Love is… Who? (Chapter 2)

997e460d92f5a329d34f0b3c85c2c035

“Hei, pelan-pelan saja menyetirnya. Hei! Ya! Ya! Ya! Awas di depanmu! Aaaaaa…” 

Braak!

Oh Sehun mendadak terbangun. Baju tidurnya basah bersimbah keringat. Peluh sebesar biji jagung tampak membanjiri wajahnya. Begitupun dengan anggota tubuh lainnya.

Shit! Kenapa aku masih saja tidak bisa melupakan kejadian itu?!”

Laki-laki itu menarik-narik rambutnya sembarangan. Kini kondisinya sungguh mengenaskan. Rambut acak-acakan, baju tidur yang lepek akibat keringat, posisi seprei dan selimut yang tidak karuan. Sungguh siapapun yang saat itu masuk ke dalam kamarnya pasti akan menjerit ketakutan melihat penampakan tersebut.

“Jongin-ah…”

Sudut-sudut bibirnya sedikit terangkat setelah nama itu mencelos keluar. Getir. Ya, kenangan buruk itu terus saja menghantuinya. Tidak pernah membiarkannya tidur nyenyak menikmati alam mimpi yang menurut sebagian orang sangatlah indah.

“Jam berapa sekarang?”

Oh Sehun mendongakkan kepala dan melihat jam dinding yang terpasang tepat di atas pintu kamarnya. Jam dinding berwarna biru dengan latar belakang gambar pantai berpasir putih favoritnya. Hadiah ulang tahun dari sahabatnya. Hadiah terakhir sebelum sahabatnya direnggut paksa oleh malaikat maut tepat di depan matanya.

“Sebaiknya aku mandi saja.”

Laki-laki itu membuka lipatan selimut yang masih menutupi sebagian kakinya dan beranjak turun. Ia menyurukkan tangan ke bawah bantal yang menjadi alas kepalanya dan menarik keluar remote pendingin ruangan. Setelah mematikan alat tersebut, ia melangkah menuju lemari pakaiannya dan menarik sebuah handuk biru tebal. Selanjutnya ia berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dan melaksanakan niatnya.

-o0o0o-

“Oh? Kau sudah bangun rupanya. Cepat turun! Eomma sudah selesai memasak makanan kesukaanmu pagi ini.”

Sehun menoleh dan tersenyum mendapati sosok ibunya yang tampak sibuk menyiapkan sarapan. Kedua kakinya bergegas menuruni tangga dan setengah berlari menuju ke arah ibunya.

Eomma~”

Kedua tangan Sehun kini melingkar sempurna di pinggang ibunya, mengejutkan wanita paruh baya yang tengah memindahkan masakannya ke atas piring sajian.

Omona! Ya! Kau mengagetkan Eomma! Aish, cepat lepaskan tanganmu. Apa kau tidak lihat kalau Eomma sedang memasak?”

Sehun hanya terkekeh mendengar gerutuan itu. Ia segera melepaskan pelukannya dan mengintip dari balik bahu ibunya untuk melihat apa yang sedang disiapkan oleh sang ibu.

“Ah, mashitta!”

Ibunya langsung melotot begitu melihat kelakuan anak bungsunya. Main comot begitu saja hasil masakan yang susah payah ditatanya agar terlihat cantik dan menggugah selera.

Ya! Kau ini! Sudah berapa kali Eomma bilang jangan main ambil begitu saja. Kau harus cuci tangan dulu, setelah itu baru kau boleh mengambilnya. Kalau kau sakit gara-gara kuman yang ada di tanganmu bagaimana?”

Ne, nee. Arraseo. Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi.”

Sehun membungkuk tanda meminta maaf pada ibunya. Sang ibu mendengus kesal dan kembali sibuk menata hidangan di atas piring. Tanpa sepengetahuan ibunya, Sehun tampak membekap mulutnya, berusaha menahan tawa yang hampir saja keluar saat ia tengah membungkuk takzim. Tentu saja permintaan maaf itu tidak benar-benar menunjukkan penyesalannya. Sang ibu pun sudah tahu akan hal itu. Esok pagi dapat dipastikan Sehun akan melakukan hal yang sama dan kembali meminta maaf seperti saat ini.

“Kenapa sih kau suka sekali membuat Eomma kesal? Kau tahu, bisa-bisa Eomma tidak sudi lagi memasak untukmu gara-gara kau selalu menggodanya.”

Sehun memutar kepala dan melihat seorang perempuan yang usianya terpaut lima tahun lebih tua darinya sedang berjalan ke arahnya. Pakaian three pieces berwarna salem melekat sempurna di badannya yang tinggi semampai. Rambutnya yang hitam kecoklatan dipotong sebahu dan ditata sedemikian rupa untuk menyempurnakan penampilannya. Perempuan itu bernama Oh Mirae, anak pertama keluarga Oh. Dengan kata lain perempuan itu adalah kakak Sehun.

“Aku jamin itu tidak akan pernah terjadi. Eomma sangat sangat menyayangiku. Benar kan, Eomma?”

Sang ibu mengangkat bahu, seolah tidak begitu peduli dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu.

Eomma~”

Sehun langsung merajuk begitu melihat reaksi ibunya yang tidak sesuai harapan. Kontan semburan tawa keluar dari mulut Mirae demi melihat reaksi sang ibu yang menurutnya memihak padanya untuk menggoda Sehun.

“Hahaha, see? Kau sih, sudah dibilang berkali-kali tapi tetap saja nakal. Mehrong~.”

Sehun memberengut kesal. Laki-laki yang dikenal pendiam di kalangan teman-temannya itu hanya bisa menghentak-hentakkan kaki, berharap sang ibu memperhatikan dan berbalik memihak padanya.

“Sudah, sudah. Hentikan. Sehun-ah, cepat panggil ayahmu untuk sarapan bersama.”

Sang ibu bergegas menengahi adu mulut kedua anak tersayangnya sebelum salah satu di antaranya akan menekuk muka selama berada di meja makan. Sehun membelalakkan mata begitu mendengar dialah yang diperintah ibunya, bukan sang kakak. Mirae menunjukkan cengiran lebarnya dan mengibas-ibaskan tangan kanannya, mengusir sang adik dari dapur untuk segera memanggil ayah mereka.

“Kenapa harus aku yang memanggil Appa? Aish, menyebalkan sekali pagi ini.”

Laki-laki bertubuh tinggi atletis itu mendengus keras, mengundang cengiran yang semakin lebar di wajah kakaknya dan senyum terkulum ibunya.

