam khas Korea- ke mulut Jonghyun. Laki – laki itu langsung tersenyum senang dan melahapnya.

“Ahyoung menitipkan salam untukmu. Katanya setelah jam kerjanya selesai ia akan datang menjengukmu.”

Jonghyun hanya diam. Ia tidak berniat merespon perkataan Yoona dan lebih memilih memakan bubur yang sedari tadi disuapkan perempuan itu kepadanya.

“Dia masih mengharapkanmu, kau tahu? Tidak bisakah kau memberinya kesempatan dan belajar menyukainya?”

Tubuh Jonghyun langsung menegang. Ia lalu menahan pergelangan tangan Yoona yang kembali mengangsurkan sesendok bubur kepadanya.

“Bagaimana denganmu? Tidak bisakah kau memberiku kesempatan dan belajar menyukaiku?”

-o0o0o-

Love is… Who? (Chapter 2)

997e460d92f5a329d34f0b3c85c2c035

“Hei, pelan-pelan saja menyetirnya. Hei! Ya! Ya! Ya! Awas di depanmu! Aaaaaa…” 

Braak!

Oh Sehun mendadak terbangun. Baju tidurnya basah bersimbah keringat. Peluh sebesar biji jagung tampak membanjiri wajahnya. Begitupun dengan anggota tubuh lainnya.

Shit! Kenapa aku masih saja tidak bisa melupakan kejadian itu?!”

Laki-laki itu menarik-narik rambutnya sembarangan. Kini kondisinya sungguh mengenaskan. Rambut acak-acakan, baju tidur yang lepek akibat keringat, posisi seprei dan selimut yang tidak karuan. Sungguh siapapun yang saat itu masuk ke dalam kamarnya pasti akan menjerit ketakutan melihat penampakan tersebut.

“Jongin-ah…”

Sudut-sudut bibirnya sedikit terangkat setelah nama itu mencelos keluar. Getir. Ya, kenangan buruk itu terus saja menghantuinya. Tidak pernah membiarkannya tidur nyenyak menikmati alam mimpi yang menurut sebagian orang sangatlah indah.

“Jam berapa sekarang?”

Oh Sehun mendongakkan kepala dan melihat jam dinding yang terpasang tepat di atas pintu kamarnya. Jam dinding berwarna biru dengan latar belakang gambar pantai berpasir putih favoritnya. Hadiah ulang tahun dari sahabatnya. Hadiah terakhir sebelum sahabatnya direnggut paksa oleh malaikat maut tepat di depan matanya.

“Sebaiknya aku mandi saja.”

Laki-laki itu membuka lipatan selimut yang masih menutupi sebagian kakinya dan beranjak turun. Ia menyurukkan tangan ke bawah bantal yang menjadi alas kepalanya dan menarik keluar remote pendingin ruangan. Setelah mematikan alat tersebut, ia melangkah menuju lemari pakaiannya dan menarik sebuah handuk biru tebal. Selanjutnya ia berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dan melaksanakan niatnya.

-o0o0o-

“Oh? Kau sudah bangun rupanya. Cepat turun! Eomma sudah selesai memasak makanan kesukaanmu pagi ini.”

Sehun menoleh dan tersenyum mendapati sosok ibunya yang tampak sibuk menyiapkan sarapan. Kedua kakinya bergegas menuruni tangga dan setengah berlari menuju ke arah ibunya.

Eomma~”

Kedua tangan Sehun kini melingkar sempurna di pinggang ibunya, mengejutkan wanita paruh baya yang tengah memindahkan masakannya ke atas piring sajian.

Omona! Ya! Kau mengagetkan Eomma! Aish, cepat lepaskan tanganmu. Apa kau tidak lihat kalau Eomma sedang memasak?”

Sehun hanya terkekeh mendengar gerutuan itu. Ia segera melepaskan pelukannya dan mengintip dari balik bahu ibunya untuk melihat apa yang sedang disiapkan oleh sang ibu.

“Ah, mashitta!”

Ibunya langsung melotot begitu melihat kelakuan anak bungsunya. Main comot begitu saja hasil masakan yang susah payah ditatanya agar terlihat cantik dan menggugah selera.

Ya! Kau ini! Sudah berapa kali Eomma bilang jangan main ambil begitu saja. Kau harus cuci tangan dulu, setelah itu baru kau boleh mengambilnya. Kalau kau sakit gara-gara kuman yang ada di tanganmu bagaimana?”

Ne, nee. Arraseo. Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi.”

Sehun membungkuk tanda meminta maaf pada ibunya. Sang ibu mendengus kesal dan kembali sibuk menata hidangan di atas piring. Tanpa sepengetahuan ibunya, Sehun tampak membekap mulutnya, berusaha menahan tawa yang hampir saja keluar saat ia tengah membungkuk takzim. Tentu saja permintaan maaf itu tidak benar-benar menunjukkan penyesalannya. Sang ibu pun sudah tahu akan hal itu. Esok pagi dapat dipastikan Sehun akan melakukan hal yang sama dan kembali meminta maaf seperti saat ini.

“Kenapa sih kau suka sekali membuat Eomma kesal? Kau tahu, bisa-bisa Eomma tidak sudi lagi memasak untukmu gara-gara kau selalu menggodanya.”

Sehun memutar kepala dan melihat seorang perempuan yang usianya terpaut lima tahun lebih tua darinya sedang berjalan ke arahnya. Pakaian three pieces berwarna salem melekat sempurna di badannya yang tinggi semampai. Rambutnya yang hitam kecoklatan dipotong sebahu dan ditata sedemikian rupa untuk menyempurnakan penampilannya. Perempuan itu bernama Oh Mirae, anak pertama keluarga Oh. Dengan kata lain perempuan itu adalah kakak Sehun.

“Aku jamin itu tidak akan pernah terjadi. Eomma sangat sangat menyayangiku. Benar kan, Eomma?”

Sang ibu mengangkat bahu, seolah tidak begitu peduli dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu.

Eomma~”

Sehun langsung merajuk begitu melihat reaksi ibunya yang tidak sesuai harapan. Kontan semburan tawa keluar dari mulut Mirae demi melihat reaksi sang ibu yang menurutnya memihak padanya untuk menggoda Sehun.

“Hahaha, see? Kau sih, sudah dibilang berkali-kali tapi tetap saja nakal. Mehrong~.”

Sehun memberengut kesal. Laki-laki yang dikenal pendiam di kalangan teman-temannya itu hanya bisa menghentak-hentakkan kaki, berharap sang ibu memperhatikan dan berbalik memihak padanya.

“Sudah, sudah. Hentikan. Sehun-ah, cepat panggil ayahmu untuk sarapan bersama.”

Sang ibu bergegas menengahi adu mulut kedua anak tersayangnya sebelum salah satu di antaranya akan menekuk muka selama berada di meja makan. Sehun membelalakkan mata begitu mendengar dialah yang diperintah ibunya, bukan sang kakak. Mirae menunjukkan cengiran lebarnya dan mengibas-ibaskan tangan kanannya, mengusir sang adik dari dapur untuk segera memanggil ayah mereka.

“Kenapa harus aku yang memanggil Appa? Aish, menyebalkan sekali pagi ini.”

Laki-laki bertubuh tinggi atletis itu mendengus keras, mengundang cengiran yang semakin lebar di wajah kakaknya dan senyum terkulum ibunya.

Appaa! Sarapan sudah siap! Ayo cepat kita makan! Appa tidak perlu dandan berlebihan. Toh Eomma tetap akan melihat Appa sebagai lelaki paling tampan sedunia.”

Nyonya Oh dan Mirae langsung melotot begitu mendengar teriakan tidak tahu sopan santun yang diucapkan Sehun untuk memanggil kepala keluarga Oh. Namun yang dipelototi malah menampilkan wajah tanpa dosa dan berlalu begitu saja menuju meja makan, menarik salah satu kursi dan mendudukkan diri di atasnya.

Waeyo?”

Sungguh Nyonya Oh ingin sekali menjitak kepala anak lelakinya itu. Rupanya keinginan sang ibu tertelepatikan dengan baik ke benak dan gerak refleks Mirae.

Pletak!

Ya! Kau tidak sopan sekali, Sehunnie. Bisa-bisanya kau memanggil Appa seperti itu. Ckck.”

Sehun mengernyit kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya.

Noona! Appoyo… aish, jinjja.”

Belum sempat Mirae melanjutkan omelannya, langkah sepatu Tuan Oh terdengar menggaung di lantai marmer kediaman mereka.

Yeobo… ya! Kenapa kau memakai sepatu di dalam rumah?! Lantainya kan jadi kotor. Aish, benar-benar dua lelaki di rumah ini selalu saja membuatku kesal.”

Nyonya Oh langsung mengomel begitu melihat suaminya masuk ke dalam ruang makan sudah dalam dandanan lengkap beserta sepatu hitam kesayangannya.

“Tenanglah, sepatu ini masih bersih. Pagi ini baru saja kering.”

Tuan Oh menghampiri istrinya yang masih tampak merajuk. Tanpa tedeng aling-aling, lelaki paruh baya pemimpin salah satu perusahaan tambang ternama di Korea Selatan itu menarik Nyonya Oh ke dalam pelukannya dan melumat lembut bibir wanita yang telah menemaninya selama 30 tahun terakhir.

“Iyuuh, Appa! Eomma! Bisakah kalian tidak melakukannya di depan kami?”

Tuan dan Nyonya Oh menoleh, seolah baru menyadari bahwa ada orang lain yang menjadi saksi keromantisan mereka.

“Ah, mianhae adeul. Kalian sarapan duluan saja. Appa mau menikmati sarapan ‘khusus’ dengan Eomma, hehehe.”

Baik Mirae dan Sehun langsung mendengus dan membuang muka, memberikan waktu pada ayahnya yang memang sangat senang unjuk kemesraan terutama di hadapan mereka.

Setelah orangtuanya pergi meninggalkan ruang makan, kedua kakak-beradik itu makan dalam diam. Masing-masing dengan pemikirannya sendiri. Hingga akhirnya Mirae tidak tahan dan memilih untuk menyuarakan pemikirannya. Lebih tepatnya menyuarakan pertanyaan yang belum pernah terjawab.

“Sehun-ah, kapan kau memutuskan untuk menemuinya?”

-o0o0o-

Sementara itu, masih di pagi yang sama namun di kediaman yang berbeda. Suasana di dalam rumah keluarga Im tampak lengang. Keluarga pemilik rumah tengah menyantap sarapannya dengan tenang. Hanya denting sendok dan garpu yang menyemarakkan ruang makan. Masing-masing orang lebih memilih untuk menikmati setiap suap makanannya, terlebih bagi satu-satunya laki-laki yang juga menjadi kepala keluarga Im. Sudah menjadi kebiasaan kalau sedang menikmati makanannya, maka sendok dan garpu Tuan Im akan sering sekali berbenturan hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

“Huaah, lezatnya! Perutku kenyang sekali. Gomawo untuk makanannya, yeobo. Saranghae.”

Puji Tuan Im pada istrinya sambil memejamkan mata dan memajukan bibirnya. Kedua mata Yoona langsung membulat melihat perilaku ayahnya dan hampir saja air mineral yang baru diminumnya menyembur keluar. Untung ia berhasil menelannya cepat-cepat.

Appa! Aish, hampir saja.”

Tuan Im menunjukkan cengiran khasnya, tanda permintaan maaf untuk putri tunggalnya. Sementara Nyonya Im masih melanjutkan makannya, tidak terganggu sama sekali dengan keromantisan-yang-menjurus-kegombalan suaminya.

“Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu, Appa, Eomma. Annyeong!”

Yoona segera beranjak dan menghampiri orangtuanya, lalu mencium sebelah pipi keduanya sambil membawa peralatan makan yang digunakannya. Sebelum melangkah keluar dari ruang makan, gadis itu meletakkan peralatan makan kotornya di bak cucian piring. Untuk kali ini ia tidak sempat membersihkannya karena pagi ini ia bangun kesiangan.

Ne. Hati-hati di jalan, adeul.”

-o0o0o-

Jung Sooyeon, atau lebih dikenal dengan nama Jessica, bergegas memarkirkan mobil mewahnya di pelataran parkir yang berdekatan dengan gedung perkuliahannya. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan benar, gadis yang memiliki julukan Ice Princess itu melangkah turun dan merapikan pakaiannya. Ia baru saja hendak menekan tombol keamanan di kunci mobilnya ketika teringat dengan hasil lukisan yang ingin diserahkannya pada panitia perhelatan seni akbar tahunan kampusnya.

“Hampir saja aku lupa.”

Gadis itu memutar tubuhnya dan beranjak ke pintu belakang. Membukanya dalam sekali sentakan dan mengambil kanvas yang telah terbungkus kardus pipih putih dari dalamnya.

“Lama tidak bertemu, Jessica-ssi.”

Jessica mendongak dan mendapati sosok tinggi menjulang menghalangi pandangannya. Wajahnya terangkat dan sontak terkejut begitu menatap seraut wajah yang begitu dikenalnya. Seraut wajah yang juga ingin dihapus dari ingatannya.

“K… Kau?! Bagaimana… Bagaimana bisa? Bagaimana kau bisa ada di sini?!”

Sosok itu mengerutkan kening begitu mendengar pertanyaan Jessica.

“Memangnya aku tidak boleh ada di sini?”

Bibir gadis itu terkatup rapat. Genggaman tangan kirinya pada sudut kardus pembungkus kanvasnya semakin erat. Pandangannya masih tetap terarah pada lawan bicaranya, meski lapisan selaput bening mulai muncul di kedua bola matanya.

“Lupakan saja. Maaf, aku sedang terburu-buru. Kita bisa bicara lagi lain waktu. Permisi.”

Tanpa menunggu respon sosok di hadapannya, Jessica langsung membanting pintu belakang mobilnya dan beringsut menjauh. Langkah kakinya dipercepat. Tidak sekalipun ia menoleh ke belakang, ke sosok yang mendadak muncul di hadapannya. Sosok yang sebenarnya ia rindukan.

Kenapa dia bisa ada di sini? Apa dia mencari informasi tentang keberadaanku dan memutuskan untuk mengikutiku? Apa dia bermaksud untuk… aarggh! Kenapa kau harus kembali muncul di depanku, Sehun-ah?

-o0o0o-

Luhan tampak menyusuri salah satu lorong di kampusnya. Kepalanya berulang kali menoleh ke berbagai arah. Sepertinya ia sedang mencari seseorang.

“Ah, Chanyeol-ah! Tunggu sebentar.”

Seseorang yang dipanggil Chanyeol menoleh dan menghentikan langkahnya begitu ada yang memanggil namanya.

Wae?”

Alis kiri Chanyeol terangkat saat Luhan sudah berada di hadapannya.

“Kau kenapa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Chanyeol, Luhan justru mengajukan pertanyaan lain pada lawan bicaranya.

Ya! Aku yang lebih dulu bertanya. Kenapa kau malah balik menanyaiku?”

Chanyeol merengut sebal.

“Hahaha, mianhae. Aku tidak bermaksud seperti itu. Hentikan wajah bodohmu itu, Park Chanyeol.”

Luhan tertawa singkat dan menepuk punggung salah satu teman dekatnya yang berbeda departemen itu. Luhan adalah mahasiswa di Department of Act, sementara Chanyeol merupakan mahasiswa di Department of Music.

Ya! Ya! Sudah membuatku kesal, sekarang malah menghina wajah tampanku. Kau mau cari mati, huh?”

Tawa Luhan kembali meledak. Namun kali ini badannya sedikit beringsut menjauh, khawatir Chanyeol benar-benar akan melampiaskan kekesalannya itu.

“Hahaha, mian. Mianhae. Jeongmal mianhae. Habis kau lucu sekali kalau sedang kesal seperti itu. Membuatku ingin menjitak kepalamu.”

Chanyeol membulatkan mata begitu mendengar ucapan Luhan.

Nde?! Ya! Kau meminta maaf tapi di akhir lagi-lagi meledekku. Lagipula mana mungkin kau bisa menjitak kepalaku. Kau kan pendek. Wee.”

Kali ini Chanyeol ganti meledek Luhan, membuat lelaki keturunan China itu menghentikan tawanya dan mendengus keras.

Arraseo, Park Chanyeol yang tinggi seperti jerapah. Ah, sudahlah. Apa siang nanti kau sibuk?”

Chanyeol mengangkat bahu.

“Sepertinya tidak. Ada apa?”

Luhan menggigiti bibir bawahnya sejenak, tampak menimbang-nimbang.

“Aku ingin memintamu untuk menemaniku menemui Yoona. Bagaimana?”

Chanyeol melenguh. Ekspresi menyesal jelas terlihat di wajahnya.

Shirreo! Aku tidak mau menjadi obat nyamuk kalian berdua.”

Luhan melayangkan pukulan ringan di bahu kiri Chanyeol.

Buk!

Auw! Ya! Appo!”

Chanyeol meringis dan mengusap-usap bahunya yang baru saja berubah wujud menjadi samsak tinju temannya itu. Berlebihan memang. Terbukti Luhan langsung mencibir melihat respon yang dibuat-buat oleh laki-laki tinggi itu.

“Kau berlebihan. Tenang saja, aku sudah meminta Yoona untuk mengajak Sooyoung juga.”

Kedua mata Chanyeol mendadak berbinar penuh kegembiraan begitu mendengar nama terakhir yang disebut Luhan.

“Sooyoung?! Arraseo. Aku akan menemanimu. Jam berapa? Dimana? Apa aku harus ke kelasmu dulu? Atau aku-”

Luhan langsung mengangkat tangan, menghentikan pertanyaan Chanyeol yang membludak setiap kali laki-laki itu mendengar nama Sooyoung disebutkan. Oleh siapapun.

Stop! Kau ini laki-laki atau perempuan sih? Cerewet sekali. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan mengulanginya. Aku berjanji bertemu dengan Yoona di Coffe Café jam setengah satu. Aku yang akan ke kelasmu karena jarak kelasmu dengan kafe itu lebih dekat dibanding dengan kelasku. Arra?”

Chanyeol mengangguk keras dan berulang-ulang. Sangat terlihat antusias mengenai rencana pertemuannya dengan Sooyoung. Padahal jelas-jelas tadi Luhan hanya memintanya untuk menemaninya bertemu dengan Yoona, bukan sengaja mempertemukan dua makhluk tinggi itu.

“Ckck, sebegitu besarnyakah rasa sukamu pada gadis tiang itu? Dia bahkan sudah menolakmu puluhan kali.”

Luhan menggeleng bingung, dan sedikit prihatin.

“Hei, jangan sembarangan mengatainya gadis tiang. Bagiku Sooyoung adalah wanita terseksi sejagat raya. Aku tidak mempermasalahkan penolakannya. Justru itu menandakan kalau dia bukanlah wanita sembarangan. Daripada Yoona-mu yang masih saja mau berpacaran dengan Kris. Padahal jelas-jelas Kris sudah…”

Luhan lagi-lagi mengangkat tangannya. Kali ini disertai dengan tatapan tajamnya.

“Jangan pernah kau berbicara seperti itu tentang Yoona. Setidaknya tidak di depanku.”

Chanyeol bungkam. Ia tahu kalau kali ini ia sudah kelewatan. Ia jelas sudah melukai perasaan Luhan.

Mianhae, aku tidak bermaksud menjelek-jelekkannya. Sungguh. Jeongmal mianhae.”

Luhan menundukkan kepala dan menghela napas. Beberapa detik kemudian ia kembali mengangkat kepalanya dan menepuk punggung Chanyeol.

“Tak apa. Kalau begitu sampai nanti, Chanyeol-ah.”

Luhan perlahan beranjak menjauh. Sebelumnya ia sempat melambaikan tangan pada Chanyeol yang dibalas dengan lambaian serupa. Sesaat setelah sosok Luhan hilang dari pandangannya, Chanyeol membalikkan badan dan beradu tatap dengan sepasang mata sendu milik gadis yang dikenalnya.

“Seohyun-ah…”

-o0o0o-

Seohyun semakin mempercepat langkah kakinya. Kepalanya tertunduk. Sebagian rambutnya yang berwarna hitam legam terjatuh menutupi sisi wajahnya, sekaligus menutupi aliran air mata yang mulai membentuk lajur halus di pipinya.

“Seohyun-ah! Ya! Seohyun-ah! Gidarike!”

Kali ini gadis itu memutuskan untuk berlari. Berlari tanpa arah. Pandangannya yang setengah tertutup membuat tubuhnya berulang kali menabrak orang lain di sekitarnya. Menjadikannya objek perhatian dadakan.

Sosok laki-laki yang sedari tadi mengejar dan memanggil namanya ikut berlari. Berusaha mengurangi jarak yang memisahkannya dari gadis itu.

“Seohyun-ah!”

Akhirnya laki-laki itu berhasil meraih pergelangan tangan gadis yang dikejarnya. Memaksa gadis itu untuk menghentikan pelariannya.

“Cha… Chanyeol…”

Bibir Seohyun bergetar memanggil nama Chanyeol, sahabatnya.

“Sshh, uljima. Kita ke taman saja, oke?”

