Seorang laki – laki berkemeja hijau pupus dengan celana bahan berwarna hitam tampak berjalan cepat menuju ke satu ruangan dengan papan nama dr. Im Siwan, Sp.BA. Laki – laki itu langsung membuka pintu ruangan dan menerobos masuk, mengambil jas dokternya yang tergantung dan segera memakainya. Baru saja ia merapikan ujung – ujung jasnya, seorang perawat perempuan setengah baya masuk sambil membawa setumpuk dokumen.
“Selamat malam dokter Im. Maaf kami harus meminta Anda melakukan operasi mendadak selarut ini. Ini dokumen riwayat kesehatan dari pasien yang harus Anda operasi.”
Perawat setengah baya itu merupakan kepala perawat di timnya yang bernama Choi Sunkyu. Di Seoul Surgical Hospital, setiap spesialisas dan subspesialis memiliki tim yang terdiri atas seorang dokter senior dengan pengalaman praktik minimal 7 tahun, dua orang dokter junior dengan pengalaman praktik minimal 3 tahun, seorang kepala perawat (biasanya adalah perawat senior dengan pengalaman minimal 5 tahun), dan tiga orang perawat junior dengan pengalaman minimal 1 tahun. Im Siwan sendiri saat ini memiliki posisi sebagai dokter spesialis junior, di bawah kepemimpinan dr. Cha Taehyun, Sp.BA.
Im Siwan membuka dokumen pasien yang diberikan kepala perawat Choi. Ia mengerutkan kening sejenak begitu melihat satu keterangan yang menurutnya ganjil.
“Kepala perawat Choi, di dokumen ini telah dijadwalkan tindakan pembedahan oleh dokter Hong. Tapi kenapa sekarang ini menjadi kasusku?”
Dokter Hong yang dimaksud Im Siwan adalah Hong Jonghyun, sesama dokter spesialis junior yang berada satu tim dengannya.
“Ah, itu, memang benar seharusnya dokter Hong yang melakukannya. Tetapi sejak kemarin malam sampai tadi sore beliau sudah melakukan tiga tindakan pembedahan berturut – turut dan…”
Im Siwan mendengus dan tersenyum kecil. Ia sudah dapat memperkirakan penjelasan kepala perawat Choi selanjutnya.
“Dan dia melewatkan waktu makannya, asam lambungnya naik, lalu sekarang berada di ruang perawatan. Begitu kan?”
Kepala perawat Choi mengangguk. Bukan hal yang baru jika pada akhirnya dokter Hong berakhir di ruang perawatan setelah melakukan tindakan pembedahan lebih dari dua kali berturut – turut. Rekan Im Siwan itu memang memiliki ketahanan fisik yang cenderung lemah. Ia mempunyai riwayat penyakit asam lambung parah yang seringkali membuatnya jatuh pingsan bila melewatkan jam makannya. Namun kemampuannya sebagai seorang dokter bedah spesialis anak tidak perlu diragukan. Hong Jonghyun merupakan lulusan terbaik studi bedah anak di universitasnya, mengungguli Im Siwan yang merupakan teman satu angkatannya. Oleh karena itu Seoul Surgical Hospital tidak pernah berniat mencari pengganti dokter Hong meskipun dengan keterbatasan kondisinya itu.
“Baiklah. Apakah ruang operasi sudah disiapkan?”
“Sudah dok.”
“Pasiennya?”
“Itu… pasiennya masih di kamar rawat inapnya.”
Im Siwan mengerutkan keningnya.
“Eh?”
“Pasiennya masih dibujuk oleh perawat Im Yoona agar bersedia dipindahkan ke atas brankar.”
Kerutan di kening Im Siwan semakin dalam saat mendengar jawaban itu.
“Perawat Im Yoona? Apa dia perawat baru di tim kita yang menggantikan perawat Park?”
Kepala perawat Choi mengangguk. Perawat Park yang bernama lengkap Park Hwanhee adalah salah satu perawat junior di tim dokter Cha Taehyun. Seminggu yang lalu perawat Park mengajukan surat pengunduran diri karena harus mengikuti suaminya yang ditugaskan ke negara Jepang. Suaminya merupakan salah satu staff penting di kedutaan Korea Selatan.
“Baiklah. Kalau begitu aku akan ke kamar pasien. Siapa tahu aku bisa membantu membujuknya.”