Appaa! Sarapan sudah siap! Ayo cepat kita makan! Appa tidak perlu dandan berlebihan. Toh Eomma tetap akan melihat Appa sebagai lelaki paling tampan sedunia.”

Nyonya Oh dan Mirae langsung melotot begitu mendengar teriakan tidak tahu sopan santun yang diucapkan Sehun untuk memanggil kepala keluarga Oh. Namun yang dipelototi malah menampilkan wajah tanpa dosa dan berlalu begitu saja menuju meja makan, menarik salah satu kursi dan mendudukkan diri di atasnya.

Waeyo?”

Sungguh Nyonya Oh ingin sekali menjitak kepala anak lelakinya itu. Rupanya keinginan sang ibu tertelepatikan dengan baik ke benak dan gerak refleks Mirae.

Pletak!

Ya! Kau tidak sopan sekali, Sehunnie. Bisa-bisanya kau memanggil Appa seperti itu. Ckck.”

Sehun mengernyit kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya.

Noona! Appoyo… aish, jinjja.”

Belum sempat Mirae melanjutkan omelannya, langkah sepatu Tuan Oh terdengar menggaung di lantai marmer kediaman mereka.

Yeobo… ya! Kenapa kau memakai sepatu di dalam rumah?! Lantainya kan jadi kotor. Aish, benar-benar dua lelaki di rumah ini selalu saja membuatku kesal.”

Nyonya Oh langsung mengomel begitu melihat suaminya masuk ke dalam ruang makan sudah dalam dandanan lengkap beserta sepatu hitam kesayangannya.

“Tenanglah, sepatu ini masih bersih. Pagi ini baru saja kering.”

Tuan Oh menghampiri istrinya yang masih tampak merajuk. Tanpa tedeng aling-aling, lelaki paruh baya pemimpin salah satu perusahaan tambang ternama di Korea Selatan itu menarik Nyonya Oh ke dalam pelukannya dan melumat lembut bibir wanita yang telah menemaninya selama 30 tahun terakhir.

“Iyuuh, Appa! Eomma! Bisakah kalian tidak melakukannya di depan kami?”

Tuan dan Nyonya Oh menoleh, seolah baru menyadari bahwa ada orang lain yang menjadi saksi keromantisan mereka.

“Ah, mianhae adeul. Kalian sarapan duluan saja. Appa mau menikmati sarapan ‘khusus’ dengan Eomma, hehehe.”

Baik Mirae dan Sehun langsung mendengus dan membuang muka, memberikan waktu pada ayahnya yang memang sangat senang unjuk kemesraan terutama di hadapan mereka.

Setelah orangtuanya pergi meninggalkan ruang makan, kedua kakak-beradik itu makan dalam diam. Masing-masing dengan pemikirannya sendiri. Hingga akhirnya Mirae tidak tahan dan memilih untuk menyuarakan pemikirannya. Lebih tepatnya menyuarakan pertanyaan yang belum pernah terjawab.

“Sehun-ah, kapan kau memutuskan untuk menemuinya?”

-o0o0o-

Sementara itu, masih di pagi yang sama namun di kediaman yang berbeda. Suasana di dalam rumah keluarga Im tampak lengang. Keluarga pemilik rumah tengah menyantap sarapannya dengan tenang. Hanya denting sendok dan garpu yang menyemarakkan ruang makan. Masing-masing orang lebih memilih untuk menikmati setiap suap makanannya, terlebih bagi satu-satunya laki-laki yang juga menjadi kepala keluarga Im. Sudah menjadi kebiasaan kalau sedang menikmati makanannya, maka sendok dan garpu Tuan Im akan sering sekali berbenturan hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

“Huaah, lezatnya! Perutku kenyang sekali. Gomawo untuk makanannya, yeobo. Saranghae.”

Puji Tuan Im pada istrinya sambil memejamkan mata dan memajukan bibirnya. Kedua mata Yoona langsung membulat melihat perilaku ayahnya dan hampir saja air mineral yang baru diminumnya menyembur keluar. Untung ia berhasil menelannya cepat-cepat.

Appa! Aish, hampir saja.”

Tuan Im menunjukkan cengiran khasnya, tanda permintaan maaf untuk putri tunggalnya. Sementara Nyonya Im masih melanjutkan makannya, tidak terganggu sama sekali dengan keromantisan-yang-menjurus-kegombalan suaminya.

“Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu, Appa, Eomma. Annyeong!”

Yoona segera beranjak dan menghampiri orangtuanya, lalu mencium sebelah pipi keduanya sambil membawa peralatan makan yang digunakannya. Sebelum melangkah keluar dari ruang makan, gadis itu meletakkan peralatan makan kotornya di bak cucian piring. Untuk kali ini ia tidak sempat membersihkannya karena pagi ini ia bangun kesiangan.

Ne. Hati-hati di jalan, adeul.”

-o0o0o-

Jung Sooyeon, atau lebih dikenal dengan nama Jessica, bergegas memarkirkan mobil mewahnya di pelataran parkir yang berdekatan dengan gedung perkuliahannya. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan benar, gadis yang memiliki julukan Ice Princess itu melangkah turun dan merapikan pakaiannya. Ia baru saja hendak menekan tombol keamanan di kunci mobilnya ketika teringat dengan hasil lukisan yang ingin diserahkannya pada panitia perhelatan seni akbar tahunan kampusnya.

“Hampir saja aku lupa.”

Gadis itu memutar tubuhnya dan beranjak ke pintu belakang. Membukanya dalam sekali sentakan dan mengambil kanvas yang telah terbungkus kardus pipih putih dari dalamnya.

“Lama tidak bertemu, Jessica-ssi.”

Jessica mendongak dan mendapati sosok tinggi menjulang menghalangi pandangannya. Wajahnya terangkat dan sontak terkejut begitu menatap seraut wajah yang begitu dikenalnya. Seraut wajah yang juga ingin dihapus dari ingatannya.

“K… Kau?! Bagaimana… Bagaimana bisa? Bagaimana kau bisa ada di sini?!”

Sosok itu mengerutkan kening begitu mendengar pertanyaan Jessica.

“Memangnya aku tidak boleh ada di sini?”

Bibir gadis itu terkatup rapat. Genggaman tangan kirinya pada sudut kardus pembungkus kanvasnya semakin erat. Pandangannya masih tetap terarah pada lawan bicaranya, meski lapisan selaput bening mulai muncul di kedua bola matanya.

“Lupakan saja. Maaf, aku sedang terburu-buru. Kita bisa bicara lagi lain waktu. Permisi.”