Seohyun mengangguk lemah. Ia biarkan Chanyeol memeluknya, melingkarkan salah satu tangannya ke lekuk pinggangnya dan membawanya menjauh dari sana.

-o0o0o-

“Jadi pada intinya kau memintaku untuk menjadi obat nyamuk dalam pertemuan terlarang kalian, huh? Maaf saja ya, aku tidak mau.”

Seorang gadis bertubuh tinggi bernama Choi Sooyoung mencebik kesal dan membuang muka dari lawan bicaranya.

Aish, bukan seperti itu Sooyoung-ah! Dan apa tadi kau bilang? Pertemuan terlarang? Apa maksudmu, huh?”

Lawan bicara Sooyoung yang tidak lain adalah Yoona mendelik tajam, tidak terima dengan kalimat tuduhan sahabatnya itu.

“Kau dan Luhan berpacaran kan? Selingkuh? Iya kan?”

Yoona mengepalkan tangan kanannya dan menunjukkan isyarat hendak memukul wajah Sooyoung, menyebabkan gadis yang sedikit lebih tinggi itu tersentak mundur sambil melindungi wajahnya dengan tangan.

“Aku sangat ingin memukulmu, sungguh. Untunglah kau adalah sahabat yang kusayangi dan kucintai sepenuh hati.”

Sooyoung menurunkan tangannya. Ia memutar kedua bola matanya sebagai respon untuk kalimat terakhir Yoona.

“Ya ya ya, aku pun menyayangi dan mencintaimu sahabatku yang cantiik~”

Yoona hanya mendengus mendengarnya.

“Tapi semua ini tidak gratis lho. Maksudku menemanimu dan mengorbankan diriku menjadi obat nyamuk itu bukan hal mudah. Apalagi-”

Yoona mengangkat tangan kirinya, menghentikan rentetan tuntutan Sooyoung terhadapnya.

Arra. Sebagai bayarannya, kau akan memiliki waktu khusus untuk berkencan dengan Park Chanyeol selama aku berbicara dengan Luhan nanti.”

Kelopak mata Sooyoung langsung melebar.

Mwo?! Chanyeol juga akan ikut?! Kenapa galah bambu itu juga bisa ikut?! Aku lebih memilih jadi obat nyamuk kalian dibanding harus bertemu dengannya! Ya! Im Yoona! Kau mendengarku kan? Ya!”

Yoona berbalik badan dan melambaikan tangan pada Sooyoung tanpa menghiraukan pertanyaan maupun panggilannya. Sooyoung pun terpaksa mengejar Yoona dan membombardir sahabatnya itu dengan beragam kalimat protes tentang keikutsertaan Chanyeol dalam pertemuan mereka nanti.

-o0o0o-

 

Galeri

Heartbreak (part 6)

heartbreak 2

“Oppa, bagaimana pendapatmu? Apakah gaun ini cocok untukku?” tanya seorang yeoja yang perlahan melangkah keluar dari bilik ganti dalam balutan gaun pengantin putih sederhana. Langkah-langkah kecilnya terlihat canggung dengan kedua tangan yang sibuk mengangkat tepian gaun putihnya yang sedikit kepanjangan agar tidak terinjak kakinya sendiri. Di atas rambutnya yang tergerai ikal tersemat tiara putih yang sewarna dengan gaunnya.

“Oppa! Bagaimana penda…” panggilan manjanya terputus begitu yeoja itu melihat dengan jelas siapa namja yang ada di hadapannya.

“Kau terlihat sangat cantik dengan gaun itu, Yoona-ya.” Pujian itu meluncur tulus dari mulut seorang namja dalam setelan tuksedo putih yang kini tengah menatap Yoona dengan sorot mata kekaguman.

“Jinki oppa? Bagaimana bisa? Mana.. Dimana Siwon oppa? Dimana dia? Seharusnya dia yang menjadi pasanganku! Seharusnya dia yang mengenakan tuksedo itu! Dimana kau sembunyikan dia, oppa? Dimana?” cecar Yoona panik begitu melihat yang ada di hadapannya kini adalah Lee Jinki dan bukannya Choi Siwon. Sementara Yoona panik dan berlarian menelusuri ruangan dalam usahanya menemukan Siwon, Jinki hanya mampu menatap nanar tingkah kekasih sekaligus calon istrinya itu.

“Akulah pasanganmu, Yoona-ya. Aku, Lee Jinki. Belum bisakah kau menerima kenyataan itu? Kenyataan kalau Choi Siwon sudah meninggal dan kini ada aku yang mencintaimu sepenuh hati? Belum bisakah aku menjadi satu-satunya untukmu?” ucap Jinki lirih. Kedua tangannya terkepal dalam usahanya meredam rasa sakit yang mendera hatinya demi melihat keadaan Yoona saat ini.

“Andwe! Gotjimarayo! Siwon oppa masih hidup dan dialah calon suamiku! Kau jangan pernah sekali-kali mencoba berbohong padaku, Jinki oppa!” bantah Yoona histeris. Wajah yang masih polos tanpa sentuhan make up itu telah basah oleh air mata yang merebak di kedua pipi tirusnya. Pemandangan itu kontan meremukredamkan perasaan Jinki. Namja yang menyukai Yoona di awal pertemuan mereka itu hanya mampu terdiam kaku di tempatnya.

“Dimana.. Dimana kau sembunyikan Siwon oppa? Dimana.. Siwon.. aarrghh..” mendadak Yoona yang semula histeris terjatuh ke lantai dengan tangan kanan mencengkeram erat dada kirinya. Jinki sontak berlari ke arah yeoja itu dan memeriksa keadaannya. Kedua matanya membulat panik begitu melihat paras Yoona yang memutih pucat dengan laju napas yang tidak beraturan.

“Bertahanlah Yoona-ya! Bertahanlah! Jebal!” pinta Jinki. Namja yang baru saja menyelesaikan studi kedokteran itu langsung membaringkan Yoona dan berusaha memberikan pertolongan pertama pada yeoja yang ia tahu mengidap penyakit jantung bawaan.

“Aku.. ingin.. bertemu.. Siwon.. oppa..” ucap Yoona lemah di setiap tarikan napas yang semakin memberatinya. Begitu keinginan itu keluar dari mulutnya, kedua mata yeoja itu perlahan tertutup dan meninggalkan teriakan menyayat hati seorang namja yang memanggil-manggil namanya.

“Yoona-ya, bangunlah! Bangun! Yoona-ya!”

-o0o0o-

“Hei, Jinki-ya, hari ini kau jadi kan mengantar Yoona kontrol ke rumah sakit?” tanya seorang namja berpostur atletis yang mendadak muncul di hadapan Jinki. Jinki yang semula duduk tertunduk di salah satu kursi kantin dengan sebuah textbook tebal yang terbuka di pangkuannya langsung mendongak dan tersenyum tipis.

“Tentu saja. Kau tidak perlu khawatir. Aku pasti akan mengantarnya.” Jawab Jinki, masih dalam senyum tipisnya. Minho balas tersenyum mendengar jawaban itu.

“Aku tahu kalau kau dapat kuandalkan. Aku yakin Siwon hyung punya pendapat yang sama. Kurasa aku tidak salah pilih.” Ucap Minho. Namja yang berencana untuk langsung mengambil pendidikan dokter spesialis penyakit dalam itu menarik kursi yang berhadapan dengan Jinki dan mendudukkan dirinya di sana. Di saat itulah ia melihat ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.

“Jinki-ya, kau kenapa? Kau terlihat agak pucat. Apa kau sakit? Kalau kau sakit, biar aku saja yang mengantar Yoona. Bagaimana?” tanya Minho. Jinki menggeleng.

Ani. Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa pusing dan mual setelah membaca kitab sakti ini. Atau jangan-jangan aku mengalami morning sick… itu berarti kau harus bertanggung jawab, Minho-ya!” jawab Jinki setengah bercanda yang membuat Minho langsung mendaratkan jitakan kerasnya di kepala namja bermata sipit itu.

Ya! Sembarangan! Aku masih normal, kau tahu? Lagipula kalaupun aku gay, aku pasti akan pilih-pilih korban dan itu sudah pasti bukan dirimu. Hahaha.” Balas Minho sambil menjulurkan lidahnya seperti anak kecil. Jinki langsung mencibir begitu melihat kelakuan sahabatnya itu.

“Cih, dasar bocah. Pakai mehrong segala.” Ledek Jinki dalam nada yang sengaja dibuat agar terdengar ketus. Minho hanya mendengus kesal mendengar ledekan itu. Alih-alih membalas ledekan Jinki, ia malah menarik ponsel yang berada di saku celananya dan menelepon seseorang.

Annyeong. Chagiya, kau dimana? Cepatlah ke kantin. Bantu aku menyiksa Jinki si-calon-dokter-aneh-yang-takut-jarum-suntik ini, ne? Arraseo, aku tunggu.” Klik. Minho menutup pembicaraan dan menyeringai puas ke arah Jinki yang bersiap melemparkan textbook di pangkuannya ke wajah sahabatnya itu.

“Memangnya ada yang salah dengan hal itu? Calon dokter kan juga manusia, wajar kalau dia takut pada sesuatu.” Bela Jinki yang tidak terima dirinya diledek.

“Memang wajar, tapi ayolah, masa seorang calon dokter takut pada jarum suntik? Bagaimana nanti dengan pasienmu yang perlu disuntik? Dibiarkan saja?” tanya Minho dengan jahilnya.

“Masih ada perawat yang bisa membantuku menyuntik pasien.” Jawab Jinki tidak mau kalah.

“Kalau saat itu perawatmu sedang tidak ada?” tanya Minho semakin iseng.

“Aku minta pasiennya untuk menyuntik dirinya sendiri. Gampang kan?” jawab Jinki enteng. Tentu saja tidak serius dengan jawabannya.

“Dasar gila! Hahaha.” Kedua namja itu tertawa atau lebih tepatnya saling menertawai kegilaan pembicaraan mereka kali ini. Sungguh tidak sesuai dengan image dokter yang seharusnya tenang dan serius.

“Hei, sudah jam setengah sepuluh! Sudah sana, kau cepat jemput Yoona.” tegur Minho begitu keduanya berhasil meredam tawa mereka. Jinki langsung melihat jam di pergelangan tangan kirinya dan mengangguk.

“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu.” Pamit Jinki sambil memasukkan textbook yang tadi dibacanya ke dalam tas ransel. Setelah ranselnya tertutup sempurna, namja itu langsung menyandang benda itu di bahu kanannya dan berdiri.

“Jadilah supir dan pengawal yang baik untuk Yoona. Awas kalau kau berani macam-macam padanya. Arwah Siwon hyung akan menghantuimu kemana saja, hahaha.” Ujar Minho yang tidak bermaksud mengancam. Kesadaran Jinki langsung tersengat begitu Minho menyebut nama Siwon. Pikirannya kembali melayang pada mimpi yang dialaminya beberapa hari lalu. Tanpa aku berbuat macam-macampun sepertinya memang hanya Siwon yang ada di hati Yoona, bahkan di dalam mimpiku, batin Jinki miris.

“Tenang, aku tidak akan berani macam-macam padanya. Aku kan sudah berjanji padamu, pada Yuri.. dan pada Siwon hyung.” Ucap Jinki serius. Minho mengangguk paham.

“Baiklah. Aku percaya padamu. Sudah sana, cepat kau pergi. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencanku dengan Yuri siang ini. Hush.” Usir Minho tanpa ampun sambil mengibaskan sebelah tangannya.

“Sial kau! Baiklah, aku pergi sekarang. Titip salamku untuk Yuri. Annyeong!” pamit Jinki. Setelah itu ia berbalik dan melangkah cepat menuju area parkir kampusnya yang terletak tidak jauh dari kantin. Sosok Jinki dengan segera lenyap dari pandangan Minho begitu namja itu berbelok memasuki area parkir, meninggalkan Minho yang termenung memikirkan sedikit perubahan ekspresi Jinki saat ia menyebut nama Siwon.

Ada yang salah dengan Jinki. Kenapa ekspresinya seperti itu saat aku menyebut nama Siwon hyung? Aku harus cari tahu alasannya!

-o0o0o-

“Ah, Yoona-ssi, mari masuk.” Sapa seorang namja setengah baya berjas putih dengan sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya. Yoona menggumamkan terima kasihnya dan berjalan memasuki ruangan yang bertahun-tahun akrab dengannya.

Annyeong Shim uisangnim.” Sapa seorang namja berpakaian kasual yang masuk ke dalam ruangan setelah Yoona. Dr. Shim menatap namja itu dan tersenyum ramah.

“Ah, rupanya kau Jinki-ssi. Apa kau lagi-lagi menggantikan supir pribadi Yoona untuk mengantarnya ke sini?” tanya Dr. Shim setengah bergurau.

“Bisa dibilang begitu Dok. Tapi aku curiga kalau Tuan dan Nyonya Lim akan menjadikanku supir abadi putrinya yang bawel ini.” Jawab Jinki yang langsung direspon oleh Yoona.

Ya! Oppa! Ish.” Tatapan tajam nan mematikan langsung dilayangkan Yoona kepada Jinki. Dr. Shim hanya tertawa melihat tingkah keduanya.

“Hahaha, sudahlah. Kalian ini seperti anjing dan kucing saja.” lerai Dr. Shim yang kemudian disambung dengan “Tetapi sebenarnya kalian cocok lho. Kenapa kalian tidak berpacaran saja?” yang kontan membuat Yoona ganti mendelik pada dokter kepercayaan keluarganya itu.

Mwo? Berpacaran? Aish, yang benar saja Dok, hahaha.” Balas Yoona dengan tawa canggungnya. Sementara Jinki hanya mengulum senyum mendengarnya. Doakan saja Dok, batin namja itu senang.

“Hahaha, baiklah, baiklah. Itu urusan kalian berdua. Sekarang yang menjadi urusanku adalah jantungmu, Yoona-ssi. Apa jantungmu baik-baik saja?” tanya Dr. Shim memulai topik pembicaraan selayaknya dokter dengan pasiennya. Yoona tersenyum lemah dan mengangguk pelan.

“Jantungku baik-baik saja Dok.” Dr. Shim tersenyum lega mendengarnya, begitupun dengan Jinki yang duduk di sebelah Yoona. Namun kelegaan itu hanya sesaat karena rupanya Yoona belum menyelesaikan jawabannya.

“Tapi…”

“Tapi? Tapi apa? Apa ada yang tidak beres?” tanya Dr. Shim cepat. Dokter paruh baya itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menunggu Yoona melanjutkan ucapannya. Respon yang sama ditunjukkan oleh Jinki. Postur badannya sedikit berputar menghadap Yoona dengan pandangan mata terfokus pada wajah yeoja itu.

“Belakangan ini aku tidak bisa tidur nyenyak. Tengah malam aku sering terbangun dan.. merasa tercekik. Apa.. apa itu wajar Dok?” tanya Yoona takut-takut. Dr. Shim menegang sesaat begitu mendengar laporan itu dan langsung meminta Yoona untuk ke ruang pemeriksaan.

“Ikut aku ke ruang pemeriksaan sekarang juga, Yoona-ssi.” Yeoja itu menatap bingung kepada Dr. Shim namun tidak berani untuk membantahnya. Ia langsung berdiri dan mengikuti Dr. Shim ke ruangan kecil terpisah yang disebut ruang pemeriksaan. Jinki yang tidak tahu harus berbuat apa ikut berdiri dan mengikuti Yoona ke dalam. Namun, belum sempat ia masuk, sebuah tangan menahan tubuhnya.

“Maaf, hanya dokter, pasien dan perawat yang boleh berada di dalam. Anda sebaiknya menunggu di tempat Anda tadi duduk.” cegah seorang perawat yang entah muncul darimana. Jinki berniat untuk melawan, namun tatapan tegas yang didapatnya dari perawat itu sontak membuatnya mengurungkan niat dan mematuhi apa yang diminta sang perawat.

“Baiklah. Aku akan menunggu di sini saja.” Namja itu melangkah gontai kembali ke tempatnya tadi duduk sambil melihat perawat yang menahannya masuk ke dalam ruangan dan menutup penyekatnya. Tuhan, kuharap Yoona baik-baik saja.

Sementara itu, Yoona yang sudah terbiasa berada di ruang perawatan hanya mampu menguatkan diri untuk mendengar kabar buruk apapun yang mungkin disampaikan Dr. Shim padanya. Yeoja itu hanya menurut saat Dr. Shim memintanya untuk tidur telentang di atas tempat periksa dan mempersilahkan perawat untuk menempelkan berbagai macam alat kedokteran di tubuhnya, termasuk selang oksigen di hidungnya. Begitu alat-alat itu terpasang di tubuhnya dan tersambung dengan listrik, Yoona dapat mendengar dengungan dan bunyi-bunyian yang akrab di telinganya.

“Sejak kapan kau mengalaminya, Yoona-ssi?” tanya Dr. Shim sambil memeriksa Yoona dengan stetoskopnya.

“Dua minggu yang lalu, Dok.” Jawab Yoona, sedikit sengau karena ada selang oksigen yang terpasang di hidungnya.

“Kenapa tidak langsung menghubungiku? Apa keluargamu tahu tentang hal ini?” cecar Dr. Shim lagi.

“Aku.. aku pikir itu hal biasa, Dok. Jadi aku biarkan saja. Keluargaku belum tahu tentang ini. Apa ini artinya..” Yoona menggantung pertanyaannya dan menatap Dr. Shim, menunggu respon dokter jantungnya itu.

“Ya, kondisi jantungmu semakin menurun Yoona-ssi. Kau harus cepat-cepat memberi keputusan tentang operasi itu. Mengenai keluargamu, biar aku yang memberitahukan mereka.” Jelas Dr. Shim tegas. Yoona mendesah dan menutup kedua matanya. Memikirkan ucapan Dr. Shim yang sangat mendesaknya untuk menyetujui pelaksanaan operasi itu. Operasi yang sepertinya menjadi jalan terakhir Yoona untuk tetap hidup. Tetapi, masalahnya operasi itu tidak menjamin kalau dia akan benar-benar sembuh total.

“Beri aku waktu untuk memikirkannya lagi Dok.” Pinta yeoja itu lemah. Dr. Shim hanya bisa mengangguk dan menatap prihatin pada Yoona yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

“Baiklah, tetapi hanya seminggu. Minggu depan kau harus kembali dan mengatakan apa keputusanmu. Pikirkanlah baik-baik.” Putus Dr. Shim akhirnya. Yoona menelan ludah dan terpaksa menyetujui deadline waktu yang diberikan dokternya.

“Ba.. baik Dok. Minggu depan.. minggu depan aku akan kembali dan menyampaikan keputusanku.” Ujar Yoona. Yeoja yang terpaksa mengambil cuti kuliah itu hanya bisa pasrah. Siwon oppa, apa yang sebaiknya kulakukan? Apa aku harus menjalani operasi itu? Aku takut oppa, aku takut.

-o0o0o-

Sepulang dari tempat praktik Dr. Shim, Yoona menjadi lebih pendiam dari biasanya. Perjalanan pulang ke rumah yeoja itu yang memakan waktu 40 menit terasa sangat lama. Jinki berkali-kali memandang Yoona selagi ia mengemudikan mobilnya demi memastikan yeoja yang sangat ia cintai itu baik-baik saja. Meski namja itu merasa tidak nyaman dengan keheningan yang melanda keduanya, namun ia tidak berani mengusik Yoona dengan pertanyaan sederhana seperti “Ada apa?”.

Tiga puluh menit telah berlalu dan masih saja mereka larut dalam keheningan yang menyiksa. Sampai pada akhirnya ketika mobil yang Jinki kendarai telah memasuki gerbang perumahan mewah Yoona, yeoja itu memutuskan untuk berbicara.

“Jinki oppa, tolong antarkan aku ke tempat Siwon oppa. Sekarang.” Pinta Yoona dengan tatapan putus asa yang jelas tergambar di sepasang bola matanya.

“Baiklah Yoong.” Ucap Jinki patuh. Namja itu perlahan memutar kemudinya dan berbalik arah keluar dari area perumahan mewah itu. Sekuat tenaga ia berjuang untuk tetap terlihat biasa meski hatinya kembali tertusuk jarum tajam tak kasat mata begitu Yoona mengucapkan permintaannya.

“Kita sudah sampai, Yoong. Kajja.” Ajak Jinki lembut. Namun yang diajak seolah tidak mendengar perkataannya dan hanya diam di kursinya. Namja itu tersenyum miris melihat perangai Yoona yang akhir-akhir ini menjadi tidak dikenalinya. Perlahan Jinki mencondongkan tubuhnya ke arah Yoona dan melepaskan ikatan sabuk pengaman yang melintang di tubuh yeoja itu. Setelah sabuk pengaman itu terlepas, Jinki bergegas membuka pintu mobilnya dan berlari memutar untuk membukakan pintu bagi Yoona.

“Ayo Yoong, kita sudah sampai di tempat Siwon hyung.” Ajak Jinki lagi sambil menarik lembut pergelangan Yoona. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Yoona hanya menurut saat Jinki menuntunnya menuju suatu tempat yang selama ini memberinya kedamaian.

