Seorang yeoja dalam balutan pakaian seragam pasien berwarna hijau tampak duduk termenung di atas kursi roda. Kedua matanya menatap kosong ke dunia luar yang dilihatnya dari jendela kayu rendah dalam kamar inapnya. Kedua tangannya menangkup di atas pahanya yang tertutup selimut tebal berwarna putih, warna favoritnya.
Klek. Daun pintu kamar inapnya terdorong ke dalam dan memunculkan sesosok ramping yeoja berambut panjang.
“Yoong,” panggil yeoja berambut panjang itu sambil berjalan menghampiri Yoona, yeoja yang masih termenung di atas kursi roda.
“Mianhae aku baru bisa menjengukmu sekarang. Kemarin aku..”
“Sudahlah, tidak apa-apa Yul. Aku mengerti. Dia lebih membutuhkanmu. Bagaimana keadaannya sekarang?” sanggah Yoona dengan senyum lemahnya. Wajahnya yang semula lurus menghadap jendela kamar inapnya menoleh dan menatap Yuri, lawan bicaranya.
“Dia.. dia sudah.. pergi. Dia sudah.. tidak ada.. pagi ini.” jawab Yuri terbata. Kabut tipis membayang perlahan di kedua pelupuk yeoja itu. Sekuat tenaga ia mencoba untuk tidak menangis di hadapan Yoona, namun ia gagal. Air matanya terlanjur menemukan jalan keluar dan mengalir deras membasahi pipinya.
“Aku turut berduka Yul. Maaf aku tidak bisa ada di sampingmu saat itu.” ucap Yoona dalam nada penyesalan. Ia menarik tangan Yuri dan membawa tubuh sahabatnya itu ke dalam pelukannya. Ia membiarkan Yuri menangis tergugu dan mengusap lembut punggung yeoja itu berulang-ulang. Setelah tangisan Yuri mereda, ia merasakan tubuh sahabatnya itu menjauh darinya.
“Kau tidak perlu minta maaf Yoong, aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Justru aku yang seharusnya minta maaf karena tidak datang di hari kau sadar. Sahabat macam apa aku ini, aish.” rutuk Yuri dalam usahanya untuk mengalihkan topik pembicaraan. Yoona hanya tersenyum mendengar rutukan itu dan memahami maksud sahabatnya.
“Kau mau tahu sahabat seperti apa kau ini? Huh?” tanya Yoona. Yuri menelengkan kepalanya dan mengernyit kebingungan. Ia menurunkan posisi tubuhnya hingga hampir sejajar dengan posisi Yoona yang duduk di atas kursi roda.
“Apa?”
“Kau itu semacam sahabat yang sangat berarti untukku, Yul. Gomawo sudah mau menjadi sahabatku. Sahabat yang bahkan lebih memikirkan aku dibanding dirinya. Jeongmal gomawoyo.” Ucap Yoona tulus. Yuri yang mendengarnya langsung tersenyum haru dan kembali memeluk sahabatnya itu.
“Cheonma Yoong, gomawo sudah menjadi seorang yang bahkan lebih dekat dari saudara kandungku. Tetaplah bersamaku Yoong, tetaplah bersamaku.” Balas Yuri dalam bisikan. Tuhan, aku takut. Aku takut Kau akan mengambil Yoona dariku. Aku mohon beri ia kekuatan untuk bertahan. Aku mohon.
Klek. “Hei, ada dua yeoja cantik sedang reuni rupanya!” sapa seseorang dengan suara baritonnya yang sukses mengagetkan Yuri dan Yoona. Kedua yeoja itu melepas pelukan mereka dan menoleh bersamaan ke arah sumber suara.
“Minho oppa? Sejak kapan oppa masuk ke ruanganku?” tanya Yoona kepada seorang namja berpostur tinggi yang kali ini mengenakan jaket kulit berwarna coklat menutupi kemeja putih polos yang dikenakannya di dalam dengan celana jeans biru donker warna kesukaannya.