“Silahkan lewat sini Dok. Kamarnya ada di lantai 9 nomor 21A.”
Im Siwan menutup dokumen pasien yang ada di tangannya dan beranjak mengikuti langkah kepala perawat Choi.
-o0o0o-
“Jisungie~ kau mau cepat sembuh kan? Bukankah tadi kau bilang kalau kau ingin cepat – cepat bisa bermain bola lagi dengan teman – temanmu? Kalau kau ingin cepat sembuh, kau perlu diobati dulu oleh dokter.”
Seorang gadis berseragam perawat berlabel Im Yoona terlihat sedang berbicara dengan seorang anak berusia 7 tahun yang masih berbaring di ranjang rumah sakit. Lebih tepatnya sedang membujuk anak itu yang tetap keras kepala menolak untuk dioperasi.
“Shirreoyoo! Aku tidak mau! Tidak mau tidak mau tidak mau!”
Ibu si anak yang semula duduk di samping ranjang langsung berdiri dan menenangkan anaknya.
“Sshh, Jisung-ah, kau tidak boleh berteriak – teriak di rumah sakit. Nanti mengganggu.”
Park Jisung, nama lengkap dari pasien tersebut, memandang wajah ibunya dan mendadak menangis.
“Tapi eomma hiks Jisung hiks tidak mau hiks dioperasi. Hiks hiks hiks”
Yoona perlahan mendekat dan mendudukkan dirinya di ranjang pasien.
“Jisung kenapa tidak mau dioperasi? Apa Jisung tidak ingin cepat sembuh?”
Jisung menggeleng keras – keras.
“Aniyo. Jisung mau sembuh. Jisung mau main bola lagi dengan teman – teman.”
Yoona tersenyum lembut menanggapi pernyataan Jisung.
“Nah, kalau Jisung mau sembuh dan main bola lagi, penyakit Jisung perlu diobati. Sekarang coba tunjukkan pada Noona mana yang terasa sakit di badan Jisung.”
Jisung menghentikan tangisnya. Matanya yang bulat menatap bingung ke sosok perawat yang dari tadi berbicara dengannya.
“Igeo. Appoyo. Neomu appoyo.”
Jisung menunjuk pada perut sebelah kanannya.
“Wah, ternyata perut Jisung ya yang sakit. Tapi Jisung tenang saja, dokter akan mengobati dan menyembuhkan Jisung. Jadi perut Jisung tidak akan sakit lagi.”
“Jinjjayo?”
Yoona mengangguk cepat.
“Keuromyo.”
“Tapi Noona, dioperasi itu kan sakit. Jisung takut.”
Yoona terdiam sebentar, memilih kata yang akan diucapkannya agar Jisung tidak lagi merasa takut dan bersedia dioperasi.
“Hmm yah Noona tidak akan bohong, memang akan sakit. Tapi cuma sebentar kok. Setelah itu Jisung akan sembuh.”
Jisung berjengit. Wajahnya masih menunjukkan ketakutan dan keengganan.
“Annyeonghaseyo. Ah, rupanya ini dia jagoan kita. Park Jisung? Wah seperti nama pemain sepak bola kebanggaan Korea Selatan ya.”
Im Siwan mendadak muncul yang didampingi oleh perawat Choi. Yoona langsung menoleh dan mengangguk hormat. Ia lalu berdiri dan menjauhkan dirinya dari ranjang, memberi kesempatan pada dokter Im untuk mendekati Jisung.
“Dokter tahu Park Jisung pemain sepak bola itu?”
“Eum, keuromyo! Siapa yang tidak kenal dengan Park Jisung? Jangan – jangan Park Jisung yang ini juga akan menjadi pemain sepak bola yang hebat.”
Jisung tersenyum lebar. Segala ketakutan dan keengganan untuk dioperasi tiba – tiba sirna dari raut wajahnya.
“Eum! Aku memang ingin menjadi pemain sepak bola yang hebat. Yang banyak membuat gol.”
“Wah, hebat sekali! Tapi kenapa calon pemain sepak bola hebat ini ada di sini? Apa dia sakit?”
Sekarang Im Siwan sudah memposisikan dirinya di samping ranjang sang pasien.
“Perutku sakit. Sakit sekali. Aku jadi tidak bisa main bola lagi.”