“Yoong, kita sudah berada di depan Siwon hyung.” Ucap Jinki. Yoona yang semula diam mendadak terjatuh di hadapan Siwon –pusara Siwon lebih tepatnya- dan menangis sesenggukan. Kontan saja Jinki terkejut dan ikut terduduk di samping Yoona sambil menahan tubuh yeoja itu agar tidak tersungkur jatuh ke atas pusara Siwon.

Oppa.. Siwon oppa.. eottokhae.. apa yang harus kulakukan? Aku takut oppa.. aku takut.. sangat takut..” racau Yoona dalam tangisnya. Tubuhnya bergetar dalam pelukan Jinki.

Oppa.. kembalilah oppa.. aku membutuhkanmu.. sangat membutuhkanmu.. kembalilah..” racaunya lagi. Kali ini tangisnya semakin menjadi dan sukses melukai perasaan Jinki yang sudah terkoyak ratusan kali karenanya. Namja itu mempererat pelukannya.

“Kita pulang ya. Kasihan abeoji dan eomonim yang menunggumu di rumah.” Bujuk Jinki setelah 15 menit Yoona masih saja terisak di hadapannya.

Shireo. Aku ingin di sini saja. Aku ingin bersama Siwon oppa.” Tolak Yoona di sela isakannya. Jinki mengusap-usap lengan Yoona dan kembali membujuknya pulang.

“Besok kita akan ke sini lagi. Kita akan bertemu Siwon hyung lagi. Aku janji. Tapi sekarang kita harus pulang, ne?” Lagi-lagi Yoona menolaknya dengan gelengan kepala. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk menolongnya? Yoona-ya, apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu bahagia? Seolah mendengar pertanyaan dalam pikiran Jinki, Yoona mendadak menadahkan kepalanya dan menatap Jinki dengan matanya yang basah oleh air mata.

“Jinki oppa, apa kau sayang padaku? Jika memang Tuhan dan mukjizat itu ada, apakah kau rela bertukar tempat dengan Siwon oppa demi aku?” pinta Yoona tiba-tiba yang langsung membekukan seluruh persendian dan peredaran darah di tubuh Jinki.

“Ya, aku mau. Demi dirimu.” Balas Jinki kelu.

-o0o0o-

Xie xie, Xiumin

066f41cb009fd49fe0af683573240256

Pagi itu seorang gadis berambut hitam kecoklatan panjang yang berseragam sekolah menengah atas tampak berjalan santai melewati padang ilalang. Jam menunjukkan pukul 06.00 waktu setempat. Masih ada selang waktu satu jam sebelum bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan dimulainya jam belajar.

“Lalala~”

Senandung riang meluncur dari bibir tipis merah muda gadis tersebut. Kedua tangannya bergoyang ke depan dan belakang mengikuti gerakan tubuhnya. Beberapa helai anak rambutnya tersibak halus seiring dengan hembusan angin pagi yang menyapa.

“Kriing! Kriing! Kriing!”

Mendadak sebuah sepeda melaju kencang dari arah berlawanan. Gadis itu langsung melangkah ke pinggir untuk menghindari kemungkinan tertabrak ataupun tersenggol badan sepeda. Sialnya kaki kiri gadis itu mendarat di jalan yang tidak rata akibat tonjolan bebatuan sebesar kepalan tangan anak-anak. Tak ayal keseimbangannya goyah.

Bruuk!

“Aduh!”

Sang pengendara sepeda yang mendengar suara terjatuh dari belakangnya segera menarik rem tangan dan memutar tubuhnya. Kedua matanya terbelalak begitu melihat gadis yang beberapa saat lalu menepi untuk menghindari sepedanya jatuh setengah tertelungkup. Ia segera memutar arah sepedanya dan mendekati gadis itu.

“Kau tidak apa-apa?”

Gadis itu mendongak. Seulas senyum tampak menghiasi wajah cantiknya, mengisyaratkan ia baik-baik saja. Namun ekspresi kesakitan yang sempat dilihat sang pengendara sepeda membuatnya tidak langsung percaya begitu saja.

“Apa ada yang terluka? Bagian mana yang terluka?”

Gadis itu terkesiap begitu sang pengendara sepeda turun dan berjongkok, mensejajarkan tinggi dengannya.

A… Ani, sungguh, aku tidak apa-apa. Hanya… luka kecil. Kau tidak perlu khawatir.”

Sang pengendara sepeda itu menggeleng tegas.

“Maafkan aku. Kau pasti terjatuh karena berusaha menghindari sepedaku. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Kali ini gadis itu yang menggeleng. Tak lupa seulas senyum manis bertengger di wajahnya, membuat detak jantung sang pengendara sepeda meningkat.

“Tidak apa-apa. Kau pasti sedang terburu-buru. Lebih baik kau segera bergegas. Aku tidak apa-apa. Sungguh.”

Rupanya sang pengendara sepeda tetap teguh pada pendiriannya.

“Sudahlah. Namaku Xiumin. Kau?”

Sang pengendara sepeda, Xiumin, memperkenalkan diri. Ia mengangsurkan tangan kanannya yang langsung disambut oleh tangan gadis itu.

“Aku Im Yoona. Salam kenal.”

Xiumin melebarkan kedua matanya, terkejut.

“Kau orang Korea?”

Gadis itu, Yoona, sedikit menelengkan kepalanya lalu mengangguk pelan.

“Ya. Apa itu… aneh?”

Xiumin tersenyum mendengar pertanyaan gadis yang baru dikenalnya itu.

Ani.”

Kali ini gantian Yoona yang melebarkan matanya.

“Kau… bisa berbahasa Korea?”

Xiumin mengangguk.

Ne. Aku juga orang Korea. Tapi aku sudah lama tinggal di sini. Sekitar 4 atau 5 tahun. Kalau kau?”

Yoona lagi-lagi tersenyum. Gadis itu berusaha memindahkan bobot tubuhnya dan bertumpu untuk kembali berdiri yang sayangnya gagal.

“Auw!”

Xiumin dengan sigap menangkap lengan gadis itu sebelum kembali terjatuh. Posisi mereka menjadi lebih dekat daripada sebelumnya, sampai-sampai Xiumin dapat mencium aroma lemonade yang menguar dari tubuh Yoona.

“Kau sungguh tidak apa-apa?”

Yoona mengangguk. Ia tidak berani untuk mendongak karena dapat dirasakannya hembusan napas Xiumin tepat mengenai pucuk kepalanya.

“Lututmu berdarah. Kita harus segera membersihkannya. Tunggu sebentar… kau bisa berdiri?”

Yoona kembali mengangguk.
“Aah, maksudku berdiri tanpa perlu dipegangi. Bisa?”

Nde.”

Yoona segera menarik lengannya. Gadis itu berusaha menstabilkan posisinya dengan bertumpu pada salah satu kaki yang tidak terluka.

“Jangan banyak bergerak, ne?”

Tanpa menunggu persetujuan Yoona, Xiumin memindahkan tas ranselnya ke depan dada dan membukanya. Laki-laki itu menarik keluar selembar saputangan berwarna biru laut dan sebotol minuman.

“Kita bisa bersihkan lukamu dengan ini.”

“Ah jangan!”

Yoona cepat-cepat mencegah Xiumin yang hendak menuangkan air minumnya ke atas saputangan. Kontan gerakan Xiumin terhenti. Laki-laki itu mendongak dan menatap kebingungan ke arah Yoona.

Waeyo?”

“Aku tidak ingin membuat saputanganmu kotor. Lagipula, itu bekal air minummu kan?”

Xiumin menelengkan kepala, masih kebingungan dengan alasan yang diberikan Yoona.

“Lantas?”

“Aku tidak ingin membuatmu kehausan. Hari ini kan masih panjang. Kau bahkan belum sampai di sekolah. Air minum itu perbekalanmu selama di sekolah nanti kan?”

Xiumin menjatuhkan rahang bawahnya, tidak percaya dengan alasan ajaib yang meluncur dari gadis di hadapannya.

“Hahaha, kau terlalu berlebihan. Tenanglah, aku tidak akan mati kehausan hanya karena aku menggunakan bekal minumku untuk membersihkan lukamu.”

Tanpa sadar Yoona menggembungkan kedua pipinya, merajuk karena lelaki yang baru dikenalnya menertawakannya. Xiumin hanya tersenyum melihatnya.

“Tahan ya, mungkin ini akan sedikit sakit.”

Yoona menggigit bibir bawahnya dalam usaha menahan perih yang mendadak menyengat kaki kirinya. Tidak lama kemudian Xiumin berdiri dan tersenyum.

“Sudah. Mmm maaf aku harus membebat kakimu. Lukamu harus ditutupi agar terhindar dari debu yang bisa membuat lukamu terinfeksi. Dan tenang saja, kau tidak perlu khawatir aku akan mati bersimbah keringat hanya karena saputanganku ada padamu.”

Xiumin tersenyum simpul. Laki-laki itu menunggu reaksi Yoona atas ucapannya yang setengah menggoda gadis di hadapannya.

“Kau… menggodaku? Aish, mengesalkan.”

Yoona mendengus. Tak pelak Xiumin tertawa lebar melihat reaksi Yoona.

“Hahaha, mian, mianhae. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Aku hanya… anggaplah tadi sebagai sambutan dariku atas pertemuan dan perkenalan kita.”

Yoona tertunduk. Kaki kanannya menendang-nendang kerikil tak berdosa yang ada di dekatnya.

“Hei, kau marah? Sungguh, aku tidak bermaksud begitu. Aku benar-benar minta maaf.”

Xiumin mengangkat dagu Yoona. Ditatapnya kedua manik mata Yoona yang berwarna kecoklatan.

A…ani, aku… tidak marah.”

Xiumin tersenyum lega. Ia menegakkan kembali tubuhnya dan tanpa sadar mengusap pelan kepala gadis itu.

Good girl. Karena salah satu kakimu terluka, lebih baik aku antar kau sampai di sekolah. Bagaimana?”

Yoona tampak terpaku. Ia masih merasa terkejut dengan usapan Xiumin di kepalanya sampai-sampai tidak mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu terhadapnya.

N…nde?”

“Aku akan mengantarmu ke sekolah. Bagaimana?”

Yoona menggeleng cepat.

Ani, kau tidak perlu melakukannya. Itu akan…”

“Merepotkanku? Tidak akan. Hei, sebentar, apa kau punya semacam sindrom selalu merasa khawatir terhadap orang lain?”

Yoona terpaku. Otaknya berusaha mencerna maksud dari pertanyaan Xiumin kepadanya.

A…ani. Mollayo. Aku bahkan baru mendengar hal itu. Apakah ada sindrom semacam itu? Dan… apakah aku terlihat seperti mengidap sindrom itu? Apa itu berbahaya?”

“Hahaha, sudahlah Yoona-ssi. Lupakan saja pertanyaanku tadi. Tidak kusangka kalau kau gadis yang banyak bicara. Naiklah.”

Yoona masih mematung, tak bergeming menanggapi perintah Xiumin.

“Apa aku harus menggendongmu dan mendudukkanmu di boncengan sepedaku, hmm?”

Yoona tergagap. Cepat-cepat ia menggeleng dan beranjak mendekati Xiumin yang telah siap di atas sadel.

Ani! Aku bisa sendiri.”

Xiumin mengulum senyum. Gadis ini polos sekali.

“Sudah?”

Yoona mencengkeram tepian sadel yang diduduki Xiumin.

Ne.”
“Kau sudah berpegangan dengan erat?”

Yoona semakin memperat cengkeramannya.

Ne.”

Xiumin menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Yoona yang hanya berpegangan pada ujung sadelnya. Laki-laki itu lalu menarik kedua tangan Yoona dan melingkarkannya di perutnya.

“Nah, kalau begini kau tidak akan terjatuh. Aku tidak ingin lukamu bertambah. Arrayo?”

Yoona mengangguk kaku. Setelah memastikan Yoona berpegangan erat padanya, laki-laki itu membetulkan letak tas ranselnya dan mulai mengayuh. Xiumin tidak pernah menyadari kalau gadis yang diboncengnya tengah berusaha mati-matian mengontrol detak jantungnya yang mendadak menggila.

“Kau bersekolah dimana?”

Yoona mengerjapkan kelopak matanya. Kembali ke alam sadarnya.

Ne? Ah, aku bersekolah di Guangzhou High School.”

Xiumin mengangkat kedua alisnya.

“Benarkah? Aku juga bersekolah di sana. Apa kau murid baru? Sepertinya aku tidak pernah melihatmu.”

Tubuh Yoona menegang.

Ani. Aku sudah satu semester bersekolah di sana. Mungkin kau tidak pernah melihatku karena setiap jam istirahat aku selalu berada di perpustakaan.”

Xiumin mengangguk-angguk kecil.

“Ah, pantas. Perpustakaan adalah satu-satunya tempat yang terakhir kali terpikirkan olehku untuk dikunjungi. Hahaha.”

Yoona tersenyum. Tubuhnya kembali rileks.

“Tapi… kalau kita satu sekolah… kenapa tadi kau berjalan ke arah yang berlawanan?”

“Oh, itu. Tadi aku berencana untuk mengunjungi temanku. Tapi sepertinya aku harus menunggu sampai sore untuk ke tempatnya.”

Xiumin mendadak tertarik dengan sosok teman yang dikatakan Yoona.

“Teman?”

Ne, teman bermainku. Aku selalu menyempatkan diri untuk ke tempatnya setiap hari. Biasanya setiap pagi.”

Xiumin semakin merasa tertarik.

“Setiap pagi? Apa sebegitu pentingnya teman bermainmu itu sampai-sampai kau rela mengunjunginya setiap hari?”

Yoona mengulum senyum dan mengangguk.

Ne. Dia sangat berharga untukku.”

Xiumin hanya mengangguk. Keheningan pun hadir di antara keduanya.

“Apa kau bisa menemaniku sore ini untuk mengunjungi teman bermainku itu?”

Yoona segera menutup mulutnya begitu pertanyaan itu keluar. Bodoh! Bodoh!

“Tentu saja. Sore ini aku tidak ada acara apapun. Kalau begitu, nanti sore sepulang sekolah aku akan menunggumu di dekat gerbang. Setuju?”

Mau tidak mau Yoona mengangguk.

Ne.”

 -o0o0o-

Bel berbunyi nyaring. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 waktu setempat. Saatnya pembelajaran diakhiri. Kontan suasana di lingkungan salah satu sekolah elit di kota itu menjadi hingar bingar. Hampir semua murid berlomba-lomba keluar dari kelas. Ada yang langsung menuju gerbang, lapangan parkir, lapangan olahraga, ruang kegiatan informal, dan bahkan kantin sekolah. Berbeda dengan Yoona yang masih merapikan buku-bukunya. Gadis itu tampak tenang dan tidak merasa terganggu dengan hingar bingar yang terjadi.

“Yoona, ada yang mencarimu di depan. Laki-laki. Tampan. Sepertinya senior kita.”

Yoona mengangkat kepalanya.

“Laki-laki? Tampan? Senior kita? Siapa?”

Song Qian, salah satu murid yang sekelas dengannya hanya mengangkat bahu.

“Entahlah. Aku lupa menanyakan namanya, hehe.”

Yoona tersenyum geli.

“Baiklah. Terima kasih sudah memberitahuku, Qian”

Qian mengangguk. Gadis itu kembali berlalu menuju mejanya yang berada dua baris di belakang meja Yoona.

Laki-laki tampan? Senior? Siapa ya kira-kira? Yoona lalu menggeleng dan meneruskan kembali kesibukannya. Setelah semuanya tertata rapi di dalam tasnya, gadis itu beranjak melangkah mendekati pintu kelasnya.

“Hai.”

Yoona terlonjak mundur begitu seraut wajah lelaki yang baru dikenalnya tadi pagi mendadak ada di depannya.

Omona! Kau mengagetkanku, Xiumin-ssi.”

Xiumin terkekeh. Ia segera mengambil jarak beberapa centi dari gadis yang dicarinya itu.

“Kau bisa menungguku sebentar? Tadi salah satu temanku mengatakan kalau ada senior laki-laki yang mencariku. Aku harus menemuinya terlebih dulu.”

Yoona hendak melangkah meninggalkan Xiumin ketika laki-laki itu menahan pergelangan tangannya.

“Akulah senior laki-laki yang mencarimu, Yoona-ssi.”

Yoona kembali menatap Xiumin. Tak lama kedua matanya membulat dan tangan kanannya bergerak menutupi mulutnya yang terbuka.

“Ah, mianhamnida. Aku tidak tahu kalau Xiumin-ssi adalah seniorku. Aku benar-benar minta maaf.”

Yoona bergegas membungkuk.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Bukan salahmu kalau tidak tahu hal itu. Toh kita hanya berbeda satu tahun. Dan hei, apa-apaan kau, sudah tinggal di China tapi masih meminta maaf menggunakan bahasa Korea? Apa karena aku juga orang Korea?”

Yoona menarik sudut-sudut bibirnya dan memperlihatkan cengirannya.

“Hehe, sudah menjadi kebiasaanku untuk berbicara dalam bahasa Korea jika bertemu dengan sesama orang Korea.”

Xiumin hanya mengangguk-angguk.

“Nah, ayo kita pergi sekarang. Aku yakin teman bermainmu sudah menunggumu.”

Yoona mengangguk. Gadis itu bergegas mengikuti langkah Xiumin dan mensejajarinya.

-o0o0o-

“Jadi… ini temanmu?”

Xiumin menunjuk seekor anak anjing berbulu kecoklatan yang tampak lincah berloncatan di sekitar kaki Xiumin dan Yoona.

Ne. Dia teman bermainku. Memangnya ada apa?”

Xiumin masih menatap tidak percaya ke arah anak anjing yang diklaim sebagai teman bermain Yoona.

Ani, aniyo. Hanya saja… aku pikir temanmu itu…”

“Manusia?”

Xiumin mengangguk ragu mendengar tebakan Yoona.

“Hahaha, maaf kalau aku mengecewakanmu, Xiumin-ssi. Bukannya aku tidak mau berteman dengan manusia, tapi bukankah pertemanan tidak hanya terbatas pada sesama manusia?”

Benar juga sih.

“Bamjie-ya!”

Anak anjing itu langsung berlari dan melompat ke kedua tangan Yoona yang terentang. Gadis itu memeluk dan membelai badan anak anjingnya dengan penuh kasih.

Cha, aku bawakan makanan untukmu. Kau pasti sudah sangat lapar karena menungguku. Mian tadi pagi aku tidak bisa bertemu denganmu. Kau tidak marah padaku kan?”

Yoona meletakkan anak anjing itu ke tanah dan mengulurkan sekeping biskuit anjing yang selalu dibawanya.

“Woof! Woof!”

“Ah, syukurlah kalau kau tidak marah. Aku takut sekali kalau kau marah padaku dan tidak mau lagi berteman denganku.”

Yoona kembali tersenyum. Anak anjing itu tampak menikmati biskuit yang diberikan Yoona padanya.

“Jangan bilang padaku kalau kau bisa bahasa anjing?”

Yoona menoleh dan menatap bingung ke arah Xiumin.

Nde? Hahaha, pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku bisa! Kau juga pasti bisa melakukannya kan, Xiumin-ssi?”

Xiumin menaikkan kedua alisnya, kaget.

“Kau… sungguh-sungguh?”

Yoona mengangguk yakin.

Ne. Bukankah itu bahasa yang paling mudah dipelajari di dunia ini?”

Xiumin mundur selangkah dan menatap Yoona seolah gadis itu adalah makhluk asing yang baru pertama kali ditemuinya.

“Kau… bercanda bukan? Kau… bukan alien wanita atau siluman atau semacamnya kan?”

Yoona tersenyum. Sedetik kemudian tawanya pecah.

“Hahaha, tentu saja aku bercanda! Mana mungkin aku bisa berbahasa anjing. Kau ini ada-ada saja, Xiumin-ssi.”

Xiumin kembali mendekati Yoona dan menggaruk tengkuknya.

“Oh, hahaha, aku pikir kau serius. Maksudku… aku pikir kau benar-benar bisa bahasa anjing.”

Yoona menggeleng. Sesekali tawa masih lolos dari bibir mungilnya, membuat Xiumin semakin memerah malu.

“Tapi aku bisa mengajarimu, Xiumin-ssi.”

Xiumin menegang.

“Mengajari apa?”

“Bahasa anjing. Bahasa untuk memahami gonggongan dan salakan mereka.”

Xiumin kembali menjauhi Yoona. Kali ini ia beringsut mundur dua langkah.

“Kau… berhenti menakut-nakutiku, Yoona-ssi.”

Yoona mengalihkan pandangannya dari Bamjie dan fokus menatap Xiumin di sampingnya.

“Hahaha, kau lucu sekali Xiumin-ssi! Lihat wajah ketakutan itu! Kau bahkan tampak pucat dan… hei, kau berkeringat! Hahaha.”

Xiumin melengos. Wajahnya yang semula pucat kini memerah tomat karena malu.

“Hentikan Yoona-ssi! Aish, kau melakukan ini untuk membalas dendam padaku karena tadi pagi? Benar-benar menyebalkan.”