“Hmm, sekitar 20 detik yang lalulah.” Jawab Minho santai. Namja itu lalu tersenyum manis dan berjalan menghampiri kedua yeoja yang menjadi bagian penting dalam hidupnya.
“Apa kabar Yoong? Bagaimana keadaanmu hari ini? Kau sudah makan dan minum obat kan?” tanya Minho beruntun.
“Aish, oppa seperti eomma saja! Apa jangan-jangan oppa itu jelmaan eomma ya?” sungut Yoona sambil menggembungkan kedua pipi tirusnya. Minho tertawa melihatnya dan tanpa sadar mengusap kedua pipi Yoona, membuat Yoona dan Yuri tersentak.
“Oppa! Ya! Apa-apaan..” tepis Yoona cepat. Yeoja itu menatap Minho seolah namja itu gila. Selanjutnya tatapannya beralih kepada Yuri yang masih terlihat kaget dengan perilaku Minho baru saja. Minho yang melihat pergantian subjek pandang mata Yoona segera tersadar dan mengutuki tindakan refleksnya itu. Aish, dasar Minho pabo! Kau mau Yuri semakin salah paham padamu? Aargh!
“Err, sepertinya lebih baik aku keluar saja.” ucap Yuri memutus kecanggungan yang tercipta di antara mereka. Yeoja itu baru saja berbalik dan hendak melangkah keluar ketika sebuah tangan mencekal pergelangannya.
“Kau salah paham, Yuri-aa.” Yuri menoleh dan langsung bersitatap dengan Minho, senior sekaligus namja yang berhasil membuatnya jatuh cinta setelah apa yang dilakukan Kim Jong Woon, mantan kekasihnya, kepadanya.
“Aku.. aku tidak mengerti.” Ucap Yuri terbata. Ia menatap Yoona dan berusaha mencari jawaban itu dari sahabatnya. Dilihatnya Yoona menunduk dan menghela napas sebelum sahabatnya itu kembali menatapnya dalam pandangan yang diartikannya sebagai.. permintaan maaf?
“Sudah saatnya oppa menjelaskan semua kepadanya. Tidak ada gunanya kita menutupi ini lebih lama lagi. Katakan padanya, oppa. Katakan apa yang seharusnya dari dulu oppa katakan.” Ucap Yoona yang semakin membuat Yuri kebingungan.
“Jelaskan apa? Menutupi apa? Katakan yang seharusnya apa? Sebenarnya ada apa ini? Apa yang kalian sembunyikan dariku? Apa Yoong? Minho oppa?” tuntut Yuri kepada dua orang yang bersamanya kini. Baik Minho dan Yoona saling menatap dan menghela napas berat.
“Sudah waktunya oppa, bicaralah. Aku tidak apa-apa.” putus Yoona dalam senyum lemahnya. Yuri menatap mereka bergantian, menunggu siapa yang akan membicarakan apa padanya.
“Kita bicara di luar saja, Yuri-aa. Ayo.” Ajak Minho akhirnya. Namja yang tiga bulan lagi akan menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran itu menarik pergelangan Yuri yang masih berada dalam genggamannya. Yeoja itu menatap panik ke arah Yoona yang hanya dibalas anggukan oleh sahabatnya itu. Mau tidak mau akhirnya Yuri mengalah dan mengikuti Minho keluar ruangan. Dan di sanalah ia mengetahui kebenaran yang selama ini diragukannya.
-o0o0o-
Hari ini Yoona sudah diperbolehkan pulang, oleh karena itu rumah kediaman keluarga Lim tampak sibuk menyiapkan sambutan kecil untuk kepulangannya. Keluarga Lim termasuk keluarga berada di daerahnya, maka wajar jika bangunan rumah mereka yang berlantai dua berdiri megah dengan arsitektur gaya Yunani kuno. Pagar besinya menjulang dengan kantor satpam yang dibangun di sudutnya. Tidak heran juga dengan rumah semegah itu dibutuhkan tiga pekerja –tidak termasuk dua satpam dan dua supir pribadi- untuk merawatnya. Meskipun begitu, keluarga Lim termasuk keluarga yang mudah bersosialisasi dengan tetangga sekitarnya. Tidak jarang mereka membantu tetangga yang membutuhkan. Namun banyak yang tidak tahu kalau putri bungsu keluarga itu, Lim Yoon Ah, menderita penyakit jantung. Yang mereka tahu hanyalah putri bungsu keluarga Lim sering keluar masuk rumah sakit dan jarang mengikuti acara yang diadakan di komplek perumahan mereka.