Tanpa menunggu respon sosok di hadapannya, Jessica langsung membanting pintu belakang mobilnya dan beringsut menjauh. Langkah kakinya dipercepat. Tidak sekalipun ia menoleh ke belakang, ke sosok yang mendadak muncul di hadapannya. Sosok yang sebenarnya ia rindukan.

Kenapa dia bisa ada di sini? Apa dia mencari informasi tentang keberadaanku dan memutuskan untuk mengikutiku? Apa dia bermaksud untuk… aarggh! Kenapa kau harus kembali muncul di depanku, Sehun-ah?

-o0o0o-

Luhan tampak menyusuri salah satu lorong di kampusnya. Kepalanya berulang kali menoleh ke berbagai arah. Sepertinya ia sedang mencari seseorang.

“Ah, Chanyeol-ah! Tunggu sebentar.”

Seseorang yang dipanggil Chanyeol menoleh dan menghentikan langkahnya begitu ada yang memanggil namanya.

Wae?”

Alis kiri Chanyeol terangkat saat Luhan sudah berada di hadapannya.

“Kau kenapa?”

Bukannya menjawab pertanyaan Chanyeol, Luhan justru mengajukan pertanyaan lain pada lawan bicaranya.

Ya! Aku yang lebih dulu bertanya. Kenapa kau malah balik menanyaiku?”

Chanyeol merengut sebal.

“Hahaha, mianhae. Aku tidak bermaksud seperti itu. Hentikan wajah bodohmu itu, Park Chanyeol.”

Luhan tertawa singkat dan menepuk punggung salah satu teman dekatnya yang berbeda departemen itu. Luhan adalah mahasiswa di Department of Act, sementara Chanyeol merupakan mahasiswa di Department of Music.

Ya! Ya! Sudah membuatku kesal, sekarang malah menghina wajah tampanku. Kau mau cari mati, huh?”

Tawa Luhan kembali meledak. Namun kali ini badannya sedikit beringsut menjauh, khawatir Chanyeol benar-benar akan melampiaskan kekesalannya itu.

“Hahaha, mian. Mianhae. Jeongmal mianhae. Habis kau lucu sekali kalau sedang kesal seperti itu. Membuatku ingin menjitak kepalamu.”

Chanyeol membulatkan mata begitu mendengar ucapan Luhan.

Nde?! Ya! Kau meminta maaf tapi di akhir lagi-lagi meledekku. Lagipula mana mungkin kau bisa menjitak kepalaku. Kau kan pendek. Wee.”

Kali ini Chanyeol ganti meledek Luhan, membuat lelaki keturunan China itu menghentikan tawanya dan mendengus keras.

Arraseo, Park Chanyeol yang tinggi seperti jerapah. Ah, sudahlah. Apa siang nanti kau sibuk?”

Chanyeol mengangkat bahu.

“Sepertinya tidak. Ada apa?”

Luhan menggigiti bibir bawahnya sejenak, tampak menimbang-nimbang.

“Aku ingin memintamu untuk menemaniku menemui Yoona. Bagaimana?”

Chanyeol melenguh. Ekspresi menyesal jelas terlihat di wajahnya.

Shirreo! Aku tidak mau menjadi obat nyamuk kalian berdua.”

Luhan melayangkan pukulan ringan di bahu kiri Chanyeol.

Buk!

Auw! Ya! Appo!”

Chanyeol meringis dan mengusap-usap bahunya yang baru saja berubah wujud menjadi samsak tinju temannya itu. Berlebihan memang. Terbukti Luhan langsung mencibir melihat respon yang dibuat-buat oleh laki-laki tinggi itu.

“Kau berlebihan. Tenang saja, aku sudah meminta Yoona untuk mengajak Sooyoung juga.”

Kedua mata Chanyeol mendadak berbinar penuh kegembiraan begitu mendengar nama terakhir yang disebut Luhan.

“Sooyoung?! Arraseo. Aku akan menemanimu. Jam berapa? Dimana? Apa aku harus ke kelasmu dulu? Atau aku-”

Luhan langsung mengangkat tangan, menghentikan pertanyaan Chanyeol yang membludak setiap kali laki-laki itu mendengar nama Sooyoung disebutkan. Oleh siapapun.

Stop! Kau ini laki-laki atau perempuan sih? Cerewet sekali. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan mengulanginya. Aku berjanji bertemu dengan Yoona di Coffe Café jam setengah satu. Aku yang akan ke kelasmu karena jarak kelasmu dengan kafe itu lebih dekat dibanding dengan kelasku. Arra?”

Chanyeol mengangguk keras dan berulang-ulang. Sangat terlihat antusias mengenai rencana pertemuannya dengan Sooyoung. Padahal jelas-jelas tadi Luhan hanya memintanya untuk menemaninya bertemu dengan Yoona, bukan sengaja mempertemukan dua makhluk tinggi itu.

“Ckck, sebegitu besarnyakah rasa sukamu pada gadis tiang itu? Dia bahkan sudah menolakmu puluhan kali.”

Luhan menggeleng bingung, dan sedikit prihatin.

“Hei, jangan sembarangan mengatainya gadis tiang. Bagiku Sooyoung adalah wanita terseksi sejagat raya. Aku tidak mempermasalahkan penolakannya. Justru itu menandakan kalau dia bukanlah wanita sembarangan. Daripada Yoona-mu yang masih saja mau berpacaran dengan Kris. Padahal jelas-jelas Kris sudah…”

Luhan lagi-lagi mengangkat tangannya. Kali ini disertai dengan tatapan tajamnya.

“Jangan pernah kau berbicara seperti itu tentang Yoona. Setidaknya tidak di depanku.”

Chanyeol bungkam. Ia tahu kalau kali ini ia sudah kelewatan. Ia jelas sudah melukai perasaan Luhan.

Mianhae, aku tidak bermaksud menjelek-jelekkannya. Sungguh. Jeongmal mianhae.”

Luhan menundukkan kepala dan menghela napas. Beberapa detik kemudian ia kembali mengangkat kepalanya dan menepuk punggung Chanyeol.

“Tak apa. Kalau begitu sampai nanti, Chanyeol-ah.”

Luhan perlahan beranjak menjauh. Sebelumnya ia sempat melambaikan tangan pada Chanyeol yang dibalas dengan lambaian serupa. Sesaat setelah sosok Luhan hilang dari pandangannya, Chanyeol membalikkan badan dan beradu tatap dengan sepasang mata sendu milik gadis yang dikenalnya.