Dokter Im menunjukkan ekspresi terkejut dan menutup mulutnya.
“Ah, ini gawat! Kita harus cepat – cepat mengobatimu agar kamu bisa bermain bola lagi lalu menjadi pemain sepak bola yang hebat.”
Jisung melebarkan kedua matanya, menatap penasaran pada dokter di hadapannya.
“Apa dokter bisa mengobatiku?”
“Tentu saja! Dokter tampan ini akan mengobatimu sampai benar – benar sembuh.”
Jisung kembali menunjukkan keraguan. Ia menoleh menatap ibunya dan Yoona. Kedua orang yang ditatap Jisung mengangguk. Ibunya bahkan mengusap – usap kepala Jisung dan menciumnya.
“Tapi Dokter, bisa tidak kalau operasinya jangan sakit – sakit? Sakit sedikit tidak apa – apa deh…”
Baik Siwan, Yoona, kepala perawat Choi dan ibunya Jisung tertawa mendengar permintaan Jisung. Sementara Jisung menatap kebingungan pada semua orang dewasa yang entah menertawakan apa.
-o0o0o-
Akhirnya tindakan pembedahan atau yang biasa dikenal sebagai operasi dari pasien bernama Park Jisung selesai dalam waktu dua jam. Operasi yang dilakukan memang bukan termasuk operasi besar karena kasus Jisung adalah radang usus buntu sehingga dapat berlangsung cukup cepat.
Begitu keluar dari ruang operasi, Im Siwan melepas mantel dan topi operasi yang berwarna hijau dan memasukkannya ke keranjang khusus. Sementara sarung tangan yang tadi digunakannya dibuang ke tempat sampah. Laki – laki berusia 32 tahun itu lalu masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Sementara Im Yoona dan kepala perawat Choi membantu memindahkan Jisung kembali ke kamar rawat inapnya dan memeriksa tanda – tanda vital anak tersebut.
Selesai membasuh wajahnya, Siwan keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju meja perawat jaga. Di sana ia melihat perawat baru yang tadi ikut membantunya saat mengoperasi Jisung sedang merapikan ikatan rambutnya.
“Chogiyo.”
Yoona membalikkan badan dan melihat dokter Im sedang berdiri di balik meja jaga. Ia bergegas menghampiri laki – laki tersebut.
“Ye, Im uisanim. Apa ada yang bisa saya bantu?”
Bukannya menjawab pertanyaan itu, Siwan justru memperhatikan Yoona secara seksama. Kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang tergolong kecil, kedua matanya yang menyerupai bentuk mata rusa, hidungnya yang mungil, bibirnya yang tipis dan disaput warna lipstik merah muda…
“Im uisanim?”
“Ah, ye? Mianhaeyo. Apa tadi pertanyaanmu?
Siwan merutuki dirinya yang terlalu tenggelam dalam pesona perempuan di hadapannya ini.
“Apa Anda baik – baik saja, uisanim?”
Yoona menatap penuh khawatir. Sesungguhnya ia juga merasa sedikit kebingungan dengan sikap dokter Im Siwan tersebut.
“Ye. Aku baik – baik saja, terima kasih. Ah, aku mau minta tolong padamu. Tolong carikan nomor kamar tempat dokter Hong Jonghyun dirawat di data pasien.”
“Jongie?”
“Mworago?”
Yoona tersentak. Ia cepat – cepat menggeleng dan tersenyum.
“Aniyeyo. Mohon ditunggu sebentar Dok.”
Siwan menyipitkan matanya sejenak lalu mengangkat bahu, seolah tidak terlalu mempedulikan apa yang diucapkan Yoona sebelumnya.
Sementara Yoona mencari informasi yang diinginkan Siwan, laki – laki itu kembali memperhatikan gadis yang baru saja ditugaskan sebagai perawat junior di timnya tersebut. Ingatannya kembali melayang pada adegan dimana Yoona tengah berusaha membujuk salah satu pasien yang bernama Park Jisung agar mau dioperasi. Penjelasan kepala perawat Choi mengenai latar belakang pendidikan Yoona juga kembali bergaung di telinganya.
Flashback on
“Bergabungnya perawat Im Yoona ke tim kita sungguh menguntungkan, Dok.”