Para pekerja di rumah keluarga Lim sibuk membersihkan seluruh ruangan, terutama kamar Yoona. Di dalam kamar bernuansa putih itu telah tergantung banyak balon warna-warni di langit-langitnya dengan juntaian pita putih di bagian bawahnya. Ya, Yoona sangat menyukai balon. Bahkan ia lebih menyukai balon dibanding boneka seperti umumnya anak perempuan. Karena itu tidak mengherankan jika di dalam kamarnya kau hanya akan menemukan sebuah boneka berukuran cukup besar di atas ranjangnya. Itupun boneka berbentuk balon hadiah dari ayahnya untuk ulang tahunnya yang kesepuluh.
Subuh tadi ada empat orang yang sibuk menggembungkan balon-balon itu dan mengikat pita berwarna putih di ujungnya lalu melepasnya agar melayang di langit-langit kamar Yoona. Keempat orang itu adalah Siwan, Yuri, Minho, dan Jinki. Yuri dan Minho bahkan sampai rela menginap di rumah Yoona hanya untuk menyiapkan sambutan kecil itu. Tetapi tidak dengan Jinki yang merasa belum cukup akrab dengan keluarga Yoona, yeoja yang dicintainya. Sebenarnya sambutan seperti ini sudah beberapa kali dilakukan untuk menyambut kepulangan Yoona mengingat yeoja itu sering bolak-balik dirawat di rumah sakit karena kondisi jantungnya. Meski sudah beberapa kali dilakukan, namun mereka tidak pernah bosan untuk membuatnya lagi. Terlebih sepeninggal Siwon dimana Yoona lebih sering mengalami serangan mendadak.
“Bibi Son, apakah eomma sudah siap?” teriak Siwan kepada salah seorang pekerja di rumahnya yang tengah sibuk menata meja makan. Kali ini Siwan mengenakan kemeja putih dengan celana longgar berwarna hitam. Rambutnya sudah tersisir dan tertata rapi dengan aroma parfum maskulin yang menguar lembut. Hari ini Siwan beserta ibunya akan menjemput Yoona, sedangkan ketiga orang lainnya beserta ayahnya akan menunggu di rumah dan memastikan kesuksesan sambutan mereka kali ini.
“Sepertinya belum Tuan.” Jawab Bibi Son. Son Dam Yie, atau yang biasa dipanggil Bibi Son merupaka pekerja yang paling lama bekerja pada keluarga Lim. Usia Bibi Son hampir sama dengan Nyonya Lim, oleh karena itu baik Siwan maupun Yoona sudah menganggap Bibi Son sebagai ibu kedua mereka. Bibi Son sudah tidak memiliki sanak saudara, karena itulah ia memilih untuk terus bekerja kepada keluarga Lim yang sangat baik terhadapnya. Ia juga menganggap Yoona dan Siwan layaknya anak kandung yang tidak pernah dimilikinya.
“Ah, baiklah. Kalau begitu aku akan ke kamar eomma. Pastikan makanannya enak dan membangkitkan dewa shiksin dalam diri Yoona, Bi.” Gurau Siwan. Namja yang berencana untuk mengambil magister manajemen di Amerika itu berlari menuruni tangga dan mengedipkan sebelah matanya kepada Bibi Son yang hanya dibalas dengan tawa kecil. Setelah Siwan menghilang dari ruang makan, Bibi Son kembali melanjutkan pekerjaannya.