“Seohyun-ah…”

-o0o0o-

Seohyun semakin mempercepat langkah kakinya. Kepalanya tertunduk. Sebagian rambutnya yang berwarna hitam legam terjatuh menutupi sisi wajahnya, sekaligus menutupi aliran air mata yang mulai membentuk lajur halus di pipinya.

“Seohyun-ah! Ya! Seohyun-ah! Gidarike!”

Kali ini gadis itu memutuskan untuk berlari. Berlari tanpa arah. Pandangannya yang setengah tertutup membuat tubuhnya berulang kali menabrak orang lain di sekitarnya. Menjadikannya objek perhatian dadakan.

Sosok laki-laki yang sedari tadi mengejar dan memanggil namanya ikut berlari. Berusaha mengurangi jarak yang memisahkannya dari gadis itu.

“Seohyun-ah!”

Akhirnya laki-laki itu berhasil meraih pergelangan tangan gadis yang dikejarnya. Memaksa gadis itu untuk menghentikan pelariannya.

“Cha… Chanyeol…”

Bibir Seohyun bergetar memanggil nama Chanyeol, sahabatnya.

“Sshh, uljima. Kita ke taman saja, oke?”

Seohyun mengangguk lemah. Ia biarkan Chanyeol memeluknya, melingkarkan salah satu tangannya ke lekuk pinggangnya dan membawanya menjauh dari sana.

-o0o0o-

“Jadi pada intinya kau memintaku untuk menjadi obat nyamuk dalam pertemuan terlarang kalian, huh? Maaf saja ya, aku tidak mau.”

Seorang gadis bertubuh tinggi bernama Choi Sooyoung mencebik kesal dan membuang muka dari lawan bicaranya.

Aish, bukan seperti itu Sooyoung-ah! Dan apa tadi kau bilang? Pertemuan terlarang? Apa maksudmu, huh?”

Lawan bicara Sooyoung yang tidak lain adalah Yoona mendelik tajam, tidak terima dengan kalimat tuduhan sahabatnya itu.

“Kau dan Luhan berpacaran kan? Selingkuh? Iya kan?”

Yoona mengepalkan tangan kanannya dan menunjukkan isyarat hendak memukul wajah Sooyoung, menyebabkan gadis yang sedikit lebih tinggi itu tersentak mundur sambil melindungi wajahnya dengan tangan.

“Aku sangat ingin memukulmu, sungguh. Untunglah kau adalah sahabat yang kusayangi dan kucintai sepenuh hati.”

Sooyoung menurunkan tangannya. Ia memutar kedua bola matanya sebagai respon untuk kalimat terakhir Yoona.

“Ya ya ya, aku pun menyayangi dan mencintaimu sahabatku yang cantiik~”

Yoona hanya mendengus mendengarnya.

“Tapi semua ini tidak gratis lho. Maksudku menemanimu dan mengorbankan diriku menjadi obat nyamuk itu bukan hal mudah. Apalagi-”

Yoona mengangkat tangan kirinya, menghentikan rentetan tuntutan Sooyoung terhadapnya.

Arra. Sebagai bayarannya, kau akan memiliki waktu khusus untuk berkencan dengan Park Chanyeol selama aku berbicara dengan Luhan nanti.”

Kelopak mata Sooyoung langsung melebar.

Mwo?! Chanyeol juga akan ikut?! Kenapa galah bambu itu juga bisa ikut?! Aku lebih memilih jadi obat nyamuk kalian dibanding harus bertemu dengannya! Ya! Im Yoona! Kau mendengarku kan? Ya!”

Yoona berbalik badan dan melambaikan tangan pada Sooyoung tanpa menghiraukan pertanyaan maupun panggilannya. Sooyoung pun terpaksa mengejar Yoona dan membombardir sahabatnya itu dengan beragam kalimat protes tentang keikutsertaan Chanyeol dalam pertemuan mereka nanti.

-o0o0o-

 

Galeri

Love is… Who? (Chapter 1)

black-and-white-love-quote-sad-text-Favim.com-44772

Sore itu cuaca cukup cerah. Arak-arakan awan yang tidak begitu banyak sesekali memayungi daratan dari pancaran sinar matahari sore yang masih terasa menyengat. Semilir angin menerpa lembut dedaunan, menimbulkan goyangan pelan dari gerumbul hijau penghasil oksigen itu.

Nyaman sekali.

Seorang wanita memejamkan kedua matanya. Buku tebal yang beberapa puluh menit lalu ditekurinya tampak tertutup. Rupanya wanita itu memilih untuk menikmati suasana alam yang menenangkan. Saking hanyutnya, ia sampai tidak menyadari langkah ringan seseorang yang berjalan mendekatinya.

Chagi-yaa..”

Sepasang kelopak milik wanita itu terbuka perlahan seiring dengan gerak kepalanya yang menoleh ke arah sumber suara.

“Ah, wasseo?”

Wanita itu, Im Yoona, segera menarik diri dari pergumulan batinnya. Kali ini suasana alam yang menjadi favoritnya terlupakan dan tergantikan oleh pemandangan baru di hadapannya. Sesosok pria tampan yang dua tahun ini menyandang status sebagai kekasihnya. Wu Yifan. Kebanyakan orang yang mengenal lelaki itu akan memanggilnya Kris, namun tidak untuk Yoona. Wanita itu memilih untuk memanggil lelakinya dengan nama aslinya, Yifan atau cukup Fanfan saat ia sedang ingin bermanja-manja.

Ne. Mian sudah membuatmu menunggu. Tadi Sooyeon ribut sekali, minta ditemani mencari peralatan melukis di suatu toko yang namanya saja sudah tidak aku ingat. Menyebalkan.”

Yoona menarik sudut-sudut bibirnya. Miris. Kabar pertunangan kekasihnya dengan wanita lain yang bernama Jung Sooyeon itu benar adanya. Namun secepat kabar itu beredar, secepat itu pula Yifan menemuinya dan mengajaknya bicara.

Flashback

“Yoona-ya, dengarkan aku! Kumohon. Aku bisa menjelaskannya padamu. Sungguh.”

Yifan segera menahan pergelangan tangan wanitanya begitu mereka bertemu di suatu tempat. Studio rekaman tua yang sudah lama tidak digunakan. Studio itu terletak di pertengahan koridor yang menyambungkan fakultas Yoona dengan Yifan, Art of Writing’s Departement dan Art of Music’s Departement.

“Aku mendengarkanmu, Yifan-ssi.”

Perasaan laki-laki keturunan Kanada itu langsung terluka saat mendengar Yoona memanggilnya secara formal. Hal yang paling dibencinya karena membuatnya merasa berjarak.