Yoona masih saja tertawa melihat tingkah dan ekspresi Xiumin yang menurutnya lucu dan menggemaskan.

Mian, mianhae Xiumin-ssi. Ah, aku sampai lupa mengenalkanmu pada Bamjie.”

Yoona kembali berjongkok dan mengelus kepala anak anjing itu.

“Bamjie-ya, aku ingin kau berkenalan dengan temanku. Ah, ani, bukan temanku, tapi seniorku. Cha.”

Gadis itu lalu mengangkat Bamjie dan mendekatkannya pada Xiumin.

“Ah, annyeong Bamjie. Aku Xiumin, senior Yoona yang tampan.”

“Woof! Woof!”

Bamjie menyalak keras dan meronta berusaha melepaskan diri dari gendongan Yoona.

“Sepertinya dia ingin digendong oleh Xiumin-ssi.”

Xiumin menaikkan salah satu alisnya dan menatap Yoona.

Aish, tidak bisakah kau lihat arti itu dari gestur tubuhnya yang mengarah padamu?”

Gadis itu merengut sebal karena Xiumin masih mengira ia mampu berbahasa anjing dan mengartikan salakan Bamjie.

“Hahaha, arra arra. Kemari Bamjie-ya. Kau pasti ingin dipeluk oleh laki-laki tampan sepertiku kan? Aku tebak kau pasti anjing perempuan.”

Yoona menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan Xiumin.

Aniyo. Dia anjing laki-laki.”

Xiumin menampilkan cengirannya.

“Hehe, aku hanya menebak saja.”

Hampir setengah jam mereka habiskan untuk bermain bersama Bamjie. Anak anjing itu terlihat senang sekali dengan keberadaan mereka berdua. Beberapa kali Xiumin mengajaknya bermain lempar-tangkap ranting kayu yang segera saja menjadi permainan favorit Bamjie. Angin yang semula berhembus pelan mulai menunjukkan kekuatannya. Suhu di sekitar mereka pun perlahan menurun.

Whuussh~

“Kyaaa.”

Yoona memekik saat hembusan angin yang semakin kencang menerbangkan roknya. Xiumin segera berpaling.

“Sepertinya hari sudah semakin sore. Sebentar lagi pasti akan gelap. Sebaiknya kita pulang, Yoona-ssi.”

Gadis itu mendongak dan menatap hamparan langit yang menampakkan semburat merah kekuningan.

“Ya, sepertinya kita memang harus segera pulang.”

Yoona lalu mendudukkan dirinya dan mengelus kepala Bamjie.

“Bamjie-ya, kami harus pulang sekarang. Besok kami pasti akan kembali lagi ke sini. Kau jangan bersedih, ne? Ah, dan jangan bermain terlalu jauh. Nanti kau tersesat seperti minggu lalu. Aku tidak ingin kehilanganmu, Bamjie-ya.”

“Woof! Woof! Woof!”

Yoona tersenyum dan kembali mengusap anak anjing itu.

“Anjing pintar. Kalau begitu kami pulang dulu. Annyeong.”

Gadis itu perlahan berdiri. Kali ini Xiumin yang mendudukkan diri dan berpamitan pada Bamjie.

“Aku akan menemuimu lagi besok. Aku janji. Annyeong Bamjie-ya.”

“Woof! Woof! Woof!”

Xiumin tersenyum. Setelah berpamitan, mereka segera beranjak menuju tempat sepeda Xiumin diletakkan. Bamjie mengiringi kepergian mereka dengan salakan dan goyangan ekornya.

“Kita sudah sampai di rumahmu, Yoona-ssi.”

Xiumin memberhentikan sepedanya dan menyenggol pelan lengan Yoona yang melingkar di perutnya.

“Ah, ne.”

Gadis itu segera melepas kedua tangannya dari perut Xiumin dan beranjak turun.

“Besok aku akan menjemputmu. Kita berangkat bersama. Arrayo?”

Yoona membelalak kaget.

Nde? Tapi…”

Xiumin mengabaikan protes gadis itu.

“Tidak ada tapi-tapian. Lagipula kita sudah berjanji untuk menemui Bamjie besok. Itu artinya kau tidak boleh meninggalkanku, apalagi sampai melupakanku. Bamjie akan marah padamu jika tahu itu.”

Nde? Apa maksud…”

“Sudahlah. Sampai besok, Yoona-ssi. Istirahatlah. Dan jangan lupa makan. Aku pulang dulu. Annyeong.”

Yoona masih terpaku. Ia memandangi laki-laki itu mengayuh sepedanya, menjauh dari pandangannya.

“Ah, karena aku seniormu, aku berharap kau memanggilku Xiumin oppa. Kau lebih suka menggunakan istilah Korea jika bersama dengan orang Korea bukan?”

Yoona mengangguk pelan.

“Baiklah. Sampai besok, Yoona-ssi.”

Xiumin kembali meneruskan kayuhannya. Tak lupa laki-laki itu melambai pada Yoona yang entah kenapa masih saja membisu. Setelah laki-laki itu menghilang dari pandangan Yoona, barulah gadis itu tersadar. Jantungnya kembali berdetak kencang, meningkatkan suplai darah ke kedua pipinya. Alhasil semburat merah menghiasi pipinya yang seputih porselen.

Aish, aku lupa mengucapkan terima kasih padanya.”

Yoona merutuki kebodohannya. Ia kembali memandang ke arah menghilangnya Xiumin. Tanpa sadar seulas senyum merekah di wajahnya.

Xie xie, Xiumin oppa.”

Are You Leaving?

59664fe6ca68150f96796748422a23cd

Deg.

Detak jantung ini…

Deg.

Deg.

entah sampai kapan…

Deg.

Deg,

Deg.

mampu bertahan…


Hyung!”

Seorang lelaki muda yang terbalut kemeja bergaris biru muda dan celana kain hitam menerobos masuk ke dalam sebuah ruangan bercat dinding warna putih. Di atas satu-satunya ranjang yang terletak di dalam ruangan tersebut terbaring satu sosok yang sangat dikenalnya. Sosok yang kini dikelilingi oleh empat laki-laki dan dua perempuan muda dengan kisaran usia yang tidak jauh berbeda.

Hyung! Taecyeon hyung! Apa yang terjadi padamu? Cepat bangun! Bangun kataku! Hyung!”

Lelaki muda tadi langsung berlari ke samping ranjang dan meracau tidak jelas pada sosok yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Sosok itu, Ok Taecyeon, adalah salah satu senior yang dekat dengannya di tempat kerja. Salah satu senior yang sangat dihormatinya.

“Chansung-ah, hentikan. Percuma saja kau berteriak. Taecyeon tidak bisa mendengarmu. Tidak saat ini.”

“Tapi Nickhun hyung…”

Hwang Chansung, atau yang dipanggil Chansung itu langsung menelan kembali protesnya saat mendapat gelengan tegas dari lelaki yang berada persis di sampingnya.

“Nickhun-ah, lebih baik kau antar Tiffany pulang. Dia pasti kelelahan. Dan kau, Wooyoung, kau juga sebaiknya mengantar Taeyeon pulang.”

Salah satu lelaki yang berusia paling tua di antara mereka, Kim Junsu, segera angkat bicara dan mengalihkan topik pembicaraan sebelum ada perdebatan lebih jauh dari Chansung dan Nickhun.

Arraseo.”

Baik Nickhun maupun Wooyoung langsung menuruti perintah Junsu. Mereka segera mengambil jas kerja yang digeletakkan seenaknya di sofa dan menggamit pergelangan perempuannya masing-masing.

“Dimana perempuan murahan itu? Dimana perempuan tidak berhati yang sudah membuat Taecyeon hyung seperti ini?”

Plaak!

Satu tamparan telak menghantam pipi kiri Chansung, membuat laki-laki paling muda itu mendesis geram.

“Jaga ucapanmu. Yoona bukanlah wanita murahan dan tidak berhati seperti yang kau tuduhkan.”

Kini suasana di dalam ruangan menjadi sunyi dan sarat ketegangan.

“Fany-ah, come on. You’ve heard what Junsu hyung said before. You’ve to go home. You must be tired.”

Nickhun mempererat pegangannya di pergelangan tangan kiri perempuan itu. Perempuan keturunan Amerika-Korea bernama lengkap Tiffany Hwang yang menyandang status resmi sebagai kekasihnya. Perempuan yang baru saja melayangkan tamparannya ke Chansung.

Fine.”

Tiffany langsung menyentakkan tangan dan memaksa Nickhun melepaskan genggamannya. Perempuan muda itu bergegas keluar melalui pintu ruangan yang terbuka lebar akibat perbuatan Chansung yang menerobos masuk seenaknya. Nickhun menghela napas kasar dan segera mengejar langkah kekasihnya.

“Junsu oppa, Junho-ya, Chansung-ah, aku pamit pulang dulu. Besok akan kuusahakan untuk kembali ke sini.”

Junsu memaksakan seulas senyum. Begitupun dengan Junho.

Ani, kau tidak perlu merepotkan diri seperti itu, Taeyeon-ah. Aku tahu kau sangat sibuk. Di sini masih ada aku. Tenanglah.”

Taeyeon mengangguk. Perempuan itu lalu melangkah mendekati Chansung yang masih saja diam dan menunduk.

“Chansung-ah, aku minta maaf atas perilaku Tiffany. Dia hanya… tidak bisa mengendalikan dirinya. Dan kumohon, berhenti menjelek-jelekkan Yoona. Kau tidak begitu mengenalnya sehingga kau tidak berhak merendahkannya seperti itu.”

Chansung mengangkat kepalanya. Ia balas memandangi Taeyeon dengan bibir terkatup rapat.

Kajja, Taeyeon-ah. Aku akan mengantarmu pulang.”

Taeyeon menoleh dan tersenyum.

Nde. Kalau begitu aku pamit pulang. Annyeong.”

Taeyeon membungkukkan badan yang dibalas bungkukan serupa oleh Junsu dan Junho.

“Aku akan segera kembali.”

Junho mengangguk mendengar perkataan Wooyoung. Sepasang insan yang gencar dikabarkan menjalin hubungan asmara itu lalu berjalan menuju pintu dan keluar ruangan.

“Junsu hyung…”

Junsu mengangkat tangan kanannya, mencegah Chansung untuk bicara lebih banyak.

“Aku lelah. Kita lanjutkan besok saja. Junho-ya, aku akan keluar sebentar untuk bicara dengan dokter. Kau dan Chansung tinggal di sini. Arra?”

Ne hyung.”

Chansung yang lagi-lagi hampir membantah hanya dapat terdiam setelah kalah cepat menjawab perintah Junsu.

“Chansung-ah…”

Mendadak Junho telah berada di hadapan Chansung dan menepuk pundak laki-laki yang lebih muda beberapa bulan darinya itu. Rupanya sepeninggal Junsu, Junho melangkah cepat mendekati Chansung yang masih terdiam.

“Junho hyung…”

“Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku juga marah atas apa yang sudah Yoona lakukan pada Taecyeon hyung. Tapi apa yang dikatakan Taeyeon noona ada benarnya. Kita tidak bisa seenaknya menyalahkan Yoona. Bagaimanapun kita tidak begitu mengenal Yoona.”

Chansung kembali menunduk. Sebelumnya Junho sempat melihat sekilas gerakan mengangguk kaku dari teman sekantornya itu.

“Apa Taecyeon hyung akan sembuh?”

Junho menoleh ke samping, mengarahkan pandangannya ke atas ranjang tempat Taecyeon berbaring. Berbagai kabel dan selang penyangga kehidupan tampak melintang di sekujur badan laki-laki yang masih setia menutup matanya itu. Bunyi-bunyian samar dari bermacam alat kedokteran tersebut terdengar pelan di telinga Junho dan Chansung.

“Pasti. Taecyeon hyung pasti sembuh. Kau tenang saja.”

Chansung mendesah. Ia menyadari adanya keraguan dalam perkataan Junho. Keraguan yang juga menyelimuti pikirannya. Keraguan yang berusaha dienyahkannya.

-o0o0o-

Flashback on

“Yoona-ya! Tunggu! Tolong dengarkan aku.”

Seorang lelaki berbadan tinggi dan proporsional itu langsung menarik pergelangan tangan perempuan bernama Yoona dan membawa tubuh kecil itu ke salah satu dinding lorong yang sepi. Tangan lainnya melintang menghalangi satu-satunya jalan keluar bagi perempuan itu.

“Lepaskan aku, Ok Taecyeon-ssi! Lepaskan! Atau aku akan berteriak minta tolong agar orang-orang di kantor ini melihat pelecehan yang kau lakukan padaku. Cepat lepaskan!”

Yoona, perempuan itu, masih saja meronta. Ia tahu kalau perbuatannya sia-sia. Tenaganya jelas tidak lebih kuat jika dibandingkan dengan Taecyeon. Selain itu waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Tidak ada lagi pegawai yang berkeliaran di dalam kantor di jam selarut ini. Bahkan petugas kebersihan pun tidak. Jam kerja mereka telah selesai satu jam yang lalu.

“Kau tahu itu percuma, Na-ya.”

Yoona sedikit bergidik mendengar Taecyeon memanggilnya dengan sebutan yang dulu sangat disukainya. Dulu. Saat mereka masih berhubungan baik.

“Apa yang kau inginkan, huh?”

Taecyeon menatap perempuan di hadapannya. Perempuan yang masih sangat dicintainya.

“Aku ingin bicara denganmu.”

Yoona membuang muka, memutus kontak mata dengan laki-laki yang pernah mendiami hatinya.

“Sekarang kau sedang berbicara denganku.”

Taecyeon menghela napas. Cengkeramannya mengendur dan terlepas. Tangan yang semula menghalangi jalan keluar Yoona mendadak diturunkan dan menggantung lemah di sisi tubuh kekarnya.

“Wae?”

Yoona mendengus. Seulas senyum tak bersahabat muncul di wajahnya.

“Sudah berapa kali harus kukatakan alasan itu, Taecyeon-ssi? Aku tidak bisa untuk terus bersamamu. Kau tidak memberi jaminan apapun untuk kebahagiaanku. Aku tidak akan pernah merasakan indahnya dunia jika masih bersamamu. Tidakkah kau mengerti itu?”

Taecyeon melembutkan tatapannya. Hal itu membuat Yoona merasa gusar.

“Apa yang mengubahmu menjadi seperti ini, Na-ya?”

Yoona lagi-lagi bergidik mendengar panggilan itu.

“Siapapun bisa berubah, Taecyeon-ssi. Begitu juga denganku. Aku hanya berusaha untuk bersikap realistis. Aku akan lebih bahagia jika bersama dengan Lee Seunggi-ssi. Dia jelas-jelas lebih sempurna dibanding dirimu. Dia lebih pantas untuk menjadi kekasihku.”

Taecyeon menelan ludah mendengar pengakuan Yoona. Pengakuan yang berhasil menimbulkan nyeri di sekujur badannya.

“Kau… apa kau serius dengan ucapanmu?”

Yoona terdiam.

“Na-ya?”
“Nde, aku serius. Apa kau sudah selesai berbicara denganku?”

Taecyeon melangkah mundur. Kepalanya tertunduk. Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan diri agar tidak melukai perempuan pemilik hatinya itu.

“Semoga kau bahagia bersamanya, Im Yoona-ssi.”

Yoona lagi-lagi terdiam. Sejenak hening menguasai keduanya.

“Kuanggap pembicaraan kita sudah selesai. Aku pergi dulu.”

Tanpa menunggu reaksi Taecyeon, Yoona bergegas melangkah menjauh dari koridor dan menghilang.

Bruuk!

Taecyeon jatuh terduduk. Tangan kanannya terangkat. Diletakkannya di atas dadanya yang terasa sakit luar biasa.

“Aku tahu kau berbohong, Na-ya.”

Flashback off

 -o0o0o-

Hyung! Bangun! Cepat! Ada yang tidak beres dengan Taecyeon hyung!”

Junsu segera bangkit dan mengerjap-kerjapkan matanya. Teriakan Chansung yang disertai dengan goncangan di sekujur badannya itu mau tidak mau membangunkannya.

Wae?”

“Taecyeon… Taecyeon hyung…”

Bibir Chansung bergetar saat menyebutkan nama Taecyeon. Junsu segera menyadari ada yang tidak benar dengan situasi itu. Pandangannya segera terarah ke atas ranjang. Bola matanya langsung membulat begitu melihat Taecyeon yang mengejang kesakitan.

“Aku akan panggil dokter! Kau cepat hubungi yang lain!”

Junsu bergegas melesat keluar dari dalam ruangan. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran buruk yang membuat pandangannya tidak fokus.

Tidak! Tidak sekarang! Kau harus bertahan, Ok Taecyeon! Kau janji akan bertahan!

-o0o0o-

Siang itu hujan deras mengguyur kota Seoul. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah kaki beberapa orang menuju salah satu bangunan tempat mereka mengantar kepergian seorang yang mereka kenal. Pakaian dengan dominasi warna hitam melekat di badan setiap tamu yang datang. Rangkaian bunga tampak memenuhi satu sudut. Bisik-bisik percakapan terdengar menggaung di dalam ruangan yang berdekorasi seadanya.

Andwe! Ini tidak mungkin terjadi! Kau pasti hanya bercanda kan? Cepat bangun dan keluar dari peti mati itu. Ini semua tidak lucu!”

Seorang perempuan yang baru saja masuk langsung merangsek maju dan meracau. Tubuhnya yang mungil hampir saja jatuh kalau tidak segera ditopang oleh tangan kekar lelaki yang terus berada di sampingnya.

“Fany-ah, calm down, please.”

Tiffany semakin terisak. Perempuan itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan menggigit bibir. Ia terus memaksa maju, membuat lelaki yang memeganginya harus berusaha lebih keras untuk menahan bobot tubuh perempuan itu.

Andwe! Biarkan aku melihatnya! Aku akan pastikan kalau ini semua hanya rencananya untuk mengerjai kita! Lepaskan! Lepaskan aku, Khunnie!”

Nickhun semakin mengeratkan salah satu tangannya yang melingkar di perut Tiffany. Hal itu membuat Tiffany semakin meronta. Nickhun dibuat kewalahan olehnya. Untunglah seorang wanita paruh baya yang telah dikenalnya datang dan membantunya menenangkan Tiffany.

“Fany-ah, dia sudah benar-benar pergi. Ikhlaskan dia, ne?”

Tiffany menggeleng keras-keras.

Ani! Aku tidak akan mempercayai kebohongan ini. Aku yakin dia hanya mengerjai kita, eommonim.”

Wanita paruh baya itu menggeleng pelan. Dia meletakkan salah satu tangannya di atas bahu Tiffany.

“Kau ingin menemuinya?”

Tiffany mengangguk. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Nickhun.

“Aku akan menemaninya ke dalam eommonim.”

Wanita paruh baya itu mengangguk dan tersenyum tipis. Ketiganya lalu memasuki sebuah ruangan kecil yang hanya berisi satu peti mati berpelitur keemasan di tepinya. Tiffany langsung jatuh terduduk begitu melihatnya. Baru saja Nickhun hendak membantu perempuannya kembali berdiri, seseorang menyusul masuk ke dalam. Ia langsung menghampiri Tiffany dan memeluk erat perempuan itu.

“Taeyeon-ah… Taeyeon-ah… bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin? Kenapa harus secepat ini?”

Air mata Taeyeon mengalir. Pelukannya semakin erat.

“Ini yang terbaik, Fany-ah. Ini yang terbaik untuknya. Lebih baik sekarang kita keluar. Ada seseorang yang lebih berhak menemuinya. Kajja.”

Tiffany ingin sekali menolak bujukan itu. Namun tenaganya sudah cukup terkuras setelah berusaha melawan Nickhun untuk melepaskannya. Ia hanya menurut saat Taeyeon membantunya berdiri dan mengajaknya keluar. Mereka akhirnya melangkah keluar bersama dengan wanita paruh baya tersebut. Meninggalkan Nickhun yang masih termenung.

Nickhun menatap peti mati itu. Kedua matanya sayu.

“Semoga kau tenang di sana. Terima kasih untuk hal berharga yang telah kau berikan padanya.”

Ucapan Nickhun lirih, sangat lirih. Saat laki-laki itu hendak beranjak pergi, seseorang masuk ke dalam. Keduanya saling bertukar pandangan. Nickhun melangkah maju dan menepuk pelan lengan orang tersebut.

“Kau harus kuat, ne?”

Orang tersebut mengangguk. Setelah Nickhun menghilang dari balik pintu, orang tersebut melangkah perlahan mendekati peti mati di hadapannya. Hatinya langsung mencelos begitu melihat sosok yang terbaring di dalamnya. Tangan kanannya terangkat, menyingkap pelan selarik kain tipis yang sengaja dibentangkan di atas sosok tersebut.

“Seharusnya aku yang berada di dalam sini. Bukan dirimu, Na-ya.”