Tok tok! “Eomma?” Tok tok! “Eomma, cepatlah.” Panggil Siwan tidak sabar. Namja itu melihat arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Baru saja ia hendak mengetuk pintu kamar orangtuanya untuk yang ketiga kalinya, sesosok wanita mungil keluar dari dalam.
“Aish, anak ini tidak sabaran sekali! Eomma baru saja memaksa appamu untuk mandi dan bersiap-siap. Nah, ayo kita berangkat! Eomma sudah siap.” Ucap Nyonya Lim bersemangat. Setelah berpamitan dengan suaminya yang baru selesai mandi, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu berjalan mengikuti Siwan menuju garasi mobil mereka.
“Bibi Son, jangan lupa bangunkan Minho dan Yuri lalu minta mereka untuk sarapan dulu.” pesan Nyonya Lim.
“Baik Nyonya. Nyonya dan Tuan Siwan berhati-hatilah di jalan.” Balas Bibi Son sopan.
“Ne. Kami pergi dulu.” pamit Nyonya Lim sebelum menghilang keluar melalui pintu depan. Tidak lama kemudian terdengar deruman halus dari depan yang diikuti dengan gemerisik roda pintu gerbang dan debuman pintu mobil yang tertutup. Setelah itu hening dan menyisakan dentingan teredam peralatan makan yang ditata sedemikian rupa di atas meja makan.
-o0o0o-
“Welcome home uri Yoona!” teriak Tuan Lim, Minho, Yuri, dan Jinki bersamaan saat Yoona memasuki ruang tamu menggunakan kursi roda yang didorong oleh Siwan. Yeoja yang masih terlihat pucat itu tersenyum senang mendapat sambutan hangat dari keluarga dan teman terdekatnya.
“Gomawoyo. Gomawo appa, eomma. Gomawo Yul. Gomawo Minho oppa, Jinki oppa.” Ucap Yoona terharu.
“Hei, kenapa kau tidak mengucapkan terima kasih juga kepadaku? Aku kan juga ikut menyiapkan ini semua.” Protes Siwan dari belakang Yoona yang membuat yeoja itu menoleh memandang kakak semata wayangnya.
“Hahaha, mianhae oppa, aku lupa. Siapa suruh oppa terus di belakangku? Aku kan jadi tidak melihat oppa dan tidak sadar kalau oppa juga ada.” Canda Yoona sambil menjulurkan lidahnya keluar.
“Ya! Anak ini baru keluar rumah sakit sudah membuatku kesal. Adik macam apa kau ini, huh?” balas Siwan berpura-pura kesal.
“Tentu saja adik Siwan oppa yang paling cantik, paling manis, paling baik, dan paling pintar.” jawab Yoona percaya diri sambil menyunggingkan senyum khas anak-anaknya. Kontan semua yang berada di ruangan itu tertawa mendengar jawaban Yoona yang terdengar sangat percaya diri itu.
“Pastilah. Oppanya saja tampan, baik hati, pandai, cute. Pasti hal positif dariku menular padamu.” Sahut Siwan tidak mau kalah. Yoona tertawa mendengar itu dan memukul pelan tangan kakaknya.
“Hahaha, baiklah oppa. Kali ini aku akan terpaksa mengakui itu.” Siwan melotot mendengar balasan Yoona. Namun, sebelum namja itu sempat melontarkan balasannya mulutnya terkunci oleh ucapan dan tindakan Yoona selanjutnya.
“Gomawoyo Siwan oppa.” Ucap Yoona, memandang Siwan lembut dan menarik namja itu dalam pelukan yang dapat dilakukan oleh seorang yang duduk di kursi roda.
“Cheonma uri Yoongie.” Balas Siwan sambil mengusap puncak kepala Yoona penuh sayang.
“Saatnya makan! Ayo Yoong, kau pasti sudah lapar. Aku yakin dewa shiksin dalam perutmu itu sudah menagih haknya.” Ucap Yuri memecah keharuan yang tercipta dari adegan kakak beradik Lim itu. Siwan segera tersadar dan melepas pelukannya.