“Pertunanganku dengan Sooyeon hanyalah untuk kepentingan bisnis. Appa yang menyuruhku untuk bertunangan dengan wanita bermarga Jung itu. Appaku dan Tuan Jung berniat menyatukan perusahaan mereka. Agar lebih adil, maka Appa dan Tuan Jung memintaku untuk menikahi Sooyeon agar kelak keberlangsungan perusahaan mereka tetap berada di tangan keturunannya. Jelas saja permintaan itu kutolak mentah-mentah. Namun Appa sangat marah atas penolakanku. Appa bahkan berhasil membujuk Eomma untuk ikut memaksaku menikahi Sooyeon. Awalnya aku ingin kabur saja. Aku tidak peduli jika Appa dan Eomma semakin marah padaku. Tetapi aku tidak bisa tidak peduli pada Wu Yifei, adik perempuanku satu-satunya. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Karena itu aku mencari cara untuk menunda selama mungkin rencana pernikahan itu. Aku menemui Sooyeon dan mengajaknya bekerja sama. Aku tidak peduli dengan perasaannya. Yang pasti wanita itu menyetujui ajakan kerja samaku. Untuk jalan amannya, aku dan Sooyeon memilih bertunangan. Bagiku hubungan semacam ini lebih mudah diakhiri ketimbang pernikahan. Pertunangan itu hanya untuk meredam amarah orangtuaku. Setelah itu aku akan memikirkan cara lainnya agar secepat mungkin terlepas dari ikatan yang tidak pernah kuharapkan. Untuk bersamamu. Aku hanya menginginkan dirimu, Na-ya.”

Flashback end

Aku hanya menginginkan dirimu, Na-ya.

Kalimat itulah yang selalu terngiang di benak Yoona. Kalimat yang menguatkan dan membuatnya bertahan menjadi kekasih Yifan. Karena lelaki itu hanya menginginkan dirinya. Dirinya. Bukan Jung Sooyeon ataupun wanita lain.

“Hmm..”

Hanya satu kata itu yang berhasil Yoona ucapkan. Sesungguhnya ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Saat lelaki yang sangat kau cintai membicarakan kegiatannya bersama wanita lain, terlebih wanita itu memiliki status hubungan yang lebih tinggi –bertunangan, respon apa yang akan kau tunjukkan? Kalimat apa yang mampu kau lontarkan?

“Sudahlah. Hei, hari ini kita akan berkencan kemana? Hmm coba kutebak.. toko buku? Perpustakaan? Taman bacaan?”

Yifan mengerutkan keningnya, berpura-pura memikirkan sesuatu yang tampak sulit. Yoona menarik sudut-sudut bibirnya lebih lebar. Ya, ia paham bahwa laki-laki itu hanya berniat menggodanya yang memang penggila buku. Hei, jangan salahkan dirinya! Terlahir sebagai anak tunggal dari sepasang penulis buku ternama menjadikanmu berteman sangat akrab dengan benda berbentuk persegi panjang itu bukan?

“Bagaimana kalau kita ke amusement park saja? Sudah lama aku tidak ke sana.”

Yifan membelalakkan matanya begitu mendengar usulan Yoona.

“Whoaa, kau tidak salah makan kan? Atau kepalamu baru saja terbentur? Atau Sooyoung dan Yuri akhirnya berhasil mencuci otakmu, hmm?”

Kali ini Yoona yang mengerutkan kening, berpura-pura mencari jawaban untuk pertanyaan lelakinya.

“Hmm setelah kupikir-pikir, sepertinya amusement park tidak semenyenangkan bayanganku. Aku berubah pikiran. Lebih baik kita ke tempat penitipan anak saja. Bagaimana?”

Laki-laki di sampingnya langsung memundurkan badan, menjauh dari wanitanya.

“Wowowow, tunggu sebentar Nona Im! Ke tempat penitipan anak? Oh yang benar saja. Mana ada pasangan kekasih yang berkencan di tempat sebising, sekotor, semenjijikkan, se…”

Chu~

“Kau harus belajar membiasakan diri berada di tengah anak-anak, Yifan-ah. Kau lupa kalau setelah menikah aku ingin sekali punya banyak anak? Banyaaakk anak.”

Yifan mengerjap-erjapkan kelopak matanya. Masih terkejut akibat ulah wanitanya yang mendadak memberi kecupan singkat di salah satu bagian sensitif dari tubuhnya.
“Kau telah membangunkan singa yang kelaparan, nona manis.”

Dalam sekejap kedua pasangan itu saling mengecup lembut dan mesra. Menampilkan pemandangan yang tidak sengaja tertangkap oleh seseorang yang harus mampu menahan diri dan perasaannya.

Really… why?

 -o0o0o-

“Yoona-ya!”

Yoona sontak menoleh ke arah seseorang yang baru saja menyerukan namanya. Kegiatannya mendata sekaligus merapikan buku-buku cerita anak-anak di salah satu taman bacaan yang terletak di dalam lingkungan universitasnya terhenti sejenak.

“Ah, Luhan-ah! Ppali! Kau terlambat 10 menit.”

Laki-laki yang dipanggil tampak mempercepat larinya. Dalam hitungan detik laki-laki itu –Luhan- sudah berada di hadapan Yoona. Dadanya naik-turun, napasnya pun masih terdengar menderu.

Mian.. mianhae, tadi aku harus membantu Sehun mengurus beberapa hal.”

Yoona tersenyum. Wanita yang sangat menyenangi anak-anak itu mengambil botol minuman dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Luhan.

“Ini, minumlah.”

Luhan menyambar botol minum itu dan langsung menenggaknya. Isi dalam botol yang tidak ada setengahnya itupun tandas seketika.

Gomawo.”

Yoona menerima kembali botol minumnya. Ia kembali memasukkan botol minum transparan itu ke dalam tas selempang miliknya.

Ne. Kau istirahatlah dulu. Anak-anak baru akan datang setengah jam lagi.”

Luhan mengangguk. Laki-laki itu lalu mendudukkan diri di samping Yoona dan menjulurkan kedua kakinya.

“Haah, capek sekali. Bocah itu benar-benar merepotkan.”

Yoona kembali menoleh dan menatap Luhan. Kedua tangannya tetap sibuk menata tumpukan buku-buku yang masih tersebar di karpet tipis abu-abu tempat keduanya duduk. Laki-laki yang ditatapnya tampak mendongakkan kepala sambil menutup mata.

Nugu?”

Luhan kembali membuka mata dan balas menatap Yoona.