Orang itu, Ok Taecyeon, menatap sendu tubuh tak bernyawa Yoona, perempuan yang sangat dicintainya. Tangan kanannya kembali terangkat, namun kali ini mengarah ke dadanya. Mengusap pelan harta berharga yang Yoona berikan padanya demi menjalani kehidupan kedua. Kehidupan yang tidak lagi sama tanpa keberadaan perempuan itu di sampingnya.

In Love with Noona (part 5)

In Love with Noona 2

14 Mei 2009

SHINee’s practice room

Hyung, jebal, bantu aku mempersiapkan pesta kejutan itu, ne? Jebal hyung,” pinta seorang namja berwajah imut yang tidak juga berhenti membujuk hyungdeulnya. Sepasang kelopak matanya berkedip-kedip penuh arti dengan kedua tangan terkatup di depan dada. Jurus aegyo andalannya tidak lupa ia tampilkan demi mendapat persetujuan keempat namja di hadapannya yang setahun ini dikenal sebagai anggota boyband SHINee.

Ya! Hentikan aegyo-mu itu, Taemin-ah! Arraseo arraseo, aku akan membantumu menyiapkan kejutan itu.” Bentak salah seorang namja paling tinggi yang memang paling tidak bisa menolak permintaan Taemin jika dongsaengnya itu sudah mengeluarkan aegyo andalannya.

Namja yang dipanggil Taemin itu langsung tersenyum lebar mendengar salah satu hyungnya akhirnya menyerah dan mau membantunya. Tanpa babibu ia langsung meloncat ke arah namja tersebut dan memeluknya erat sambil berteriak senang.

Gomawoyo Minho hyung! Jeongmal gomawoyo! Kau memang hyungku yang paling baik!” teriak Taemin yang langsung mendapat pelototan dari ketiga namja lainnya yang belum memberikan persetujuan mereka.

Ya! Jadi maksudmu kami bukan hyung yang baik untukmu, hah?” sergah namja berotot dengan gusar. Mendengar itu Taemin hanya memperlihatkan cengirannya dengan ekspresi tidak bersalah.

“Hehehe, bukan begitu maksudku hyung. Tentu saja kalian semua adalah hyung yang baik untukku. Tetapi hyung menjadi 1000x lebih baik kalau mau membantuku.” Ucap Taemin yang kembali memasang aegyo-nya.

Aish, arra arra! Aku pun akan membantumu. Benar-benar merepotkan punya dongsaeng yang sedang jatuh cinta sepertimu.” Putus namja berotot itu akhirnya. Ia mengacak-acak rambutnya yang memang sudah tidak berbentuk lagi akibat latihan persiapan comeback grup mereka akhir Mei nanti.

Ya, akhir Mei nanti, atau tepatnya tanggal 21 Mei, merupakan waktu perilisan mini album kedua kelompok mereka yang diberi judul Romeo. Karena itulah sejak tiga bulan lalu mereka mulai disibukkan dengan berbagai latihan demi meningkatkan kualitas musikal SHINee di kancah permusikan Korea Selatan. Jadwal latihan semakin menjadi-jadi semenjak memasuki awal bulan Mei yang membuat kelimanya semakin sulit memiliki waktu kosong untuk bersantai. Alasan inilah yang membuat Onew, sang leader, agak keberatan dengan rencana Taemin membuat pesta kejutan untuk salah satu sunbae yang disukai maknae itu.

“Yeay! Neomu gomawoyo Jonghyun hyung! Neomu neomu gomawoyo!” pekik Taemin yang kali ini berlari dan memeluk Jonghyun tanpa memedulikan pelototan namja itu kepadanya.

Arra arra, kami semua akan membantumu, Taemin-ah. Tapi ingat, persiapan itu harus dilakukan di luar jadwal latihan kita. Otte?” ujar Onew sambil menatap serius ke arah Taemin. Namja yang dimaksud langsung mengangguk berkali-kali dengan semangat tanda menyetujui persyaratan yang diajukan kepadanya.

“Tapi, bukankah Yoona sunbae dan SNSD sunbaenim juga sedang sibuk promo lagu terbaru mereka? Belum lagi mereka juga akan menyelenggarakan tur konser mereka yang pertama. Apa pesta ini tidak akan mengganggu mereka?” tanya namja paling stylish di kelompok itu yang baru bersuara.

“Benar juga apa yang dikatakan Key. Mereka juga sedang sama sibuknya, ani, malah lebih sibuk dibanding kita.” Ucap Minho yang baru tersadar dengan hal tersebut. Baik Onew maupun Jonghyun hanya ikut mengangguk dan terlihat berpikir keras mencari solusinya.

Hyung tenang saja, seminggu yang lalu aku sudah membicarakan hal ini dengan Jessica noona dan Yuri noona. Mereka setuju-setuju saja dengan rencanaku, bahkan mereka langsung bersemangat mau membantuku. Tidak seperti hyung semua yang harus kubujuk ribuan kali baru mau setuju.” Jelas Taemin yang langsung mendapat bentakan dan empat jitakan manis di kepalanya.

Ya! Apa katamu, hah? Sudah bagus kita mau membantumu.” Bentak Onew, Jonghyun, Key dan Minho hampir bersamaan sambil menyarangkan jitakan ke kepala maknae mereka.

Ya! Hyung! Appo.” Ringis Taemin memelas sambil mengusap-usap kepalanya yang dibalas juluran lidah oleh keempat hyungnya. Taemin hanya bisa memajukan bibirnya tanpa bisa memprotes lebih lanjut. Takut sepulang latihan kepalanya malah penuh benjolan akibat jitakan hyungdeulnya yang terkenal senang menjahilinya itu.

-o0o0o-

Sementara itu, di ruang latihan SNSD pada saat yang sama

Sembilan yeoja yang telah bersimbah keringat terlihat serius menarikan gerakan-gerakan dance lagu baru mereka yang tengah naik daun dan merajai chart musik Korea Selatan. Gerakan-gerakan itu sebenarnya sudah mereka hapal di luar kepala, namun demi menjaga kualitas stage performance mereka maka mereka tetap tekun melatih seluruh gerakan tersebut. Tidak lama iringan lagu yang mereka tarikan mulai meredup dan hilang, membuat keadaan ruang latihan senyap untuk beberapa saat.

“Aah, akhirnya. Sekarang kita lanjut ke lagu berikutnya.” Perintah seorang yeoja bertubuh mungil yang merupakan leader grup mereka. Sebuah tangan terangkat ke atas dan membuat delapan pasang mata lainnya di ruangan itu menatap penuh tanya ke arah sang pemilik tangan tersebut.

Wae Sica-ya?” tanya Taeyeon pada seorang yeoja yang memperlihatkan cengiran rasa bersalahnya karena telah menginterupsi latihan.

“Err, bisakah kita istirahat dulu? Bukankah kita sudah latihan hampir 4 jam non-stop? Aku sudah lelah, lagipula aku ingin ke toilet. Sudah setengah jam perutku terasa mulas dan aku terpaksa menahan…” jawab Jessica sambil mengusap-usap perutnya dengan ekspresi seseorang yang tengah berjuang menahan hasil akhir proses pencernaannya. Ia tidak melanjutkan ucapannya karena seorang yeoja bermata sipit langsung memotong penjelasannya.

Ya! Stop Sica-ya! Don’t you even dare to continue your words! That’s soo, aish, disgusting.” Potong seorang yeoja kelahiran Amerika yang tanpa sadar mengomel dalam bahasa ibunya hingga membuat ketujuh yeoja yang asli warga negara Korea hanya bisa terbengong-bengong menatapnya.

Ok, ok. Aish, I can’t wait anymore! I really need to go to bathroom. Wait for me, ne?” cerocos Jessica yang spontan menanggapi Tiffany dalam bahasa yang sama. Tanpa menunggu yeoja lainnya mengartikan percakapan kedua member kelompok itu yang memang blasteran Amerika, Jessica segera berlari meninggalkan ruangan sambil menekan perutnya.

Aish, baiklah, kita istirahat dulu sambil menunggu Sica menyelesaikan urusannya.” Perintah Taeyeon yang disambut desahan lega ketujuh yeoja lainnya. Mereka langsung berpencar dan mengistirahatkan tubuh mereka dalam posisi senyaman mungkin.

“Seohyun-ah, kau kan yang paling pintar di antara kita semua, boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanya seorang yeoja bertubuh paling jangkung dengan setengah berbisik kepada maknaenya.

“Silahkan Sooyoung eonni. Memang kau ingin menanyakan apa?” tanya Seohyun balik. Ia meluruskan kedua kakinya sambil menatap intens ke arah Sooyoung.

“Apa kau tahu yang tadi Fany dan Sica bicarakan?” tanya Sooyoung dalam nada serius. Seohyun menautkan kedua alisnya sejenak lalu menatap ke atas, memikirkan jawaban yang diminta eonninya.

Ya! Kenapa kau malah diam? Aku tidak bercanda, aku benar-benar tidak tahu apa yang tadi mereka bicarakan.” Sergah Sooyoung dalam suara tertahan karena Seohyun tidak juga menjawab pertanyaannya.

“Tadi Fany eonni hanya tidak mau Sica eonni melanjutkan ucapannya karena yah, Fany eonni merasa apa yang akan dikatakan Sica eonni selanjutnya adalah hal yang menjijikkan. Lalu Sica eonni membalas kalau ia sudah tidak tahan ingin ke toilet dan meminta kita untuk menunggunya kembali sebelum melanjutkan latihan.” Jelas seorang yeoja berwajah tirus yang duduk tepat di samping Seohyun sehingga ikut mendengar pertanyaan Sooyoung.

“Bagaimana kau bisa tahu itu?” tuntut Sooyoung yang terlihat tidak percaya dengan penjelasan yeoja itu.

“Apa yang dijelaskan Yoona eonni benar, Sooyoung eonni. Ternyata kemampuan bahasa Inggris eonni sudah semakin baik.” Ucap Seohyun mendukung penjelasan Yoona sambil memuji salah satu eonninya itu.

Mwo? Bagaimana bisa? Apa kau ikut les tambahan, Yoong?” tanya Sooyoung dengan kedua mata membulat tidak percaya.

Ani. Aku banyak belajar dari Kibum oppa.” Jawab Yoona sambil tersenyum tipis.

“Ah, ne, arraseo.” Tanggap Sooyoung singkat dan tidak berniat melanjutkan pembicaraan. Ia dan seluruh member SNSD berusaha menghindari pembicaraan tentang Kim Kibum Super Junior begitu beredar kabar tidak menyenangkan mengenai sunbaenya itu. Kabar yang membuat Yoona menjadi tidak terlalu bersemangat seperti biasanya.

Ketiganya lalu terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing.

Kibum oppa, apa benar kau akan meninggalkan Super Junior? Meninggalkan kami? Meninggalkanku? Selama ini aku mengira itu hanya gosip belaka, tapi ternyata gosip itu benar adanya. Wae oppa? Waeyo? Beberapa hari ini hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang berseliweran di dalam pikiran Yoona hingga membuat yeoja itu menjadi kurang bersemangat menjalani agenda padatnya.

Tak tahukah oppa kalau aku begitu menderita mendengar kabar itu? Tak tahukah oppa kalau aku takut tidak bisa sesering dulu menemuimu? Tak tahukah oppa tentang perasaanku? Yoona tahu pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab selama ia tidak berani mengakui perasaannya pada Kibum, laki-laki yang membuatnya belajar tentang rasa cinta. Bukan cinta dari adik kepada kakaknya, bukan pula cinta kepada seseorang yang dianggapnya saudara, melainkan cinta seorang yeoja kepada namja.

Yoona menghela napas berat dan menarik kedua kakinya mendekati dada. Ia mengaitkan kedua tangannya di sekitar kakinya dan memutuskan untuk memejamkan mata sejenak demi menghalau berbagai pemikiran yang memberati kepalanya.

-o0o0o-

Keesokan paginya, seorang namja bertubuh jangkung dengan kulit sedikit gelap tampak memasuki toko peralatan tulis dan sibuk memilih beberapa macam benda. Meski ia sudah membuat daftar benda apa saja yang harus dibelinya, namun tetap saja ia terlihat kebingungan harus membeli yang seperti apa karena toko itu menyediakan berbagai macam model untuk satu benda yang sama.

Aish, aku baru tahu kalau kertas karton seperti ini saja memiliki banyak ukuran dan ketebalan yang berbeda. Lalu aku harus pilih yang mana? Aarggh,” dumel namja itu frustasi. Berkali-kali ia mengambil kertas karton yang berbeda dan tampak menimbang-nimbangnya untuk kemudian ia letakan kembali di konternya.

Chogiyo, sebenarnya Anda ingin membeli apa?” tanya seorang pegawai toko kepada namja tersebut yang setengah jam lalu ia perhatikan tidak juga beranjak dari konter kertas karton. Namja itu mendongak dan tampak salah tingkah saat menyadari seorang pegawai wanita tengah menatapnya kebingungan.

“Ah, itu, itu, aku.. aku mencari kertas karton. Aku tidak menyangka kalau kertas karton saja ada banyak ukuran seperti ini.” jelas namja itu sambil menunjuk deretan tumpukan kertas karton di depannya.

“Oh, mungkin saya bisa membantu Anda. Kertas karton seperti apa yang Anda cari? Apakah yang tebal, tipis, atau yang biasa dibeli?” tanya pegawai itu sambil menawarkan bantuan.

“Sebenarnya.. aku juga tidak tahu harus membeli kertas karton yang seperti apa.” jawab namja itu jujur sambil menggaruk tengkuknya. Pegawai wanita itu tersenyum geli menanggapi jawaban tersebut.

“Hmm, baiklah. Kalau begitu apa yang ingin Anda buat? Mungkin kalau Anda mengatakan apa yang akan Anda buat, maka saya dapat membantu Anda memilihkan karton dan aksesoris tambahan lainnya.” Tawar pegawai wanita itu lagi. Namja itu langsung tersenyum lebar mendengarnya.

“Ah, jeongmalyo? Gomapseumnida. Sepertinya aku memang butuh bantuan seseorang.” Ucap namja itu terdengar lega.

“Jadi? Apa yang ingin Anda buat err..”

“Jongin, Kim Jongin. Tapi panggil saja Jongin.” Ucap namja itu sambil mengulurkan tangan kanannya kepada pegawai wanita yang masih terlihat muda itu.

“Ah, Jongin-ssi. Naneun Im Hwaneun imnida. Jadi, apa yang ingin Anda buat dan untuk siapa?” tanya Hwaneun ramah.

“Rencananya aku ingin membuat semacam pop-up album untuk kuberikan sebagai hadiah kepada seseorang.” Jawab Jongin.

“Saya tebak seseorang itu yeoja, benar?” tanya Hwaneun tiba-tiba.

Ne, kau benar, Hwaneun-ssi. Sangat terlihat ya? Hahaha.” Balas Jongin lalu tertawa canggung.

“Ya. Bagaimana tidak terlihat kalau dari tadi Anda hanya memilih-milih kertas karton berwarna pink dan ungu? Jadi, Anda ingin menghadiahkan pop-up album untuk yeojachingu Anda, Jongin-ssi?” tanya Hwaneun lagi sambil kedua tangannya sibuk memilah-milah kertas karton berukuran sedang yang cukup tebal untuk dipertimbangkan pembelinya.

“Ah, ani, animnida. Dia bukan yeojachinguku, tapi yah, aku berharap dia mau menjadi yeojachinguku.” Jawab Jongin dengan muka sedikit memerah. Hwaneun yang melihat perubahan warna di muka Jongin hanya mengulum senyum.

“Apakah pop-up album ini sekaligus menjadi momen pernyataan cinta Anda untuknya? Ah, mian, mianhamnida, Jongin-ssi, sepertinya saya terlalu ingin tahu dengan urusan Anda. Lupakan saja pertanyaan tadi.” Ujar Hwaneun sambil membungkuk meminta maaf karena telah lancang menanyakan sesuatu yang menyangkut hal pribadi pembelinya.

“Hahaha, gwaenchanayo. Kau orang yang to the point sekali, hahaha.” Balas Jongin santai. Hwaneun hanya tersenyum malu sambil merapikan tumpukan kertas karton pilihannya.

“Ini, menurutku pop-up album akan lebih bagus jika dibuat dengan menggunakan kertas karton jenis ini. Sekarang silahkan Anda pilih warnanya sementara saya akan mencarikan aksesoris lain untuk mempermanisnya.” Ujar Hwaneun sambil menyerahkan setumpuk karton berwarna feminin kepada Jongin.

“Ah, ne, arraseo. Gomawoyo Hwaneun-ssi.” Ucap Jongin sambil tersenyum manis. Namja itu terlihat sedikit kerepotan menerima tumpukan karton hasil pilahan Hwaneun, namun hal itu tidak menutupi raut bahagia yang terpancar jelas di wajahnya.

Sementara Hwaneun mencarikan aksesoris lain untuknya, Jongin tampak serius memilih karton warna apa yang sebaiknya ia gunakan. Akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan kombinasi empat warna, yaitu pink, biru, putih, dan coklat muda. Bersamaan dengan itu, Hwaneun datang menghampirinya sambil membawa setumpuk pernak-pernik di dalam kotak yang langsung diangsurkannya kepada Jongin.

“Ini aksesoris yang telah saya pilihkan. Semoga pilihan saya tidak terlalu buruk. Whoaa, Anda sudah selesai memilih karton? Daebak! Sepertinya yeoja itu sangat feminin ya? Pasti ia yeoja yang cantik.” Cerocos Hwaneun begitu melihat pilihan warna karton Jongin.

“Dia tidak hanya cantik, tapi sangat cantik. Neomu neomu yeoppo.” Ucap Jongin menyetujui perkataan Hwaneun. Pikirannya langsung melayang pada sosok sunbae yang berhasil memikat hatinya itu.

“Hmm, baiklah. Sepertinya tugas saya sudah selesai. Apa ada lagi yang Anda perlukan, Jongin-ssi?” tanya Hwaneun sambil menepuk-nepuk telapak tangannya.

Ani, sepertinya ini sudah cukup. Gomawoyo untuk bantuannya hari ini, Hwaneun-ssi. Senang telah bertemu denganmu.” Jawab Jongin sambil memperlihatkan senyuman manisnya.

Cheonmaneyo. Baiklah, Anda bisa ke kasir sekarang dan membayar belanjaan Anda. Semoga berhasil, Jongin-ssi. Hwaiting!” ucap Hwaneun yang diakhiri dengan mengangkat tangan kanannya yang terkepal untuk menyemangati Jongin atas rencananya.

“Terima kasih. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu. Annyeong Hwaneun-ssi!” pamit Jongin sambil melambaikan tangannya yang dibalas oleh yeoja itu. Wajahnya segera berbalik dan menampakkan punggung yang semakin menjauh dari pandangan Hwaneun.

-o0o0o-

“Kibum-ah” Seorang namja berparas tampan dan berlesung pipit menghentikan langkahnya dan berbalik, mencari seseorang yang baru saja memanggil namanya. Kedua bola matanya langsung bertemu dengan pandangan seorang yang dikenal cukup dengannya.

“Ah, Donghae hyung. Wae geuraeyo?” tanya Kibum yang masih terdiam di tempatnya sambil menunggu Donghae yang tengah berjalan menyusulnya.

“Apa kau sudah menyiapkan hadiah?” kali ini Donghae balik bertanya setelah sampai dan berdiri berdampingan dengan Kibum.

“Hadiah? Hadiah apa hyung? Memangnya ada yang sedang berulang tahun?” tanya Kibum sambil mengerutkan keningnya bingung.

Aish, kau ini! Tentu saja hadiah untuk Yoona. Bukankah setiap tahun kau tidak pernah lupa memberinya hadiah?” ujar Donghae mengingatkan. Mendengar itu Kibum langsung menepuk keningnya.

“Astaga! Kau benar hyung! Aku lupa! Untung kau mengingatkanku. Kalau begitu aku pergi dulu eoh,” ucap Kibum sambil berbalik arah dan berlari meninggalkan Donghae.

Ya! Ya! Ya! Kau mau kemana? Kita masih ada latihan untuk persiapan promo lagu baru. Hey, ya! Kibum-ah! Aish, bocah itu.” teriak Donghae yang tidak digubris oleh Kibum. Dengan terpaksa akhirnya Donghae ikut berlari menyusul dongsaengnya itu dan menyeret Kibum untuk mengubah arahnya.

Ya! Hyung! Aku mau membeli hadiah untuk Yoona. Bukankah tadi hyung yang mengingatkanku?” ujar Kibum yang masih meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dan seretan Donghae.

Andwe! Aku hanya bertanya padamu, bukan menyuruhmu untuk membeli hadiahnya saat ini juga. Kita masih ada latihan, Bummie. Kalau mau, setelah selesai latihan baru kita keluar untuk membeli hadiah.” Balas Donghae yang semakin mempererat cengkeramannya tanpa memedulikan Kibum yang masih terseret olehnya.

“Tapi.. tapi.. eh? Kita? KITA?” tanya Kibum setengah berteriak kaget. Kali ini ia sudah pasrah dengan cengkeraman Donghae dan tidak lagi melawan meski harus berjalan terseret mengikuti hyungnya itu.