“Kajja!” tanggapnya sambil meraih pegangan di kursi roda untuk membantu yeoja itu menuju ruang makan. Namun sentuhan halus menyentuh punggung tangannya dan memaksanya untuk menoleh.
“Biar eomma saja, Siwan-aa.” pinta Nyonya Lim. Siwan mengangguk dan tersenyum. Ia melepaskan pegangannya dan membiarkan ibunya mengantar Yoona ke ruang makan rumah mereka.
Yoona mendongak menatap ibunya dan tersenyum, “Neomu neomu gomawoyo, eomma.”
-o0o0o-
Seminggu lagi bulan November akan berakhir yang berarti musim dingin sudah berada di ujung mata. Musim yang sangat disukai Yoona itu sebentar lagi akan tiba dan memanjakan yeoja itu dengan pemandangan salju putihnya. Salju satu hal yang selalu dinikmatinya setiap musim dingin datang. Satu hal yang membawanya pada pemikiran akankah ia bertemu dengan butiran salju itu di tahun mendatang.
“Annyeong Yoona-aa.” sapa seorang namja yang mendadak ada di belakang Yoona. Yeoja yang tengah asyik menghabiskan sorenya di balkon kamarnya itu menoleh dan terdiam sesaat begitu melihat siapa yang baru saja menyapanya.
“Annyeong Jinki oppa.” Balas Yoona yang memaksakan seulas senyum di wajahnya.
“Udara sedingin ini dan kau lagi-lagi nekat untuk berada di balkon. Di dalam lebih hangat, Yoona-aa.” ucap Jinki yang perlahan menghampiri Yoona dan berdiri di samping yeoja itu.
“Aku bosan kalau terus-terusan di kamar. Aku ingin keluar dan bermain seperti yang lainnya. Aku ingin kembali ke kampus dan kuliah seperti biasanya. Aku ingin memainkan grand piano di ruang musik seperti sebelumnya.” Ucap Yoona sambil menerawang. Hampir sebulan setelah ia diperbolehkan pulang dari rumah sakit ia belum juga diijinkan untuk menjalani aktivitas normalnya. Ia masih diharuskan beristirahat di rumah dan menjalani serangkaian pemeriksaan di rumah sakit. Akibat serangan terakhirnya itu dosis dalam obat-obatannya dinaikkan, bahkan ia mendapat satu jenis obat baru yang menurut dokternya berfungsi untuk mencegah penggumpalan darah dalam pembuluhnya.
Jinki hanya diam saja sambil terus menatap pemandangan yang ditawarkan balkon kamar Yoona. Namja itu tahu Yoona belum selesai mengutarakan semua yang ada dalam pikirannya saat ini, karena itulah ia sengaja diam dan menunggu Yoona meneruskan ucapannya.
“Aku.. aku ingin.. menjadi yeoja yang.. normal, tanpa harus.. seperti ini.” Lanjut Yoona lirih. Pandangannya yang semula menerawang kini tertunduk dan berkabut. Jinki menghela napas dan menghadapkan tubuhnya ke arah Yoona.
“Kau yeoja paling normal yang pernah aku temui, Yoona-aa. Kau yeoja dengan kebaikan yang normal, kepintaran yang normal, bahkan kecantikan yang normal yang pernah aku kenal.” Ucap Jinki setengah bercanda. Rupanya namja itu berhasil karena ia melihat sudut-sudut bibir Yoona sedikit terangkat membentuk lengkungan ke bawah.
“Kau meledekku, oppa? Kau ingin mengatakan kalau aku biasa-biasa saja, huh? Tidak ada istimewanya? Itu yang ingin kau sampaikan, oppa?” protes Yoona sambil menyipitkan salah satu matanya saat menatap Jinki.
“Aku tidak bilang seperti itu. Kau saja yang berpikir negatif.” Goda Jinki. Yoona menggembungkan kedua pipinya dan mengerucutkan bibir, berakting kesal.