“Oh Sehun. Memang siapa lagi?”

Yoona hanya mengangkat bahu.

“Entahlah. Kau sering menyebut teman-temanmu ‘bocah’ sampai terkadang aku sempat berpikir jangan-jangan kau bukanlah kelahiran tahun 90. Kau sok tua sekali dengan sering mengatai temanmu sebagai bocah. Apa kau kelahiran 80, hmm?”

Luhan langsung melotot begitu mendengar ucapan Yoona, wanita berparas cantik yang dikenalnya setahun lalu berkat keikutsertaannya dalam keanggotaan taman bacaan resmi milik universitas.

Ya! Ya! Ya! Kau mulai lagi, huh? Enak saja meragukanku. Justru seharusnya wajahku yang baby face ini membuatmu berpikir sebaliknya, ‘jangan-jangan Xi Luhan mahasiswa tampan dan baik hati itu kelahiran 93 atau 94?’…”

Yoona memutar bola matanya, malas.

“Ckck, narsis sekali dirimu Luhan-ah. Kalau memang kau mengakui dirimu tampan, kenapa aku sama sekali tidak tertarik padamu? Hahaha.”

Strike.

Luhan terdiam sesaat. Yoona sama sekali tidak menyadari bahwa candaannya justru menghentak perasaan seseorang.

“Karena kau aneh. Hahaha.”

Yoona mendelik sebal mendengar ucapan Luhan yang ganti menggodanya. Namun sejurus kemudian tawanya ikut pecah.

Geuman. Kalau kita terus bercanda seperti ini perkerjaan kita tidak akan selesai. Cepat bantu aku meletakkan buku-buku ini di rak belakang sebelum anak-anak manis itu datang menyerbu.”

Luhan segera berdiri dan melakukan gerakan hormat layaknya tentara.

“Siap bos!”

Yoona kembali tertawa. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Luhan yang terkadang seperti anak kecil. Keduanya lalu sibuk merapikan beberapa buku yang tersisa. Setelah itu Luhan melipat karpet yang tadi didudukinya bersama Yoona dan meletakkannya di sudut ruangan. Saat karpet itu sudah terlipat, Yoona datang membawa sapu dan membersihkan debu-debu yang berada di bawah karpet. Ketika dirasakan sudah cukup bersih, Luhan kembali mengambil karpet dan menggelarnya di tempat yang sama.

Kegiatan seperti itu rutin dilakukan keduanya di hari Kamis dan Jumat siang, sesuai dengan jadwal piket yang didapat. Setiap harinya di jam makan siang, taman bacaan itu akan ramai oleh sekumpulan anak SD yang tinggal di sekitar lingkungan universitas. Mereka memang diperbolehkan pihak universitas untuk memanfaatkan fasilitas taman bacaan yang sudah berdiri selama 10 tahun tersebut. Sebenarnya masyarakat umum lainnya juga diijinkan menggunakan fasilitas yang sama, namun khusus di jam makan siang memang biasanya yang datang dan ikut membaca di tempat tersebut adalah anak-anak tingkat SD.

Annyeonghasimnikka Yoona eonnie/noona, Luhan oppa/hyung.”

Serombongan anak-anak serentak menyapa Yoona dan Luhan yang baru saja selesai merapikan taman bacaan tersebut. Keduanya langsung menoleh ke arah pintu dan tersenyum lebar.

“Ah, annyeong. Ayo masuk!”

Yoona segera berdiri dan menyambut anak-anak tersebut.

“Silahkan membaca buku-buku yang kalian suka.”

Luhan ikut menyambut anak-anak itu.

Nee.”

Anak-anak itu menjawab hampir berbarengan. Setelah dipersilahkan, anak-anak yang berjumlah 8 orang itu lalu masuk dan berpencar, mencari buku yang ingin dibaca masing-masing.

“Yoona eonnie…”

Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil berkuncir dua datang menghampiri Yoona.

Ne?”

Yoona langsung menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan anak perempuan itu.

“Maukah eonnie membacakan cerita ini untukku?”

Anak perempuan itu mengangsurkan sebuah buku cerita yang berjudul Snow White & Seven Dwarfs, Putih Salju dan Tujuh Kurcaci.

“Ah, tentu saja eonnie mau Youngji-ya! Apakah yang lain ingin ikut mendengarkan eonnie membacakan buku ini?”

Yoona mengambil buku cerita tersebut dari anak perempuan yang dipanggilnya Youngji dan menyuarakan pertanyaannya pada anak-anak lainnya. Sontak anak-anak lain yang tampak sibuk dengan buku masing-masing langsung mengangguk dan berteriak…

“Mauuu!”

Dalam sekejap Yoona sudah dikelilingi oleh anak-anak yang kisaran usianya tidak terpaut jauh satu sama lain. Yoona mulai membacakan isi dari buku cerita yang awalnya diminta oleh Youngji. Anak-anak tampak serius memperhatikan setiap perkataan dan gerak tubuh Yoona. Gaya penceritaan Yoona sangat menarik. Karena itulah anak-anak yang mengenalnya tidak pernah bosan meminta wanita itu membacakan cerita untuk mereka. Permintaan Youngji bukanlah permintaan pertama bagi Yoona. Sementara Yoona asik membacakan cerita untuk delapan anak yang tidak sedetikpun teralihkan perhatiannya, tampak Luhan yang tersenyum melihat bagaimana Yoona dapat dengan mudah dekat dan akrab dengan anak-anak.

Are you the snow white it self, Yoona-ya?

 -o0o0o-

Seorang wanita paruh baya tampak berjalan menuju salah satu ruangan berdinding putih melingkar dengan langkah terburu-buru. Begitu sampai di depan ruangan yang memiliki empat pilar penyangga khas bangunan Eropa dengan satu jendela besar, wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya dan masuk melalui pintu yang tidak sepenuhnya tertutup.

“Nona Jung, ada yang ingin bertemu dengan Anda.”

Seorang wanita muda yang sedang serius menyapukan kuas ke kanvas ukuran 50×50 itu berhenti sejenak dan menelengkan kepalanya.

“Siapa?”

Wanita paruh baya yang dapat diyakini sebagai asisten rumah tangga di kediaman mewah tempat wanita muda itu baru saja membuka mulutnya hendak bersuara ketika seorang lelaki jangkung melangkah masuk dan menginterupsi keduanya.

“Ada apa kau memintaku ke sini, Jessica-ssi?”

Jessica –nama wanita muda itu- mengalihkan pandangannya dari kanvas yang baru setengah diwarnai demi mendengar suara yang sangat dikenalnya.