Im Siwan menoleh menatap kepala perawat Choi yang saat ini berjalan bersamanya menuju kamar rawat inap pasien bernama Park Jisung.
“Maksudnya?”
“Perawat Im Yoona adalah lulusan terbaik dan tercepat di akademi keperawatan Seoul. Selain itu, ia juga mengambil pendidikan psikologi keperawatan anak dan telah menyelesaikannya dengan nilai memuaskan. Bahkan ia mempunyai lisensi dalam bidang trauma healing untuk anak – anak korban kekerasan dan bencana alam. Kesimpulannya ia adalah seorang perawat anak paket lengkap. Bahkan ia sempat diperebutkan oleh dokter Lee Bumsoo dan dokter Kwon Sangwoo agar dapat dimasukkan ke dalam tim beliau berdua. Namun justru tim kita lah yang beruntung mendapatkannya.”
Im Siwan mengangguk – angguk mendengar rentetan informasi dari kepala perawat Choi tersebut. Di dalam hatinya muncul kekaguman terhadap perawat Im Yoona yang sebentar lagi akan ditemuinya.
Flashback off
“Im uisanim?”
Pikiran Siwan kembali tertarik ke waktu saat ini. Laki – laki itu lalu menatap Yoona dan tersenyum manis.
“Ah, mianhaeyo. Ada apa perawat Im?”
“Dokter Hong Jonghyun dirawat di lantai 5, kamar nomor 9.”
“Baiklah. Terima kasih atas bantuannya.”
Yoona mengangguk singkat dan tersenyum.
“Senang dapat membantu Anda, dokter Im.”
Siwan membalas senyum Yoona. Tidak lama ia membungkuk singkat yang dibalas dengan bungkukan dalam oleh Yoona. Laki – laki itu lalu berjalan menuju lift yang berjarak sekitar tiga meter dari meja perawat jaga. Namun baru tiga langkah, ia kembali berbalik menghampiri Yoona.
“Eh? Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Dok?”
Yoona terkejut sekaligus merasa bingung dengan kembalinya Im Siwan ke meja perawat jaga.
“Aniyeyo. Aku hanya ingin mengucapkan selamat datang di tim kami. Ah, maksudku tim dokter Cha Taehyun. Maaf tadi aku belum sempat mengatakannya karena… yah, ada tindakan yang harus segera dilakukan pada calon pesebak bola hebat kita.”
Siwan mengangsurkan tangan kanannya ke hadapan Yoona. Perempuan itu menyambut tangan Siwan dan menjabatnya.
“Ah, terima kasih banyak untuk sambutannya Dok. Saya sangat senang dapat bergabung di tim dokter Cha. Untuk selanjutnya saya mohon bimbingannya.”
Siwan meremas lembut tangan Yoona, membuat perempuan itu sempat berjengit kaget. Dengan enggan Siwan pun mengakhiri jabat tangan mereka.
“Kalau begitu sampai bertemu lagi, perawat Im.”
Yoona mengangguk dan tersenyum.
Aargh! Aku bisa gila jika terus – terusan melihat senyumnya. Sebaiknya aku cepat – cepat pergi dari sini sebelum hilang kendali.
-o0o0o-
Jam masih menunjukkan pukul 09.00, namun Im Yoona sudah menginjakkan kakinya di pelataran Seoul Surgical Hospital tempatnya bekerja. Saat ini ia masih mengenakan pakaian kasual mengingat shift kerjanya baru dimulai jam 13.00. Ia memang sengaja datang lebih awal karena berniat menjenguk salah satu sahabatnya yang sedang dirawat.
Yoona melangkah santai menuju jejeran lift di dekat main lobby. Ia menekan tombol naik dan menunggu salah satu pintu lift terbuka.
Ting!
Pintu lift yang berada tepat di depan Yoona terbuka, membuat perempuan itu segera melangkah masuk ke dalamnya.
“Perawat Im Yoona?”
Yoona menoleh saat mendengar ada yang memanggil namanya dan baru menyadari bahwa ia tidak sedang sendiri.
“Oh? Dokter Im?”
Siwan mengangguk singkat.
“Sedang apa kau? Apa hari ini kau mendapat shift pagi? Tapi kenapa kau belum memakai seragam?”
Yoona sejenak terdiam mendengar bombardir pertanyaan dari Siwan.