“Aish, tidak. Aku tidak berpikir negatif. Aku kan hanya mengucapkan apa yang aku tangkap dari perkataan oppa tadi.” Ucap Yoona tidak mau kalah.
“Berarti yang kamu tangkap itu hanya sisi negatifnya, Nona Lim Yoon Ah.” Balas Jinki. Yoona terpaku sejenak begitu mendengar panggilan itu. Panggilan yang dulu sering didengarnya dari seseorang yang kini telah tiada. Choi Siwon, cinta pertamanya.
“Jangan pernah memanggilku seperti itu, oppa. Aku.. tidak suka.” Pinta Yoona datar. Jinki yang menyadari perubahan yang tidak diinginkannya itu segera mengubah topik pembicaraan.
“Kudengar kau suka salju, benarkah?” tanya Jinki. Yoona tersenyum dan mengangguk.
“Aku sangat suka salju. Kalau oppa?” Yoona balik bertanya.
“Aku tidak begitu suka salju.” Jinki menjawab acuh sambil mengedikan bahunya.
“Wae? Salju kan indah.” Tanya Yoona tidak mengerti.
“Karena salju itu dingin. Dingin bisa membuat tubuhmu mati rasa dan itu tidak enak. Saat tubuhmu mati rasa seolah kau bukanlah pemilik dari tubuh itu sendiri.” Jawab Jinki.
“Hanya karena itu? Hanya karena oppa tidak suka mati rasa? Alasan macam apa itu?” tanya Yoona lagi.
“Karena mati rasa itulah aku tidak berhasil menyelamatkan Taemin dari dalam longsoran salju. Aku harus rela kehilangan dia untuk selamanya dan itu tepat terjadi di depan mataku. Aku melihatnya tertimbun, mendengarnya berteriak minta tolong, namun yang dapat kulakukan hanya berdiri membeku akibat dinginnya salju. Seluruh tubuhku mati rasa saat itu sehingga aku tidak mampu menggerakannya barang sesenti pun. Aku mendengarnya terus berteriak minta tolong sampai teriakan itu tidak terdengar lagi. Satu jam kemudian Appa dan Eomma datang bersama beberapa orang. Mereka membawaku ke tempat yang hangat dan menyelimutiku, menghindarkanku dari hipotermia yang bisa saja membunuhku. Sayangnya Taemin tidak punya satu jam itu. Ia tidak mampu bertahan dan.. dan.. tiga puluh menit kemudian aku mendengar Eomma berteriak. Dari teriakan itulah aku tahu kalau Taemin.. dia.. tidak selamat. Andai saja aku tidak kedinginan dan mati rasa saat itu, tentu Taemin masih ada saat ini. Andai saja.. ya, andai saja..” mendadak ucapannya terputus dan ia merasakan pelukan menenangkan dari seorang yang sedari tadi mendengarkan ceritanya.
“Sshh, sudah oppa, sudah. Uljimarayo. Hentikan. Mianhae telah membuatmu harus mengingat hal buruk itu. Mianhae, jeongmal mianhae.” Bisik Yoona penuh penyesalan. Kedua tangan kurusnya terus mengusap lembut punggung Jinki hingga namja itu merasa lebih rileks dan membalas pelukannya.
“Gomawoyo.” Balas Jinki lirih. Akhirnya setelah sekian lama ia mengalami siksaan batin akibat rasa bersalahnya yang begitu besar, ia kini menemukan seseorang yang berhasil membuatnya tenang hanya dengan dipeluk olehnya. Setelah beberapa psikolog didatangkan oleh orangtuanya untuk menghapus trauma dan rasa bersalah itu, seorang datang dan membebaskannya. Seorang bernama Lim Yoon Ah. Seorang yeoja yang baru dikenalnya dan terancam pergi meninggalkannya secepat ia datang.
Tuhan, kumohon jangan ambil dia. Jangan ambil dia, Tuhan. Aku baru saja menemukannya dan tidak adil kalau aku harus cepat kehilangan dia. Kumohon beri dia lebih banyak waktu untuk bersamaku. Kumohon.
-o0o0o-