Ne, kita. Aku, Leeteuk hyung, Heechul hyung, Yesung hyung, Ryeowook, Kyuhyun, dan kau akan membeli hadiah untuknya nanti setelah waktu latihan berakhir.” Jawab Donghae.

What?! Kenapa banyak sekali yang ingin membeli hadiah untuk Yoona? Andwe!” tolak Kibum sambil memperlihatkan raut tidak senang di wajahnya. Kini ia tidak lagi dicengkeram dan diseret oleh Donghae seperti tadi.

Ya! Memangnya kenapa kalau kita juga ingin memberinya hadiah? Memangnya Yoona itu milikmu? Cih, mengakui perasaanmu saja tidak pernah kau lakukan.” Sindir Donghae yang langsung menohok perasaan Kibum.

Aish, bukan tidak pernah hyung, tapi baru akan kulakukan.” Elak Kibum yang tidak terima disindir seperti itu.

“Ah, sudahlah! Kau ini selalu saja begitu. Selalu mengatakan ‘baru akan kulakukan’, tapi kapan hah? Atau kau mau Yoona menjadi milikku? Eoh?” tantang Donghae sambil tetap berjalan.

Andwe! Itu tidak mungkin terjadi. Gadis secantik Yoona tidak akan memilih ikan jelek sepertimu, hyung.” Bantah Kibum yang langsung mendapat amukan dari Donghae.

Ya! Ikan jelek katamu? Ya! Kim Kibum! Awas kau, berani-beraninya menghinaku. Ya! Kim Kibum!” teriak Donghae kesal sambil berlari menyusul Kibum yang mendadak hobi sekali melarikan diri darinya hari ini. Kedua idol yang menjadi dambaan banyak yeoja di Korea Selatan itu saling berlarian sampai keduanya tiba di ruang latihan dan harus dipisahkan oleh member lainnya sebelum latihan dimulai.

-o0o0o-

Just Announcement

SNSD’s YoonA wishes you a ‘Green Christmas’ from Innisfree

Annyeong readers! Sebelumnya author ingin mengucapkan banyak terima kasih atas apresiasi readers semua, baik itu sekedar mampir dan baca postingan fanfic di site ini atau yang berbaik hati meninggalkan jejak berupa komentar. Neomu neomu gomawoyo.

Untuk para commenters (oke, ini istilah karangan author, entah benar atau salah jadi tolong dimaklumi), maaaafff sekali kalau author tidak bisa membalas satu per satu. Hmm bukan sok sibuk sih, tapiii ya memang sibuk *minta dilempar… hadiah maksudnya, hehe* Oh ya, sampai lupa. Naneun Im Aiyuna imnida, author’s pen name. 91 line, jadi readers dan commenters boleh panggil author eonni atau noona kalau memang kelahiran 92 dan setelahnya (Catat!). Please jangan panggil author eomma atau malah ahjumma. Author juga minta maaf kalau (akan) tidak bisa update dalam waktu cepat.

Nah, di sini author mau kasih penjelasan untuk beberapa readers dan commenters yang beberapa kali tanya “kok kayanya pernah baca di ini… di itu… dsb”. Author memang punya 3 site untuk posting fanfic, yaitu blog Im Aiyuna Story, fanfiction.net dengan nama pena Deer Yoona, dan wordpress ini. Fanfic yang diposting sama, tapi tahun lalu author memutuskan untuk berhenti update 2 site (blog & fanfiction.net) dan konsen di site ini. Jadi, update-an terbaru pasti author post di wordpress. Kalaupun ada fanfic yang mirip (atau malah sama persis) tapi site-nya bukan dari 3 sumber di atas, itu bisa jadi kebetulan. Memang ada kemungkinan plagiarisme, tapi author mohon cek dan ricek tanggal postingannya. Author tidak terlalu mempermasalahkan siapapun yang mau update fanfic-fanfic author di site lain, bahkan kalau tidak menyertakan credit karena prinsip author adalah write for fun. Tapi author berharap readers dan commenters tidak men-cap author sebagai plagiator. Semua fanfic yang ada di site ini murni hasil pemikiran author. Untuk gaya dan alur penceritaan memang ada yang terinspirasi dari banyak author fanfic dan penulis fiksi lainnya, tapi tidak bermaksud untuk menjiplak karya mereka.

Semoga penjelasan ini bisa menjawab pertanyaan, kebingungan dan dugaan readers dan commenters semua. Happy reading all! 🙂

Galeri

Mistake (part 7)

Mistake 2

Siang itu salah satu ruang latihan di gedung berlantai empat yang terletak di daerah Apgeojeong tampak ramai oleh sembilan orang yeoja di dalamnya. Alunan musik bergenre pop menghentak ruangan dengan komposisinya yang enerjik dan ceria. Sembilan yeoja yang telah bersimbah keringat mulai menggerakkan badan mengikuti irama musik. Rupanya mereka tengah berlatih untuk mempromosikan single terbaru grup mereka yang berjudul Baby Baby. Meski kelelahan jelas tergambar di paras masing-masing, namun hal itu tidak membuat gerakan mereka menjadi lemas tidak bertenaga.

Break!” seru salah seorang di antara mereka yang mengenakan tanktop kuning dengan sweater putih sebagai luarannya. Perintah ini segera mendapat respon yang memancarkan kelegaan dari kedelapan yeoja lainnya.

“Aah, akhirnya.” Desah salah seorang yeoja berambut ikal panjang yang diikat ekor kuda sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. Ditenggaknya sisa air minum di dalam botol yang dibawanya sampai habis. Begitu botolnya kosong, yeoja itu segera membersihkan sisa air yang menetes dari bibirnya dengan punggung tangan.

“Yoong, ada yang mencarimu di luar.” Ujar salah seorang yeoja berambut pendek dengan potongan bob kepada yeoja yang masih bersandar pada dinding.

Nuguya?” tanya yeoja yang dipanggil Yoong, atau dikenal juga sebagai Yoona, sambil menarik punggungnya dari dinding tempatnya bersandar.

Your prince” jawab yeoja berambut pendek itu sambil mengedipkan sebelah matanya. Jawaban singkat itu rupanya mampu membiaskan rona merah di pipi lawan bicaranya dan membuatnya langsung salah tingkah.

“Ah, Fany eonni, hentikan! Aku geli mendengarnya. Lagipula julukan itu tidak cocok untuknya, haha.” Balas Yoona sambil tertawa canggung. Yeoja yang dipanggilnya Fany eonni, atau dikenal juga sebagai Tiffany, hanya tersenyum penuh arti menanggapi perkataan Yoona.

“Sudah, temui sana. Kasihan kalau dia harus menunggu lama. Sepertinya dia kangen berat padamu.” Ujar Tiffany sambil mendorong bahu Yoona pelan ke arah pintu ruang latihan. “Eonni!”, sergah Yoona begitu mendengar godaan Tiffany padanya. Kedua matanya membulat panik yang justru membuat Tiffany tertawa melihat ekspresinya itu.

“Hahaha, sudahlah. Toh hubungan kalian sudah menjadi rahasia umum di sini.” Ujar Tiffany membela diri. Yoona hanya mampu menggembungkan kedua pipinya karena apa yang dikatakan Tiffany benar adanya. Tanpa disadari keduanya telah berada di balik pintu ruang latihan yang tertutup. Keduanya menghentikan langkah mereka dan mendadak Tiffany menghadapkan tubuh Yoona ke arahnya.

“Yoongie, fighting!” ucap Tiffany sambil mengepalkan jemari tangan kanannya di hadapan Yoona. Sebuah senyuman tulus terulas di wajah cantiknya.

Gomawoyo, eonni.” Balas Yoona dengan seulas senyum yang sama. Tiffany segera berlalu dari hadapan Yoona dan memberikan kesempatan kepada salah satu dongsaengnya itu untuk menikmati waktu pribadinya bersama seseorang.

Yoona yang masih berada di balik pintu belum juga meraih gagang pintu. Yeoja yang semakin dikenal publik lewat kemampuan aktingnya yang mengagumkan itu terlihat mengatur napasnya. Rupanya bertemu dengan seseorang yang kini menunggu di sisi lain pintu itu berhasil membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Setelah berhasil menenangkan diri, diraihnya gagang pintu itu dan ditariknya ke dalam.

Mianhae membuatmu menunggu, Kyuhyun oppa.”

-o0o0o-

“Seohyun-aa, kau dipanggil Soo Man sajangnim ke kantornya sekarang.” Ucap seorang yeoja yang baru saja memasuki dorm dengan setumpuk belanjaan di tangannya. Pakaian penyamaran yang tadi dikenakannya langsung dilepas dan dikaitkan ke tiang penyangga yang berada di dekat pintu masuk.

“Ah, ne Taeyeon eonni. Aku akan ke ruangan beliau sekarang. Gomapseumnida.” Balas seorang yeoja berambut hitam lurus panjang sambil merapikan beberapa buku yang terbuka di hadapannya. Dengan sigap ia menyusun buku-buku tersebut menjadi satu tumpukan dan membawanya masuk ke dalam salah satu ruangan yang menjadi kamarnya setahun ini.

“Mau kutemani, Hyunnie?” tanya seorang yeoja yang baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang masih setengah kering tampak menggantung kaku di kepalanya.

“Tidak perlu Yuri eonni, tidak masalah untukku pergi sendiri.” Jawab Seohyun sopan sambil membetulkan beberapa helai rambutnya yang jatuh menutupi keningnya.

“Lebih baik kau ditemani Yuri, Seohyun-aa. Itu lebih aman bagimu.” Nasihat Taeyeon yang mendadak muncul dari arah dapur. Rupanya yeoja itu telah selesai mengeluarkan dan menata barang belanjaan yang tadi dibawanya.

“Kalau begitu, baiklah eonni. Aku akan pergi bersama Yuri eonni.” Sahut Seohyun patuh.

“Eh? Kalau begitu tolong tunggu sebentar Hyunnie, aku harus mengeringkan rambutku dan berganti pakaian.” Ujar Yuri. Tanpa membuang waktu yeoja itu segera masuk ke dalam salah satu ruangan dan menyalakan pengering rambut. Sementara menunggu Yuri selesai berdandan, Seohyun beranjak ke ruang santai dan mendudukkan dirinya ke atas sofa yang berada di sana. Pikirannya sibuk berkutat dengan berbagai kemungkinan terkait pangggilan CEO-nya.

“Ayo Hyunnie, kita berangkat.” Ajak Yuri yang telah selesai berdandan. Rambutnya yang lurus panjang seperti milik Seohyun dibiarkan tergerai begitu saja dengan salah satu sisinya dibawa ke belakang telinga. Sebuah mantel tipis yang cukup panjang tersampir di lengannya. Tas tangan berwarna merah hati tergenggam di tangan kanan yeoja itu.

“Ah, eonni sudah siap? Mari kita berangkat.” Sambut Seohyun sambil meraih mantel yang sudah disiapkannya. Sebuah tas selempang kecil tersandang di bahunya. Dengan mantel menutupi sebagian tubuh mereka membuat keduanya tidak mudah dikenali. Ditambah kacamata hitam besar yang masing-masing bertengger di hidung mancung keduanya. Setelah siap mereka segera berpamitan pada Taeyeon yang masih terjaga di kamarnya.

“Taeyeon eonni, uri galkeyo. Annyeong.” Pamit Seohyun dan Yuri bersamaan. Tanpa menunggu jawaban dari Taeyeon, keduanya bergegas membuka pintu dan berjalan keluar.

“Taeyeon eonni, Yuri eonni dan Seohyun mau kemana?” tanya seorang yeoja yang terlihat baru bangun tidur dengan tatanan rambut sedikit berantakan. Kedua tangannya terentang ke atas dengan mulut yang terbuka lebar, menandakan yeoja itu masih digantungi rasa kantuk.

Aish, kau mengagetkanku saja Yoona-ya. Mereka pergi ke kantor SM. Tadi aku dihubungi manajer Kibum oppa yang menyampaikan pesan kalau Soo Man sajangnim memanggil Seohyun ke kantornya. Yuri pergi menemaninya ke sana.” Jawab Taeyeon. Yoona mengangkat dagunya sedikit begitu mendengar jawaban itu.

“Oh.” Hanya itu yang terlontar dari mulut Yoona. Yeoja yang masih tampak mengantuk itu mulai merenggangkan badan dan melakukan beberapa pemanasan ringan untuk mengembalikan kesadarannya. Setelah dirasa cukup, ia melangkahkan kaki ke dapur dan membuka lemari pendingin untuk mengambil sekotak susu segar dari dalamnya.

Eonni, apa malam ini kita ada agenda?” tanya Yoona dengan setengah berteriak dari dapur.

Ani. Tapi mulai minggu depan agenda kita akan padat. Jadi kurangi waktu kencanmu dengan Kyuhyun oppa, Yoona-ya.” Jawab Taeyeon, juga dengan setengah berteriak dari dalam kamarnya.

“Uhuk uhuk! Apa maksud uhuk eonni dengan uhuk waktu kencan?” tanya Yoona yang rupanya langsung tersedak begitu mendengar jawaban Taeyeon yang sedikit menggodanya.

“Kau pasti tahu maksudku, Yoona-ya.” Balas Taeyeon yang ditingkahi kikikan geli. Yoona mendengus mendengar hal itu dan kembali melanjutkan acara minum susunya yang tertunda, berusaha mengabaikan kikikan salah satu eonninya yang bermaksud untuk menggodanya. Begitu segelas susu tandas olehnya, ia segera membawa gelas kotornya ke bak cuci dan mencucinya sampai bersih. Gelas yang masih basah itu ia letakkan di tempat yang sudah tersedia. Setelah itu ia mengambil handuk kecil dan mengeringkan tangannya.

Yoona baru saja melangkah ke ruang santai dan hendak menyalakan televisi ketika didengarnya ponselnya memekik keras melantunkan sebuah nada khusus yang dipasangnya untuk satu orang.

“Yoona-ya, evilmu menelepon!” teriak Taeyeon.

Ne, eonni. Aku tahu.” Balas Yoona sambil berlari ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Ia membuka flip ponsel itu dan menjawab panggilan dari seseorang yang setiap hari dirindukannya.

Yeoboseyo? Ne, Kyuhyun oppa. Wae?

“…”

“Ah, arraseo. Malam ini?”

“…”

“Baiklah oppa, aku akan menunggumu. Annyeong.” Klik. Yoona menutup flip ponselnya dan tersenyum simpul. Masih dengan senyuman itu di wajahnya, yeoja itu berlari ke dalam kamar Taeyeon.

Eonni, …” belum sempat ia mengutarakan keinginannya, Taeyeon telah memotong perkataannya.

Arra, arra. Malam ini evil itu mengajakmu kencan lagi kan? Sudahlah, aku mengijinkanmu. Asal jangan pulang terlalu malam dan ingat, minggu depan kau harus membatasi waktu kencanmu karena agenda kita mulai padat. Mengerti?” jelas Taeyeon dengan pandangan lurus ke arah Yoona.

Ne, arraseo eonni. Gomawoyo!” balas Yoona sambil menghambur ke arah Taeyeon dan memeluk yeoja itu.

Aish, sudah sana! Jangan membuatku semakin iri pada kalian. Padahal kesibukan Kyuhyun oppa hampir menyaingi Teuki oppa, tapi entah bagaimana evil itu selalu saja bisa mengajakmu kencan. Apa ini yang namanya euphoria pasangan baru? Ckck.” Decak Taeyeon berpura-pura kesal sambil menyingkirkan tangan Yoona dari tubuhnya. Sementara Yoona hanya tertawa melihat Taeyeon yang mendadak jengkel seperti itu.

“Tenanglah eonni, sesibuk apapun Leeteuk oppa, dia tidak akan melupakanmu. Aku sangat yakin itu.” ujar Yoona yang bermaksud menenangkan Taeyeon.

“Yah, seharusnya begitu. Awas saja kalau dia sampai berani melupakanku.” Ucap Taeyeon dengan ekspresi mengancam yang sangat dibuat-buat. Keduanya lalu tertawa bersama dan menghabiskan siang sampai sore itu bersama member lainnya yang kemudian bergabung setelah kembali dari agenda masing-masing.

-o0o0o-

Oppa, uri ige eodi gasseoyo?” tanya seorang yeoja dalam balutan gaun merah tanpa lengan kepada seorang namja di kursi pengemudi yang tampak berkonsentrasi pada jalanan di depannya.

“Lihat saja nanti.” Jawab namja itu sambil tersenyum penuh arti pada yeoja yang menanyainya. Yeoja itu mendengus keras begitu mendengar jawaban yang tidak memuaskannya itu.

Aish, selalu saja seperti itu.” Yeoja itu melipat kedua tangannya di depan dada dan memalingkan muka. Namja di sampingnya hanya bisa mendesah melihat suasana hati yeoja itu yang sepertinya tidak dalam keadaan baik.

Aigoo, sepertinya aku mengajakmu di waktu yang salah. PMS, huh?” tanya namja itu sambil tetap berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Yeoja yang ditanya hanya melirik sekilas dan menggembungkan kedua pipinya tanpa berniat untuk memberikan jawaban. Karena yeoja itu tidak bersuara dan suasana berubah menjadi tidak nyaman, namja itu mendadak membanting kemudi ke kiri dan menepikan mobilnya.

Oppa! Kenapa kita berhenti di sini?” tanya yeoja itu sambil menatap kebingungan pada namja yang kini menghadapkan wajahnya.

“Yoona-ya, jebal, aku hanya ingin menikmati malam ini bersamamu sebelum aku harus …” pinta namja itu dengan kalimat menggantung. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya tergantung lepas di tangan kanannya dan memperlihatkan kedua mata yang membiaskan sedikit kesedihan.

“Sebelum aku harus apa, oppa? Kau harus apa?” tanya yeoja itu masih belum mengerti maksud ucapan namja itu. Tubuhnya yang semula menampilkan penolakan kini maju beberapa senti ke arah namja yang telah enam bulan ini resmi menjadi kekasihnya.

“Kita bicarakan nanti ya. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan yang tertunda ini.” Balas namja itu sambil mengacak-acak lembut puncak kepala Yoona. Tanpa berniat untuk menginterupsi lebih jauh, Yoona akhirnya menurut dan tersenyum kecil.

Arraseo, oppa. Mianhae kalau tingkahku tadi membuatmu kesal.” Ucap Yoona. Tangan mungilnya bergerak perlahan ke arah namja itu yang tak lain adalah Kyuhyun dan meremas lembut tangan kiri Kyuhyun yang berada dekat dengan posisinya.

“Ah, ani. Harusnya aku mengerti kalau seorang yeoja sedang PMS maka dia bisa saja berubah menjadi sesosok monster yang mengerikan, hii.” Balas Kyuhyun setengah bercanda yang langsung mendapat amukan dari Yoona.

Ya! Oppa! Kau cari mati, huh?” pekik Yoona keras sambil mendaratkan pukulannya di bahu Kyuhyun.

Ya, ya, appo! Hentikan Yoong! Kau bisa membuat kita berdua mati kalau begini.” teriak Kyuhyun tidak kalah kerasnya dengan salah satu tangan berusaha menghindar dari amukan kekasihnya itu.

“Salah siapa? Wee” balas Yoona cuek sambil menjulurkan lidahnya keluar. Tangannya kini berhenti memukuli Kyuhyun dan kembali tertangkup manis di pangkuannya. Kyuhyun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat perubahan dramatis emosi yeoja yang sangat dicintainya itu.

Aish, lebih cepat kita sampai lebih baik. Sepertinya aura di dalam mobil sudah tidak baik dan membuatmu cepat sekali berubah menjadi monster yang … aw! Appo!” Kyuhyun langsung berteriak kesakitan saat Yoona mendadak mendaratkan cubitan menyakitkan di lengan kirinya.

“Berhenti mengataiku monster atau kencan kita kali ini tidak akan tenang.” Ancam Yoona dengan sebelah mata yang disipitkan. Kyuhyun urung mengeluarkan omelannya begitu melihat ekspresi mengancam yang tidak main-main di wajah Yoona.

“A, ah, arraseo chagi. Aku tidak akan mengataimu lagi. Yaksoke.” Ujar Kyuhyun sedikit terbata. Meski dia terkenal sebagai seorang idola yang kerap melontarkan kritikan tajam, namun ternyata dirinya mampu dibuat tidak berkutik di hadapan seorang yeoja cantik seperti Yoona.

“Baiklah. Apa tempat itu masih jauh, oppa?” tanya Yoona mengalihkan topik pembicaraan. Wajahnya melihat ke arah Kyuhyun dengan ekspresi polos seolah tak pernah melontarkan ancaman pada namja itu.

Ani, sebentar lagi kita sampai.” Jawab Kyuhyun singkat. Yoona kembali menatap lurus ke jalanan di depannya dan membiarkan keheningan melingkupi keduanya. Lima menit kemudian Kyuhyun mengarahkan kemudinya ke kiri dan memasuki sebuah area kosong yang cukup luas dengan penerangan seadanya. Setelah memarkir dan mematikan mesin mobilnya, ia membuka pintu dan berjalan keluar.