“Kris? Tumben kau ke sini tanpa kuminta.”

Lelaki jangkung yang tak lain adalah Wu Yifan a.k.a. Kris langsung mendengus kesal.

“Kau yang memintaku ke sini, Jessica-ssi. Cepat katakan apa maumu agar aku bisa pergi secepatnya dari rumahmu.”

Jessica mengerutkan kening. Bingung. Seingatnya sejak pagi tadi ia sibuk di galeri pribadinya untuk menyelesaikan lukisan yang akan diikutsertakannya dalam pameran seni akbar tahunan universitasnya, Institute of Art. Universitas yang juga menjadi tempat Kris menjalani pendidikan tingginya.

Ani. Aku tidak pernah memintamu datang. Sedari pagi aku sibuk melukis. Kau jangan mengada-ada, Kris.”

Kris membuang muka. Dengus nafasnya jelas terdengar, namun tidak digubris oleh wanita muda berparas cantik di hadapannya. Sementara wanita paruh baya yang mendatangi Jessica untuk memberitahukan kedatangan Kris telah pergi entah kemana. Baru saja Kris hendak menyuarakan ketidakpercayaannya atas ucapan Jessica, seseorang datang membungkam keduanya.

“Ah, kau sudah datang Kris? Sepertinya sudah lama sekali kau tidak berkunjung ke sini. Apa kau tidak merindukan anakku yang cantik? Apa kau tidak merindukan tunanganmu, hmm?”

Baik Kris dan Jessica langsung melihat ke arah seseorang yang baru saja masuk ke dalam galeri.

Eomma/Nyonya Jung?”

Seseorang yang dipanggil eomma oleh Jessica dan Nyonya Jung oleh Kris menggelengkan kepalanya dan tersenyum.

“Kalian kompak sekali. Itu pertanda bahwa kalian memang cocok satu sama lain.”

Wanita yang merupakan ibu kandung Jessica itu berjalan menghampiri putrinya dan meremas lembut bahu putri pertamanya.

“Tunangan macam apa kau ini? Kris datang untuk bertemu denganmu dan kau malah asik melukis? Ckck.”

Jessica kini menatap keheranan ke arah ibunya. Apa-apaan ini?

“Kau ikuti saja permainanku, Sica-ya.”

Jessica langsung bergidik begitu mendengar bisikan tajam ibunya. Jika sudah begini maka wanita yang sangat terkenal karena kemampuan melukisnya itu sama sekali tidak berniat untuk mempertanyakan apalagi melawan perintah sang ibu. Sepasang mata yang semula menatap wajah wanita yang telah mengandung dan melahirkannya itu lalu beralih menatap sepasang mata lain. Sepasang mata milik Kris yang jelas-jelas memancarkan kemarahan karena merasa telah dijebak oleh ibunya.

“Ah, maafkan aku. Wanita tua ini tentu telah mengganggu kemesraan pasangan kekasih, ani, maksudku sepasang tunangan seperti kalian. Kalau begitu aku akan segera pergi dan membiarkan kalian menghabiskan waktu berdua.”

Nyonya Jung tersentak dan segera melepaskan tangannya dari bahu Jessica, sangat terlihat bahwa ia berpura-pura melakukannya. Jessica menutup matanya sejenak dan saat ia membukanya, ia dapat dengan jelas melihat kedua telapak tangan Kris yang mengepal menahan amarah.

“Kau harus belajar untuk melayani Kris, Sica-ya. Tidak lama lagi kau akan menjadi istrinya. Ingat itu.”

Tegas Nyonya Jung sebelum melangkah pergi dan menghilang dari balik pintu galeri.

“Cara yang kau gunakan sungguh murahan, Jessica-ssi.”

Kris akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya. Sejak kehadiran Nyonya Jung ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan kekesalan dan kemarahannya akibat dijebak seperti ini.

“Cih. Sudah kubilang kalau aku sibuk melukis sepagian ini. Kau jangan terlalu percaya diri, Kris.”

Jessica membalas kesinisan laki-laki itu. Wanita itu merasa tersinggung karena telah direndahkan oleh lelaki yang kini berstatus sebagai tunangannya, ah dan jangan lupa lelaki itupun menyandang status lain sebagai kekasih gadis bernama Im Yoona.

“Baiklah. Kau tidak membutuhkanku. Lebih baik aku segera pergi dari tempat ini.”

Kris segera berbalik dan melangkah pergi. Sebelum lelaki itu benar-benar menghilang dari balik pintu, ia sempat berhenti dan mengingatkan sesuatu pada wanita di belakangnya.

“Ingat, pertunangan ini hanya sandiwara. Aku akan secepatnya memikirkan cara untuk mengakhiri hubungan terkutuk ini. Annyeong.”

Jessica tampak mengepalkan kedua telapaknya tangannya. Napasnya memburu. Bibirnya mengatup rapat. Sungguh ia merasa sangat direndahkan oleh lelaki bermarga Wu itu. Mati-matian ia menahan agar air matanya tidak mengalir keluar. Sayangnya ia gagal.

Eonnie? Kau di dalam?”

Seseorang mendadak menggeser pintu galeri yang baru saja ditutup oleh Kris. Seorang gadis yang tampak lincah menggerakkan kursi rodanya langsung menelusup masuk begitu pintu sudah terbuka cukup lebar.

Eonnie? Kau menangis?”

Jessica mendadak tersadar dan cepat-cepat menghapus air matanya. Ia bergegas berjalan menghampiri gadis yang berada di atas kursi roda itu dan mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

Aniyaa. Eonnie tidak menangis. Mata eonnie hanya kemasukan debu. Ada apa kau ke sini? Kau ingin menemani eonnie melukis, hmm?”

Kau berbohong, eonnie. Keureomyo! Aku tidak pernah bosan menemani eonnie melukis. Lukisan eonnie sangat cantik, seperti wajah dan hati eonnie.”

Jessica tersenyum tipis mendengar pujian adiknya. Ya, gadis yang duduk di atas kursi roda itu adalah adik kandungnya. Adik satu-satunya. Adik yang sangat disayanginya.

Cha, kalau begitu kau tidak boleh hanya menemani eonnie. Kau harus membantu eonnie untuk mewarnai lukisan yang baru setengah jadi ini. Arra?”

Gadis di atas kursi roda itu langsung menggeleng keras-keras.

Shireo! Nanti aku malah akan membuat lukisan eonnie jadi jelek. Seperti diriku…”

Kalimat terakhir itu diucapkan pelan, sangat pelan namun masih dapat tertangkap oleh indera pendengaran Jessica. Perasaannya bagai diremas-remas begitu mendengar kalimat yang sangat dibencinya itu.