“Ah, aniyeyo. Hari ini saya mendapat shift siang, Im uisanim.”
“Lalu, apa yang kau lakukan di rumah sakit sepagi ini?”
Yoona tersenyum dan mengangkat tangan kirinya yang sedang memegang rantang makanan.
“Saya ingin menjenguk teman dan mengantarkan makanan untuknya.”
Siwan melihat rantang makanan yang dibawa Yoona dan mengangguk sambil lalu.
“Oh, begitu. Temanmu dirawat di lantai berapa?”
“Lantai 5, Im uisanim.”
Siwan lagi – lagi mengangguk.
“Baiklah. Kalau begitu semoga temanmu lekas sembuh.”
“Terima kasih Im uisanim.”
Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara keduanya. Begitu lift sampai di lantai 5, Yoona segera melangkah keluar. Sebelum pintu lift tertutup, ia sempat membungkuk untuk berpamitan pada Siwan.
-o0o0o-
“Aish, sudah berapa kali kubilang untuk jangan melewatkan jam makanmu! Lihat, sekarang kau harus terkapar di sini. Ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini. Apa kau tidak menyayangi badanmu, huh?”
Seorang perempuan muda yang mengenakan dress coklat selutut langsung meluncurkan omelannya begitu masuk ke salah satu kamar rawat inap di Seoul Surgical Hospital tersebut. Di dalam kamar itu terbaring sesosok laki – laki berparas tampan yang tersenyum lebar tanpa rasa bersalah pada perempuan tersebut.
“Hehehe, kau jangan marah – marah seperti itu Yoong. Aku ini pasien, masa kau omeli. Nanti kalau penyakitku semakin parah karena omelanmu bagaimana?”
Perempuan itu mendecih sebal.
“Cih. Saat ini kau memang seorang pasien, tapi kau juga seorang dokter di rumah sakit ini Jongie! Dokter kok hobi sekali dirawat di rumah sakit tempatnya bekerja. Ckckck.”
Pasien laki – laki itu langsung membantah pernyataan tersebut.
“Enak saja! Aku juga tidak mau dirawat seperti ini.”
“Kalau kau tidak mau dirawat, dijaga dong pola makanmu. Sudah tahu punya penyakit asam lambung kronis, tapi masih saja bandel melewatkan jam makan. Kau sengaja ya ingin lebih diperhatikan olehku?”
“Iya.”
Gerakan perempuan itu langsung terhenti. Setelah berhasil menguasai dirinya, perempuan itu berbalik menatap pasien laki – laki yang bernama Hong Jonghyun. Ya, dia adalah dokter Hong yang kemarin sempat ditanyakan oleh dokter Im kepadanya di meja perawat jaga.
“Lagi – lagi kau tidak menghabiskan sarapan yang disediakan rumah sakit ya?”
Jonghyun melirik pada nampan stainless steel yang diletakkannya di atas meja. Pada nampan tersebut ada semangkuk bubur putih yang sengaja belum dihabiskannya.
“Aku kan menunggu hasil masakan seorang Im Yoona. Nanti kau kecewa kalau masakanmu tidak kumakan.”
Perempuan itu yang tidak lain adalah Yoona hanya memutar bola matanya. Ia lalu menarik kursi mendekati ranjang dan mendudukkan dirinya. Kedua tangannya dengan cekatan membuka rantang makanan yang sedari tadi dibawanya.
“Ini, makanlah.”
Yoona menyodorkan sesendok samgyejuk –bubur ayam khas Korea- ke mulut Jonghyun. Laki – laki itu langsung tersenyum senang dan melahapnya.
“Ahyoung menitipkan salam untukmu. Katanya setelah jam kerjanya selesai ia akan datang menjengukmu.”
Jonghyun hanya diam. Ia tidak berniat merespon perkataan Yoona dan lebih memilih memakan bubur yang sedari tadi disuapkan perempuan itu kepadanya.
“Dia masih mengharapkanmu, kau tahu? Tidak bisakah kau memberinya kesempatan dan belajar menyukainya?”
Tubuh Jonghyun langsung menegang. Ia lalu menahan pergelangan tangan Yoona yang kembali mengangsurkan sesendok bubur kepadanya.
“Bagaimana denganmu? Tidak bisakah kau memberiku kesempatan dan belajar menyukaiku?”
-o0o0o-