“Kita sudah sampai, chagi.” Ucap Kyuhyun sambil membukakan pintu mobil untuk Yoona dan membantu yeoja itu keluar dari dalam. Yoona menerima uluran tangan Kyuhyun dan mengikuti kemana namja itu membawanya pergi. Daerah tempatnya berada kini masih terasa asing baginya, namun ia tidak terlalu merisaukan hal tersebut selama Kyuhyun ada bersamanya.

Keduanya terus berjalan menembus ilalang yang tidak begitu tinggi. Angin malam yang bertiup cukup kencang membuat Yoona bergidik kedinginan. Terlebih dengan gaun yang dikenakannya sekarang. Tanpa sadar Yoona melepaskan tangannya dari genggaman Kyuhyun dan mulai menggosok-gosok kedua tangannya demi mendapat kehangatan.

“Kau kedinginan? Ini, pakai mantelku.” Ujar Kyuhyun sambil memakaikan mantel miliknya ke tubuh Yoona. Yeoja itu mendongak dan menatap penuh terima kasih.

Gomawoyo.” Bisiknya. Kyuhyun tersenyum dan kembali meraih tangan Yoona dalam genggamannya. Keduanya masih terus berjalan sampai Kyuhyun akhirnya memutuskan berhenti dan menatap lurus ke depan.

“Wooaa, neomu yeoppota!” teriak Yoona penuh kekaguman begitu melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Meski tidak seindah pemandangan yang dapat dilihatnya melalui ketinggian Namsan Tower, namun puluhan kelap-kelip cahaya yang berasal dari kunang-kunang di sekitar mereka mampu menyedot perhatian Yoona.

“Yoong, aku mengajakmu ke sini untuk membicarakan sesuatu.” Ucap Kyuhyun pelan. Kepalanya sedikit tertunduk saat ia mengucapkan hal tersebut.

“Sstt, tidak bisakah aku menikmati pemandangan ini dulu?” sergah Yoona dalam bisikan. Wajahnya masih belum mampu berpaling dari cahaya yang dibuat oleh serangga malam itu.

“Yoong, ini penting sekali.” Desak Kyuhyun. Tangannya menarik pergelangan Yoona dan sedikit memaksa yeoja itu untuk menatapnya.

Oppa! Aku kan masih ingin melihat kunang-kunang itu. Nanti saja bicaranya.” Tolak Yoona. Baru saja ia hendak mengagumi biasan cahaya cantik yang berasal dari ekor serangga malam itu, mendadak didengarnya sebuah kalimat yang sangat ditakutinya selama ini.

“Yoong, kita harus mengakhiri hubungan ini.”

-o0o0o-

When The Last Teardrop Falls (part 8)

for fanfic 2

If there was just one wish I could be granted here tonight

Seorang namja menekan kombinasi nomor pada alat pengunci otomatis di depan salah satu pintu apartemen yang berada di lantai 12. Ia hanya perlu menunggu beberapa detik sebelum akhirnya pintu apartemen itu terbuka dengan bunyi klik pelan. Namja itu mendorong pintu ke depan dan mendapati keriuhan yang terjadi di dalamnya.

“Hyung! Kembalikan PSP-ku! Hyung!” teriak seorang namja berperawakan kurus yang terlihat mengejar namja lainnya yang mengacungkan benda kesayangannya, PSP. Mereka berkejaran di ruangan yang diperuntukkan sebagai ruang tamu, mengitari satu set sofa empuk dengan meja kaca di tengahnya. Mereka tampak tidak peduli kalau aktivitas itu bisa berakibat hancurnya beberapa hiasan di sana.

“Shireo! Kembalikan dulu video-video yadongku yang kau sembunyikan itu!” balas seorang namja yang dikejar-kejar itu.

“Demi Tuhan, bukan aku yang menyembunyikannya hyung! Kali ini kau harus percaya padaku! Sungguh bukan aku yang mengambil dan menyembunyikannya!” teriak namja yang mengejar, berusaha menjelaskan. Namun, penjelasan itu ditolak mentah-mentah oleh namja yang dikejarnya.

“Aku tidak percaya dengan sumpahmu, Kyu! Reputasimu sebagai evil maknae tidak akan membuatku 100% percaya padamu.” Balas namja yang dikejar. Sekarang mereka tidak lagi berlarian, melainkan saling berhadapan seperti ingin menyerang satu sama lain. Mendadak muncul namja lainnya dari dalam kamar sambil menggeliat dan mengucek-ucek kedua matanya.

“Hei, hei! Apa sih yang kalian ributkan? Mengganggu tidur cantikku saja.” Ujar namja yang baru keluar dari kamar itu. Kedua namja yang berkejaran itu menatapnya garang.

“Tidak usah ikut campur, Wonnie! Ini urusanku dengan evil Kyu itu.” ucap namja yang masih memegang PSP di tangan kanannya itu setengah membentak. Namja yang dipanggil Won mendelik kaget mendengar bentakan salah satu hyungnya itu.

“Mwo? Aish, aku kan hanya bertanya. Kenapa kau malah membentakku seperti itu, hyung?” balas Siwon sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Sebelum dia mendapat semprotan yang lebih dahsyat dari hyungnya, namja itu memilih untuk segera melipir pergi ke dapur. Sementara itu, namja yang baru saja masuk hanya bisa mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diri.

“Ya! Apa-apaan kalian ini? Ribut seperti anak kecil, ckck.” Cibir seseorang yang langsung mengalihkan perhatian kedua namja di hadapannya. Salah satu namja itu membulatkan matanya dan berteriak senang.

“Hae-ya! Kapan kau datang? Aku senang sekali akhirnya kau pulang. Kau tahu, sejak kau sibuk dengan dramamu evil Kyu ini selalu saja menjahiliku. Sekarang dia malah menyembunyikan video-video yadongku yang berharga. Bantu aku, Hae.” Bujuk namja yang memegang PSP sambil bergelayut manja pada namja yang dipanggilnya Hae itu.

“Aish, apa yang kau lakukan Hyukkie? Menjijikkan sekali. Lepaskan! Aku sedang lelah.” Pinta namja yang digelayuti sambil membebaskan diri dari teman terdekatnya itu. Namja yang dipanggil Hyukkie terlongo melihat penolakan Hae. Tanpa pikir panjang ia langsung melempar PSP yang ada di tangannya ke sembarang arah dan mengejar Hae.

“Ya! Hyung! Aah, untung saja aku berhasil menangkapnya. Awas kau Hyukjae hyung, berani-beraninya melempar PSP tersayangku ini. Lihat saja nanti.” Ujar namja yang akhirnya mendapatkan kembali PSP-nya. Ia mengelus-elus seluruh bagian PSP itu dan memeriksa kalau-kalau ada lecet yang akan membuatnya gusar setengah mati. Untunglah benda itu masih utuh tak bercela. Keributan itupun usai sudah dan segera disusul oleh keributan lainnya di dapur.

“Hae-ya, kau kenapa? Tidak biasanya kau menolakku seperti itu. Apa kau ada masalah?” tanya Hyukkie atau yang juga dikenal sebagai Lee Hyukjae dengan nama panggung Eunhyuk. Sementara yang ditanya hanya menggeleng frustasi.

“Aniyo, aku tidak apa-apa Hyuk. Aku hanya lelah, tadi kan aku sudah bilang.” Jawab seorang namja yang memang dikenal paling dekat dengan Eunhyuk, Donghae. Tanpa memberikan salam kepada member lainnya seperti biasa, Donghae langsung masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Kedua matanya langsung tertutup begitu kepalanya menyentuh bantal. Eunhyuk yang melihat itu semua semakin bertambah bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan ikan itu? gumamnya dalam hati. Eunhyuk urung membangunkan Donghae karena ia tahu kalau hal itu justru akan memperparah keadaan. Akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Donghae beristirahat di kamar.

“Hae, kau tahu aku selalu ada untukmu. Panggil saja aku kalau ada apa-apa.” Ujar Eunhyuk sebelum meninggalkan kamar dan menutup pintunya dari luar dengan menyisakan celah kecil untuk berjaga-jaga kalau Donghae memanggilnya. Begitu mendengar pintu tertutup dan keadaan di sekitarnya kembali sunyi, Donghae membuka matanya dan menghela napas berat.

“Yoona-ya, maafkan aku.” desahnya sebelum jatuh dalam ketidaksadaran. Tanpa ia sadari seseorang tengah menatapnya tajam dari balik celah pintu yang memang tidak tertutup rapat. Rahang orang itu mengeras dan tangannya terkepal begitu mendengar apa yang Donghae katakan.

“Apa yang telah kaulakukan pada Yoonaku, hyung?” desis orang itu penuh amarah.

It would be to have you right back by my side

“Leeteuk hyung, sepertinya ada yang berbeda dari Donghae hyung.” Bisik Ryeowook yang masih sibuk dengan peralatan memasaknya di dapur. Leeteuk yang kebetulan datang untuk melihat dan mencicipi masakan Ryeowook mendongak ke arah salah satu dongsaengnya yang mendapat julukan eternal maknae itu.

“Hmm, begitu menurutmu?” tanya Leeteuk sambil menyuapkan sedikit hasil masakan Ryeowook ke dalam mulutnya. “Hmm, enak sekali. Tapi sepertinya kurang garam.” Ujar Leeteuk yang malah mengomentari masakan Ryeowook. Jelas saja namja itu kesal karena dipikirnya Leeteuk tidak mendengarkan perkataannya.

“Hyung, aku sedang membicarakan Donghae hyung, bukan masakanku.” Ujarnya jengkel. “Dan kalau hyung ingin lebih banyak garam, di wadah kecil itu masih banyak. Ambil saja sendiri”, lanjutnya acuh. Leeteuk kontan mendelik tajam pada Ryeowook yang biasanya selalu sopan pada siapa saja.

“Aish, baru segitu saja kau sudah ngambek. Hei, sejak kapan kau menjadi tidak sopan seperti ini? Jangan-jangan Kyu berhasil menularkan virus evilnya padamu?” Tebak Leeteuk yang langsung mendapat teriakan dari belakang punggungnya.

“Ya! Kenapa jadi aku yang disalahkan hyung?” tanya sang tersangka yang tidak terima dengan ucapan hyungnya itu, Kyuhyun. Leeteuk menoleh dan tersenyum minta maaf pada maknaenya.

“Mian Kyu, habis tidak biasanya Wookie bersikap acuh seperti ini. Aku hanya menduga dia tertular virus evilmu. Aku sama sekali tidak bermaksud menyalahkanmu kok.” Jawab namja yang telah memasuki usia 31 tahun itu tanpa rasa bersalah. Dengan santainya namja itu mendudukkan diri di sofa, bersebelahan dengan Kyuhyun yang kembali asyik dengan PSP-nya.

“Aish, anak ini. Baru sedetik yang lalu marah padaku, tapi sekarang sudah kembali masuk ke dunianya sendiri.” Ujar Leeteuk menggeleng pelan. Ia sungguh tidak mengerti apa yang menarik dari benda kecil berbentuk oval di tangan Kyuhyun itu.

“Hyung, ada yang tidak beres dengan ikanku!” teriak Eunhyuk yang mendadak muncul di hadapan Leeteuk dengan muka khawatir. Leeteuk mengernyit bingung.

“Ikan? Memangnya sejak kapan kau memelihara ikan?” tanya Leeteuk polos.

“Aish, maksudku Donghae. Apa kau lupa kalau dia punya nama panggilan ikan? Astaga, aku tidak menyangka hyung akan pikun secepat ini.” Jawab Eunhyuk setengah mengejek. Leeteuk hanya bisa mendelik sebal pada dancing machine grupnya itu. Kyuhyun dan Ryeowook malah menambah kekesalannya dengan tawa mereka yang menurutnya sumbang. Sementara Siwon dan Sungmin hanya terkikik pelan.

“Baiklah, kalian sudah puas menertawaiku? Huh?” tanya Leeteuk sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Serentak Siwon, Sungmin, Kyuhyun dan Ryeowook menutup mulut dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Begitu suasana mereda, Leeteuk kembali memfokuskan diri pada Eunhyuk.

“Memang ada apa dengan Donghae? Tadi Ryeowook juga mengatakan hal yang mirip denganmu.” Serentak semua kepala yang ada di ruangan itu menatap Eunhyuk dan menunggu namja itu merespon pertanyaan Leeteuk.

“Entahlah, tapi sikapnya tidak seperti biasa. Sore ini saja dia langsung masuk ke kamar dan tidur. Aku tidak percaya kalau dia hanya kelelahan.” Jelas Eunhyuk yang mendapat anggukan setuju dari Siwon dan Ryeowook. Kedua orang itu memang telah melihat keanehan Donghae hari ini.

“Benar hyung, aku perhatikan tadi Donghae hyung hanya diam saja waktu melihat Eunhyuk hyung dan Kyuhyun berkejaran di ruang tamu. Biasanya dia membantu Eunhyuk hyung jika sudah berurusan dengan Kyu.” Tambah Siwon sambil mengingat-ingat kejadian setengah jam yang lalu. Eunhyuk mengangguk keras mendengarnya. Leeteuk mengalihkan pandangannya pada Kyuhyun.

“Benar begitu Kyu?” tanyanya. Kyuhyun mendongak sesaat dan kembali meneruskan acara bermain bersama PSP-nya sambil menjawab acuh,”Molla. Tadi aku sibuk mencari cara untuk merebut PSP-ku kembali.”

Leeteuk dan Eunhyuk mendelik kesal pada maknae mereka. Namun mereka tahu kalau Kyuhyun sudah menempel dengan PSP-nya, maka ia tidak dapat diganggu gugat atau ditarik ke dunia nyata sebelum PSP itu berpindah tempat dari tangannya.

“Hyung, apa ini ada hubungannya dengan Yoona?” tanya Siwon yang mencoba menebak. Serentak fokus pandangan beralih kepadanya, terkecuali Kyuhyun yang tetap setia dengan PSP-nya. Eunhyuk memiringkan kepalanya, tampak memikirkan dugaan Siwon.

“Hmm, mungkin Wonnie ada benarnya. Apa hyung ingat saat kejutan penyambutan Yoona di rumahnya, Donghae menolak untuk ikut dan beralasan ingin berkunjung ke rumah saudaranya di Busan?” ujar Eunhyuk yang ditanggapi anggukan oleh lainnya.

“Ne, aku ingat itu. Dan aku dengar dari uri Taeyeon kalau belakangan ini Yoona dekat dengan Jonghyun.” Gumam Leeteuk. Eunhyuk, Siwon dan Ryeowook mendengus saat Leeteuk mengatakan “uri Taeyeon” meskipun mereka tahu kalau leader mereka dengan leader SNSD itu memang ada hubungan khusus.

“SHInee Kim Jonghyun?” tanya Sungmin hati-hati. Matanya melirik ke arah seseorang yang sedari tadi hanya diam. Namun namja penggemar warna merah muda itu tahu kalau orang yang diliriknya kini mendengarkan dengan seksama begitu nama Yoona disebut.

“Ani. CNBlue Lee Jonghyun, adik Donghae.” Jawab Leeteuk tanpa memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Sungmin. Ia bahkan tidak merasakan ketegangan yang berasal dari seseorang yang duduk di sebelahnya.

“Yoona dekat dengan Jonghyun? Apa mereka… saling menyukai?” kali ini Ryeowook yang bertanya sambil menata beberapa piring di meja makan yang berisi hasil masakannya.

“Tidak mungkin! Aku tahu pasti kalau Yoona hanya menyukai Donghae.” Bantah Eunhyuk cepat. Sungmin menoleh cepat ke seseorang yang kini terdiam. Tangannya tidak lagi bergerak lincah di atas PSP-nya. Orang itu menggigit bibir bawahnya dan berusaha keras untuk mengendalikan tubuhnya.

“Kyu, kau kenapa? Mendadak tegang seperti ini.” Tanya Leeteuk yang menyadari perubahan Kyuhyun. Namja yang ditanya hanya menggeleng acuh dan beranjak dari sofa.

“Aniyo. Aku mau ke kamar mandi sebentar.” Ujarnya dan berjalan ke kamar mandi. Sebelum mencapai pintu kamar mandi, ia mendekati Sungmin dan menyerahkan PSP-nya, “Aku titip ini hyung”. Sungmin menerima PSP itu dengan raut muka khawatir. Siwon memperhatikan itu semua dan merasakan adanya keanehan.

“Sungmin hyung, kenapa kau menatap Kyu seperti itu? Kau dan Kyu tidak …?” tanya Siwon menggantung. Sungmin yang mengetahui arah pembicaraan Siwon mendelik tajam pada namja itu dan membantah keras, “Tentu saja tidak! Hapus pikiran kotormu itu Won-aa”.

“Kalian kenapa?” tanya Ryeowook yang terlihat kebingungan dengan sikap Siwon dan Sungmin. Leeteuk dan Eunhyuk juga menoleh dan menatap mereka.

“A… Ani. Lalu bagaimana ini? Apa perlu kita selidiki hubungan Yoona dan Jonghyun?” tanya Sungmin yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Eunhyuk mengerutkan kening mendengar pertanyaan Sungmin.

“Bagaimana menurutmu hyung? Apa harus kita lakukan itu?” tanya Eunhyuk meminta pendapat Leeteuk. Bagaimanapun juga Leeteuk adalah leader mereka dan pendapatnya sangat diperlukan jika terjadi masalah menyangkut mereka.

“Sepertinya kita serahkan masalah itu pada member SNSD saja. Aku yakin mereka sedang menyelidiki hal ini. Yang perlu kita lakukan saat ini adalah menanyai Donghae dan mencari tahu apa yang membuatnya seperti ini. Arraseo?” jelas Leeteuk.

“Ne, hyung.” Jawab semuanya. Pembicaraan mereka baru saja selesai ketika terdengar decitan pintu dari kamar Donghae. Semuanya menoleh dan mendapati Donghae yang tampak berantakan. Kausnya tampak kusut, begitu juga tatanan rambutnya yang sudah tidak lagi rapi. Donghae menguap dan akhirnya menyadari kalau beberapa orang tengah memperhatikannya.

“Ada apa? Apa kalian baru pertama kali melihat orang yang baru bangun tidur?” tanya Donghae dengan nada sinis. Tanpa menghiraukan tatapan tidak percaya dari mereka, Donghae melangkah ke kamar mandi dan hampir saja bertubrukan dengan Kyuhyun yang baru saja keluar dari dalam.

“Aw, ya! Hampir saja.” Jerit Donghae yang mundur ke belakang untuk menghindari tabrakan dengan Kyuhyun. Kyuhyun yang biasanya akan membalas teriakan Donghae kini terdiam dan malah melayangkan tatapan menusuk ke salah satu hyung yang dipercayainya itu. Donghae mengerut keheranan melihat sikap Kyuhyun padanya. Baru saja ia melangkah masuk ke kamar mandi dan hendak menutup pintunya, sebuah tangan menahan pintu itu dari luar.

“Apa yang telah kau lakukan pada Yoona, hyung? Apa yang telah kau lakukan pada Yoonaku?” tanyanya pelan namun tajam dengan penekanan pada kata “Yoonaku”. Donghae langsung mematung mendengarnya.

Love is… Who? (Chapter 1)

black-and-white-love-quote-sad-text-Favim.com-44772

Sore itu cuaca cukup cerah. Arak-arakan awan yang tidak begitu banyak sesekali memayungi daratan dari pancaran sinar matahari sore yang masih terasa menyengat. Semilir angin menerpa lembut dedaunan, menimbulkan goyangan pelan dari gerumbul hijau penghasil oksigen itu.

Nyaman sekali.

Seorang wanita memejamkan kedua matanya. Buku tebal yang beberapa puluh menit lalu ditekurinya tampak tertutup. Rupanya wanita itu memilih untuk menikmati suasana alam yang menenangkan. Saking hanyutnya, ia sampai tidak menyadari langkah ringan seseorang yang berjalan mendekatinya.

Chagi-yaa..”

Sepasang kelopak milik wanita itu terbuka perlahan seiring dengan gerak kepalanya yang menoleh ke arah sumber suara.

“Ah, wasseo?”

Wanita itu, Im Yoona, segera menarik diri dari pergumulan batinnya. Kali ini suasana alam yang menjadi favoritnya terlupakan dan tergantikan oleh pemandangan baru di hadapannya. Sesosok pria tampan yang dua tahun ini menyandang status sebagai kekasihnya. Wu Yifan. Kebanyakan orang yang mengenal lelaki itu akan memanggilnya Kris, namun tidak untuk Yoona. Wanita itu memilih untuk memanggil lelakinya dengan nama aslinya, Yifan atau cukup Fanfan saat ia sedang ingin bermanja-manja.

Ne. Mian sudah membuatmu menunggu. Tadi Sooyeon ribut sekali, minta ditemani mencari peralatan melukis di suatu toko yang namanya saja sudah tidak aku ingat. Menyebalkan.”

Yoona menarik sudut-sudut bibirnya. Miris. Kabar pertunangan kekasihnya dengan wanita lain yang bernama Jung Sooyeon itu benar adanya. Namun secepat kabar itu beredar, secepat itu pula Yifan menemuinya dan mengajaknya bicara.