“Jung Soojung, ani, Krystal-ah, kau tidak jelek. Kau cantik. Sangat cantik. Kau adalah gadis tercantik yang pernah eonnie temui. Jangan pernah menilai bahwa dirimu jelek. Eonnie tidak suka mendengarnya. Arraseo?”

Gadis yang bernama Krystal mengangguk pelan. Tak lama kemudian seulas senyum lebar dan manis menghiasi wajah kekanakannya.

Um! Tentu saja. Kakakku kan sangat cantik. Aku sebagai adiknya pasti tidak kalah cantik.”

Jessica mengembangkan senyumnya. Ia mendekat dan memeluk adiknya. Erat. Penuh kasih sayang. Penuh cinta. Sungguh berbeda dengan sosok Jessica yang beberapa saat lalu berhadapan dengan Kris.

Eonnie, sampai kapan kau akan bersikap dingin pada orang lain? Orang lain perlu tahu bahwa kau adalah seseorang yang sangat baik. Kau adalah malaikat, eonnie. Kenapa kau sembunyikan sosok malaikatmu di balik topeng hitam itu? Apa karena aku?

Krystal menutup mata dan tersenyum miris.

-o0o0o-

Love is… Who? (Teaser)

the-saddest-thing-about-betrayal-is-that-it-never-comes-from-your-enemies-quote-1

Chagi-yaaa..”

Seorang laki-laki bertubuh tinggi mendadak memeluk seorang wanita yang lebih kecil darinya dari belakang wanita itu, mengagetkan sang wanita yang tengah asik menelusuri deretan buku di salah satu rak perpustakaan.

Omo! Ya! Ini tempat umum, Yifan-ah. Cepat lepaskan sebelum aku pergi dan berpura-pura tidak mengenalmu.”

Laki-laki itu perlahan melepaskan pelukannya dan mengerucutkan bibir mendengar ancaman wanitanya.

Aish, memangnya kenapa kalau kita ada di tempat umum? Bukankah seisi universitas ini sudah tahu kalau Im Yoona adalah kekasih Wu Yifan? Kau merusak momen romantisku. Menyebalkan.”

Sang wanita, Im Yoona, langsung menghela napas dan berbalik menatap wajah rupawan kekasihnya. Seulas senyum kecil melengkung indah di paras porselen miliknya.

“Hmm, mian. Aku hanya… just don’t wanna do PDA like yeah you know who I mean.”

Yifan menurunkan bahunya dan mendecak sebal.

Ok ok, arra. Aku akan menunggumu di luar saja. Di sini tidak menyenangkan.”

Yoona hanya tertawa kecil mendengar kekasihnya merajuk seperti anak kecil.

Arraseo. Aku akan secepatnya menyelesaikan urusanku di sini. Kau keluarlah. Kka!

Wanita itu menepuk-nepuk lengan lelakinya. Sejurus kemudian ia membalik paksa badan yang lebih besar darinya itu dan mendorongnya menjauh.

“Kau harus membayar lebih untuk perlakuanmu ini, Mrs. Wu soon-to-be.”

Lagi-lagi Yoona hanya tertawa kecil mendengar gerutuan kekasihnya. Setelah sosok tinggi besar itu menghilang di balik pintu dorong perpustakaan, wanita itu kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.


“Yoona-ya!”

Seorang laki-laki berwajah cantik tampak berlari menghampiri Yoona yang tengah asik membaca di salah satu bangku taman fakultasnya.

“Oh, Luhan-ah!”

Wanita itu menutup bukunya dan balik menyapa laki-laki yang dikenalnya dalam salah satu unit kegiatan mahasiswa yang diikutinya.

Mian aku telah membuatmu menunggu. Ah ya, kenalkan, ini temanku. Dia pindahan dari Jepang dan baru masuk semester ini.”

Luhan langsung berinisiatif mengenalkan teman baru yang memang datang bersamanya setelah melihat pandangan kebingungan dari Yoona.

“Ah, naneun Im Yoona imnida.”

Yoona mengangsurkan tangan kanannya yang langsung disambut hangat oleh seorang laki-laki yang tingginya hampir menyamai Yifan, kekasihnya.

“Oh Sehun imnida.”


“Yoona-ya, kau sungguh tidak tahu?”

Seorang wanita bertubuh tinggi kurus layaknya model itu masih saja mencerca Yoona dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan.

“Apa yang kau maksud, Sooyoung-ah? Aku sungguh tidak mengerti perkataanmu.”

Yoona tampak sibuk dengan buku yang terbuka di salah satu tangannya sambil berjalan menyusuri koridor kampus yang terasa lengang. Sooyoung, teman satu fakultas yang menjadi sahabat dekatnya itu masih saja mengekori Yoona dan berusaha menarik perhatian gadis itu untuk mendengarkan ucapannya.

“Kau benar-benar tidak tahu? Ya! Im Yoona! Aku sedang bicara denganmu.”

Sooyoung sedikit berteriak kesal saat sahabatnya itu tidak juga mengalihkan perhatiannya dari buku-apalah-itu yang sedang dibacanya –sambil berjalan dan hebatnya tidak sekalipun Yoona tersandung atau terjatuh akibat tidak memperhatikan jalan di depannya!

Arra arra. Sekarang kau mendapatkan perhatianku, Choi Sooyoung. Apa sebenarnya yang ingin kau katakan padaku?”

Yoona akhirnya mengalah dan menutup buku yang sedang dibacanya. Pandangannya ia arahkan pada Sooyoung yang mendadak gelagapan ditatap sedemikian rupa.

“Ah, itu… itu… kau, sungguh… tidak tahu… kalau… Yifan… akan… nngg…”

Yoona mengerutkan kening melihat tingkah Sooyoung yang tidak biasanya itu. Terlebih ia menyebut-nyebut nama kekasihnya.

“Ada apa dengan Yifan?”

Sooyoung tampak menggigiti bibir bawahnya. Kedua tangannya meremas-remas ujung kaos yang dikenakannya. Sepasang matanya bahkan tidak berani ia arahkan untuk menatap Yoona.

“Yifan… dia… akan… nngg… ber…tunangan… dengan… Jung Sooyeon… Sabtu ini…”

Buk!

Buku yang dipegang Yoona terjatuh dan menghantam lantai koridor hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Bunyi yang berhasil mengalihkan perhatian seorang laki-laki yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan kedua wanita itu.

“Bukankah itu… Im Yoona-ssi?”