Flashback

“Yoona-ya, dengarkan aku! Kumohon. Aku bisa menjelaskannya padamu. Sungguh.”

Yifan segera menahan pergelangan tangan wanitanya begitu mereka bertemu di suatu tempat. Studio rekaman tua yang sudah lama tidak digunakan. Studio itu terletak di pertengahan koridor yang menyambungkan fakultas Yoona dengan Yifan, Art of Writing’s Departement dan Art of Music’s Departement.

“Aku mendengarkanmu, Yifan-ssi.”

Perasaan laki-laki keturunan Kanada itu langsung terluka saat mendengar Yoona memanggilnya secara formal. Hal yang paling dibencinya karena membuatnya merasa berjarak.

“Pertunanganku dengan Sooyeon hanyalah untuk kepentingan bisnis. Appa yang menyuruhku untuk bertunangan dengan wanita bermarga Jung itu. Appaku dan Tuan Jung berniat menyatukan perusahaan mereka. Agar lebih adil, maka Appa dan Tuan Jung memintaku untuk menikahi Sooyeon agar kelak keberlangsungan perusahaan mereka tetap berada di tangan keturunannya. Jelas saja permintaan itu kutolak mentah-mentah. Namun Appa sangat marah atas penolakanku. Appa bahkan berhasil membujuk Eomma untuk ikut memaksaku menikahi Sooyeon. Awalnya aku ingin kabur saja. Aku tidak peduli jika Appa dan Eomma semakin marah padaku. Tetapi aku tidak bisa tidak peduli pada Wu Yifei, adik perempuanku satu-satunya. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Karena itu aku mencari cara untuk menunda selama mungkin rencana pernikahan itu. Aku menemui Sooyeon dan mengajaknya bekerja sama. Aku tidak peduli dengan perasaannya. Yang pasti wanita itu menyetujui ajakan kerja samaku. Untuk jalan amannya, aku dan Sooyeon memilih bertunangan. Bagiku hubungan semacam ini lebih mudah diakhiri ketimbang pernikahan. Pertunangan itu hanya untuk meredam amarah orangtuaku. Setelah itu aku akan memikirkan cara lainnya agar secepat mungkin terlepas dari ikatan yang tidak pernah kuharapkan. Untuk bersamamu. Aku hanya menginginkan dirimu, Na-ya.”

Flashback end

Aku hanya menginginkan dirimu, Na-ya.

Kalimat itulah yang selalu terngiang di benak Yoona. Kalimat yang menguatkan dan membuatnya bertahan menjadi kekasih Yifan. Karena lelaki itu hanya menginginkan dirinya. Dirinya. Bukan Jung Sooyeon ataupun wanita lain.

“Hmm..”

Hanya satu kata itu yang berhasil Yoona ucapkan. Sesungguhnya ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Saat lelaki yang sangat kau cintai membicarakan kegiatannya bersama wanita lain, terlebih wanita itu memiliki status hubungan yang lebih tinggi –bertunangan, respon apa yang akan kau tunjukkan? Kalimat apa yang mampu kau lontarkan?

“Sudahlah. Hei, hari ini kita akan berkencan kemana? Hmm coba kutebak.. toko buku? Perpustakaan? Taman bacaan?”

Yifan mengerutkan keningnya, berpura-pura memikirkan sesuatu yang tampak sulit. Yoona menarik sudut-sudut bibirnya lebih lebar. Ya, ia paham bahwa laki-laki itu hanya berniat menggodanya yang memang penggila buku. Hei, jangan salahkan dirinya! Terlahir sebagai anak tunggal dari sepasang penulis buku ternama menjadikanmu berteman sangat akrab dengan benda berbentuk persegi panjang itu bukan?

“Bagaimana kalau kita ke amusement park saja? Sudah lama aku tidak ke sana.”

Yifan membelalakkan matanya begitu mendengar usulan Yoona.

“Whoaa, kau tidak salah makan kan? Atau kepalamu baru saja terbentur? Atau Sooyoung dan Yuri akhirnya berhasil mencuci otakmu, hmm?”

Kali ini Yoona yang mengerutkan kening, berpura-pura mencari jawaban untuk pertanyaan lelakinya.

“Hmm setelah kupikir-pikir, sepertinya amusement park tidak semenyenangkan bayanganku. Aku berubah pikiran. Lebih baik kita ke tempat penitipan anak saja. Bagaimana?”

Laki-laki di sampingnya langsung memundurkan badan, menjauh dari wanitanya.

“Wowowow, tunggu sebentar Nona Im! Ke tempat penitipan anak? Oh yang benar saja. Mana ada pasangan kekasih yang berkencan di tempat sebising, sekotor, semenjijikkan, se…”

Chu~

“Kau harus belajar membiasakan diri berada di tengah anak-anak, Yifan-ah. Kau lupa kalau setelah menikah aku ingin sekali punya banyak anak? Banyaaakk anak.”

Yifan mengerjap-erjapkan kelopak matanya. Masih terkejut akibat ulah wanitanya yang mendadak memberi kecupan singkat di salah satu bagian sensitif dari tubuhnya.
“Kau telah membangunkan singa yang kelaparan, nona manis.”

Dalam sekejap kedua pasangan itu saling mengecup lembut dan mesra. Menampilkan pemandangan yang tidak sengaja tertangkap oleh seseorang yang harus mampu menahan diri dan perasaannya.

Really… why?

 -o0o0o-

“Yoona-ya!”

Yoona sontak menoleh ke arah seseorang yang baru saja menyerukan namanya. Kegiatannya mendata sekaligus merapikan buku-buku cerita anak-anak di salah satu taman bacaan yang terletak di dalam lingkungan universitasnya terhenti sejenak.

“Ah, Luhan-ah! Ppali! Kau terlambat 10 menit.”

Laki-laki yang dipanggil tampak mempercepat larinya. Dalam hitungan detik laki-laki itu –Luhan- sudah berada di hadapan Yoona. Dadanya naik-turun, napasnya pun masih terdengar menderu.

Mian.. mianhae, tadi aku harus membantu Sehun mengurus beberapa hal.”

Yoona tersenyum. Wanita yang sangat menyenangi anak-anak itu mengambil botol minuman dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Luhan.

“Ini, minumlah.”

Luhan menyambar botol minum itu dan langsung menenggaknya. Isi dalam botol yang tidak ada setengahnya itupun tandas seketika.

Gomawo.”

Yoona menerima kembali botol minumnya. Ia kembali memasukkan botol minum transparan itu ke dalam tas selempang miliknya.

Ne. Kau istirahatlah dulu. Anak-anak baru akan datang setengah jam lagi.”

Luhan mengangguk. Laki-laki itu lalu mendudukkan diri di samping Yoona dan menjulurkan kedua kakinya.

“Haah, capek sekali. Bocah itu benar-benar merepotkan.”

Yoona kembali menoleh dan menatap Luhan. Kedua tangannya tetap sibuk menata tumpukan buku-buku yang masih tersebar di karpet tipis abu-abu tempat keduanya duduk. Laki-laki yang ditatapnya tampak mendongakkan kepala sambil menutup mata.

Nugu?”

Luhan kembali membuka mata dan balas menatap Yoona.

“Oh Sehun. Memang siapa lagi?”

Yoona hanya mengangkat bahu.

“Entahlah. Kau sering menyebut teman-temanmu ‘bocah’ sampai terkadang aku sempat berpikir jangan-jangan kau bukanlah kelahiran tahun 90. Kau sok tua sekali dengan sering mengatai temanmu sebagai bocah. Apa kau kelahiran 80, hmm?”

Luhan langsung melotot begitu mendengar ucapan Yoona, wanita berparas cantik yang dikenalnya setahun lalu berkat keikutsertaannya dalam keanggotaan taman bacaan resmi milik universitas.

Ya! Ya! Ya! Kau mulai lagi, huh? Enak saja meragukanku. Justru seharusnya wajahku yang baby face ini membuatmu berpikir sebaliknya, ‘jangan-jangan Xi Luhan mahasiswa tampan dan baik hati itu kelahiran 93 atau 94?’…”

Yoona memutar bola matanya, malas.

“Ckck, narsis sekali dirimu Luhan-ah. Kalau memang kau mengakui dirimu tampan, kenapa aku sama sekali tidak tertarik padamu? Hahaha.”

Strike.

Luhan terdiam sesaat. Yoona sama sekali tidak menyadari bahwa candaannya justru menghentak perasaan seseorang.

“Karena kau aneh. Hahaha.”

Yoona mendelik sebal mendengar ucapan Luhan yang ganti menggodanya. Namun sejurus kemudian tawanya ikut pecah.

Geuman. Kalau kita terus bercanda seperti ini perkerjaan kita tidak akan selesai. Cepat bantu aku meletakkan buku-buku ini di rak belakang sebelum anak-anak manis itu datang menyerbu.”

Luhan segera berdiri dan melakukan gerakan hormat layaknya tentara.

“Siap bos!”

Yoona kembali tertawa. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Luhan yang terkadang seperti anak kecil. Keduanya lalu sibuk merapikan beberapa buku yang tersisa. Setelah itu Luhan melipat karpet yang tadi didudukinya bersama Yoona dan meletakkannya di sudut ruangan. Saat karpet itu sudah terlipat, Yoona datang membawa sapu dan membersihkan debu-debu yang berada di bawah karpet. Ketika dirasakan sudah cukup bersih, Luhan kembali mengambil karpet dan menggelarnya di tempat yang sama.

Kegiatan seperti itu rutin dilakukan keduanya di hari Kamis dan Jumat siang, sesuai dengan jadwal piket yang didapat. Setiap harinya di jam makan siang, taman bacaan itu akan ramai oleh sekumpulan anak SD yang tinggal di sekitar lingkungan universitas. Mereka memang diperbolehkan pihak universitas untuk memanfaatkan fasilitas taman bacaan yang sudah berdiri selama 10 tahun tersebut. Sebenarnya masyarakat umum lainnya juga diijinkan menggunakan fasilitas yang sama, namun khusus di jam makan siang memang biasanya yang datang dan ikut membaca di tempat tersebut adalah anak-anak tingkat SD.

Annyeonghasimnikka Yoona eonnie/noona, Luhan oppa/hyung.”

Serombongan anak-anak serentak menyapa Yoona dan Luhan yang baru saja selesai merapikan taman bacaan tersebut. Keduanya langsung menoleh ke arah pintu dan tersenyum lebar.

“Ah, annyeong. Ayo masuk!”

Yoona segera berdiri dan menyambut anak-anak tersebut.

“Silahkan membaca buku-buku yang kalian suka.”

Luhan ikut menyambut anak-anak itu.

Nee.”

Anak-anak itu menjawab hampir berbarengan. Setelah dipersilahkan, anak-anak yang berjumlah 8 orang itu lalu masuk dan berpencar, mencari buku yang ingin dibaca masing-masing.

“Yoona eonnie…”

Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil berkuncir dua datang menghampiri Yoona.

Ne?”

Yoona langsung menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan anak perempuan itu.

“Maukah eonnie membacakan cerita ini untukku?”

Anak perempuan itu mengangsurkan sebuah buku cerita yang berjudul Snow White & Seven Dwarfs, Putih Salju dan Tujuh Kurcaci.

“Ah, tentu saja eonnie mau Youngji-ya! Apakah yang lain ingin ikut mendengarkan eonnie membacakan buku ini?”

Yoona mengambil buku cerita tersebut dari anak perempuan yang dipanggilnya Youngji dan menyuarakan pertanyaannya pada anak-anak lainnya. Sontak anak-anak lain yang tampak sibuk dengan buku masing-masing langsung mengangguk dan berteriak…

“Mauuu!”

Dalam sekejap Yoona sudah dikelilingi oleh anak-anak yang kisaran usianya tidak terpaut jauh satu sama lain. Yoona mulai membacakan isi dari buku cerita yang awalnya diminta oleh Youngji. Anak-anak tampak serius memperhatikan setiap perkataan dan gerak tubuh Yoona. Gaya penceritaan Yoona sangat menarik. Karena itulah anak-anak yang mengenalnya tidak pernah bosan meminta wanita itu membacakan cerita untuk mereka. Permintaan Youngji bukanlah permintaan pertama bagi Yoona. Sementara Yoona asik membacakan cerita untuk delapan anak yang tidak sedetikpun teralihkan perhatiannya, tampak Luhan yang tersenyum melihat bagaimana Yoona dapat dengan mudah dekat dan akrab dengan anak-anak.

Are you the snow white it self, Yoona-ya?

 -o0o0o-

Seorang wanita paruh baya tampak berjalan menuju salah satu ruangan berdinding putih melingkar dengan langkah terburu-buru. Begitu sampai di depan ruangan yang memiliki empat pilar penyangga khas bangunan Eropa dengan satu jendela besar, wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya dan masuk melalui pintu yang tidak sepenuhnya tertutup.

“Nona Jung, ada yang ingin bertemu dengan Anda.”

Seorang wanita muda yang sedang serius menyapukan kuas ke kanvas ukuran 50×50 itu berhenti sejenak dan menelengkan kepalanya.

“Siapa?”

Wanita paruh baya yang dapat diyakini sebagai asisten rumah tangga di kediaman mewah tempat wanita muda itu baru saja membuka mulutnya hendak bersuara ketika seorang lelaki jangkung melangkah masuk dan menginterupsi keduanya.

“Ada apa kau memintaku ke sini, Jessica-ssi?”

Jessica –nama wanita muda itu- mengalihkan pandangannya dari kanvas yang baru setengah diwarnai demi mendengar suara yang sangat dikenalnya.

“Kris? Tumben kau ke sini tanpa kuminta.”

Lelaki jangkung yang tak lain adalah Wu Yifan a.k.a. Kris langsung mendengus kesal.

“Kau yang memintaku ke sini, Jessica-ssi. Cepat katakan apa maumu agar aku bisa pergi secepatnya dari rumahmu.”

Jessica mengerutkan kening. Bingung. Seingatnya sejak pagi tadi ia sibuk di galeri pribadinya untuk menyelesaikan lukisan yang akan diikutsertakannya dalam pameran seni akbar tahunan universitasnya, Institute of Art. Universitas yang juga menjadi tempat Kris menjalani pendidikan tingginya.

Ani. Aku tidak pernah memintamu datang. Sedari pagi aku sibuk melukis. Kau jangan mengada-ada, Kris.”

Kris membuang muka. Dengus nafasnya jelas terdengar, namun tidak digubris oleh wanita muda berparas cantik di hadapannya. Sementara wanita paruh baya yang mendatangi Jessica untuk memberitahukan kedatangan Kris telah pergi entah kemana. Baru saja Kris hendak menyuarakan ketidakpercayaannya atas ucapan Jessica, seseorang datang membungkam keduanya.

“Ah, kau sudah datang Kris? Sepertinya sudah lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Apa kau tidak merindukan anakku yang cantik? Apa kau tidak merindukan tunanganmu, hmm?”

Baik Kris dan Jessica langsung melihat ke arah seseorang yang baru saja masuk ke dalam galeri.

Eomma/Nyonya Jung?”

Seseorang yang dipanggil eomma oleh Jessica dan Nyonya Jung oleh Kris menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

“Kalian kompak sekali. Itu pertanda bahwa kalian memang cocok satu sama lain.”

Wanita yang merupakan ibu kandung Jessica itu berjalan menghampiri putrinya dan meremas lembut bahu putri pertamanya.

“Tunangan macam apa kau ini? Kris datang untuk bertemu denganmu dan kau malah asik melukis? Ckck.”

Jessica kini menatap keheranan ke arah ibunya. Apa-apaan ini?

“Kau ikuti saja permainanku, Sica-ya.”

Jessica langsung bergidik begitu mendengar bisikan tajam ibunya. Jika sudah begini maka wanita yang sangat terkenal karena kemampuan melukisnya itu sama sekali tidak berniat untuk mempertanyakan apalagi melawan perintah sang ibu. Sepasang mata yang semula menatap wajah wanita yang telah mengandung dan melahirkannya itu lalu beralih menatap sepasang mata lain. Sepasang mata milik Kris yang jelas-jelas memancarkan kemarahan karena merasa telah dijebak oleh ibunya.

“Ah, maafkan aku. Wanita tua ini tentu telah mengganggu kemesraan pasangan kekasih, ani, maksudku sepasang tunangan seperti kalian. Kalau begitu aku akan segera pergi dan membiarkan kalian menghabiskan waktu berdua.”

Nyonya Jung tersentak dan segera melepaskan tangannya dari bahu Jessica, sangat terlihat bahwa ia berpura-pura melakukannya. Jessica menutup matanya sejenak dan saat ia membukanya, ia dapat dengan jelas melihat kedua telapak tangan Kris yang mengepal menahan amarah.

“Kau harus belajar untuk melayani Kris, Sica-ya. Tidak lama lagi kau akan menjadi istrinya. Ingat itu.”

Tegas Nyonya Jung sebelum melangkah pergi dan menghilang dari balik pintu galeri.

“Cara yang kau gunakan sungguh murahan, Jessica-ssi.”

Kris akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Sejak kehadiran Nyonya Jung ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan kekesalan dan kemarahannya akibat dijebak seperti ini.

“Cih. Sudah kubilang kalau aku sibuk melukis sepagian ini. Kau jangan terlalu percaya diri, Kris.”

Jessica membalas kesinisan laki-laki itu. Wanita itu merasa tersinggung karena telah direndahkan oleh lelaki yang kini berstatus sebagai tunangannya, ah dan jangan lupa lelaki itupun menyandang status lain sebagai kekasih gadis bernama Im Yoona.

“Baiklah. Kau tidak membutuhkanku. Lebih baik aku segera pergi dari tempat ini.”

Kris segera berbalik dan melangkah pergi. Sebelum lelaki itu benar-benar menghilang dari balik pintu, ia sempat berhenti dan mengingatkan sesuatu pada wanita di belakangnya.

“Ingat, pertunangan ini hanya sandiwara. Aku akan secepatnya memikirkan cara untuk mengakhiri hubungan terkutuk ini. Annyeong.”

Jessica tampak mengepalkan kedua telapaknya tangannya. Napasnya memburu. Bibirnya mengatup rapat. Sungguh ia merasa sangat direndahkan oleh lelaki bermarga Wu itu. Mati-matian ia menahan agar air matanya tidak mengalir keluar. Sayangnya ia gagal.

Eonnie? Kau di dalam?”

Seseorang mendadak menggeser pintu galeri yang baru saja ditutup oleh Kris. Seorang gadis yang tampak lincah menggerakkan kursi rodanya langsung menelusup masuk begitu pintu sudah terbuka cukup lebar.

Eonnie? Kau menangis?”

Jessica mendadak tersadar dan cepat-cepat menghapus air matanya. Ia bergegas berjalan menghampiri gadis yang berada di atas kursi roda itu dan mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

Aniyaa. Eonnie tidak menangis. Mata eonnie hanya kemasukan debu. Ada apa kau ke sini? Kau ingin menemani eonnie melukis, hmm?”

Kau berbohong, eonnie. Keureomyo! Aku tidak pernah bosan menemani eonnie melukis. Lukisan eonnie sangat cantik, seperti wajah dan hati eonnie.”

Jessica tersenyum tipis mendengar pujian adiknya. Ya, gadis yang duduk di atas kursi roda itu adalah adik kandungnya. Adik satu-satunya. Adik yang sangat disayanginya.

Cha, kalau begitu kau tidak boleh hanya menemani eonnie. Kau harus membantu eonnie untuk mewarnai lukisan yang baru setengah jadi ini. Arra?”

Gadis di atas kursi roda itu langsung menggeleng keras-keras.

Shireo! Nanti aku malah akan membuat lukisan eonnie jadi jelek. Seperti diriku…”

Kalimat terakhir itu diucapkan pelan, sangat pelan namun masih dapat tertangkap oleh indera pendengaran Jessica. Perasaannya bagai diremas-remas begitu mendengar kalimat yang sangat dibencinya itu.

“Jung Soojung, ani, Krystal-ah, kau tidak jelek. Kau cantik. Sangat cantik. Kau adalah gadis tercantik yang pernah eonnie temui. Jangan pernah menilai bahwa dirimu jelek. Eonnie tidak suka mendengarnya. Arraseo?”

Gadis yang bernama Krystal mengangguk pelan. Tak lama kemudian seulas senyum lebar dan manis menghiasi wajah kekanakannya.

Um! Tentu saja. Kakakku kan sangat cantik. Aku sebagai adiknya pasti tidak kalah cantik.”

Jessica mengembangkan senyumnya. Ia mendekat dan memeluk adiknya. Erat. Penuh kasih sayang. Penuh cinta. Sungguh berbeda dengan sosok Jessica yang beberapa saat lalu berhadapan dengan Kris.

Eonnie, sampai kapan kau akan bersikap dingin pada orang lain? Orang lain perlu tahu bahwa kau adalah seseorang yang sangat baik. Kau adalah malaikat, eonnie. Kenapa kau sembunyikan sosok malaikatmu di balik topeng hitam itu? Apa karena aku?

Krystal menutup mata dan tersenyum miris.

-o0o0o-

Previous Older Entries